Sabtu, 29 Mei 2010

OKB (Orang Kaya Baru) Dengan Catatan

Hey Nona, mengapa tiba-tiba isi pembicaraanmu berkisar barang-barang mahal? Mengapa tiba-tiba kisaran pertimbangan harga-hargamu menjadi naik 10 kali lipat? Ada hubungannyakah terhadap nilai tukar dollar terhadap yuan belakangan ini? Saya jadi bingung dan tidak bisa mengikuti arah pembicaraan Nona. Irikah saya terhadap peningkatan derajat hidup Nona? Hem, sepertinya tidak. Saya nyaman dengan keadaan saya dulu dan sekarang, untuk ke depan saya belum tahu.

"Dev, kemaren aku liat sepatu diskonan loh. Diskon empat puluh persen! Sepatunya keren."
"Emang liat di mana Non?"
"Tod's!"
"Ah..." (jaw dropped)

Saya tidak berani bertanya lebih lanjut, sediskon-diskonnya itu sepatu, saya yakin saya belum mampu membelinya. Saya belum tega menghabiskan uang bulanan saya hanya untuk sepasang sepatu.

"Dev, temenin aku beli tas yuk." Nona menarik tangan saya, lebih tepatnya menyeret saya ke arah stasiun metro dekat apartment.
"Loh, bukannya kemarin baru beli Non?"
"Iyah, tapi aku pikir-pikir lagi, aku masih butuh yang warnanya agak gelap."
"Yang kemarin kan warnanya cokelat Non, kurang gelap kah?"
"Aku pingin yang cokelat kopi Dev. Udah ah. Ayo jalan!"

Ke manakah Nona menyeret saya? Bukan ke tempat biasa kami berburu tas, biasanya kami mencari-cari barang keperluan sehari-hari (baca: baju, tas, sepatu, pernak-pernik) di plaza bawah tanah (mirip-mirip Mangga Dua tapi letaknya di bawah tanah). Segala sesuatu di sana bisa ditawar, dari 100 RMB bisa menjadi 20 RMB! Surga bagi kami. Eh, tapi itu dulu. Kali ini Nona bukan menyeret saya ke arah sana. Dia menarik saya ke arah sebuah mall mewah yang jelas-jelas di depannya terpampang sejajaran butik-butik papan atas, sebut saja Burberry, Cartier, Emporio Armani, Hugo Boss, Dior dan lain-lain. Dan sayapun takjub. Penasaran, kira-kira tas merek apa yang akan dibeli Nona. Excited dan senang banget saya. Hahaha. Maklum belum pernah ada teman yang mengajak saya masuk ke butik-butik itu :p

"Dev, ke sana yuk." Nona menyeret saya ke sebuah stand yang bertuliskan 'Bally End Sale 70%'. Stand tersebut berada tepat di luar area butik Ballynya sendiri. Terlihat sejejeran tas, dan sederet sepatu untuk pria dan wanita. Walaupun dituliskan diskon 70%, mengapa tidak ada pengunjung yang tertarik melihat-lihat yah? Nona mulai mengamati-amati tas wanita yang dipajang. Dan saya lebih penasaran dengan harga-harganya. Saya ambil satu tas, berlagak cool, saya mengelus-elus permukaan tas tersebut, layaknya mengetes kualitas tas tersebut. Padahal mata saya sibuk mencari-cari, di mana price tag tas tersebut berada. Ups, itu dia. Berapa? Berapa? 6888 RMB! Berusaha tetap cool saya meletakkan tas tersebut dan mencari-cari sosok Nona. Dan ternyata Nona sudah berada di luar stand tersebut, menunggu saya keluar. Loh?

Nona diam sepanjang sisa perjalanan-perburuan tas kami. Sayapun tidak mempertanyakan diamnya Nona, saya masih shock dengan harga tas tadi. Hahaha. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saya melihat tulisan Tod's.

"Non, kemarin elo beli sepatu di situ yah?" Saya menunjuk ke arah gerai Tod's di depan kami.
"Bukan." Nona menjawab singkat.
"Loh, kemarin katanya mau beli sepatu diskonan di sana."
"Eh, aku beli dari internet kok." Nona menunduk.
"Tod's mahal kan yah?" Biarin deh dibilang cupu sama Nona, maklum saya belum pernah beli sepatu di sana. Jadi saya tidak tahu range harganya.
"Engga kok, kemarin aku beli sekitar tiga ratusan." Wew, 300 an RMB masih termasuk murah yah. Perasaan dulu si Nona menganggap apa-apa yang harganya di atas 100 RMB sudah tergolong mahal!
"Liat yuk Non, siapa tahu ada yang lebih murah." Kali ini saya yang menarik tangan Nona ke dalam gerai Tod's.

Tidak ada tulisan diskon di sana. Sepi. Tidak ada mbak-mbak yang tampaknya tergugah untuk melayani kami. Saya jadi curiga. Berapa sih harga sebenarnya? Lagi-lagi saya menggunakan tak-tik sok cool, saya ambil sepatu terdekat. Saya amat-amati permukaannya. Saya raba-raba, dan terakhir saya membalik sepatu itu. Tara! 2090 RMB! Coba itu dikurskan ke rupiah. Mungkinkah ada yang lebih murah dari ini? Ergh.

Sekali lagi saya bingung, apa yang membuat Nona berubah seperti sekarang? Syukur-syukur memang keadaan (ekonomi) keluarganya meningkat pesat. Terus-terang saya dan Nona secara finansial masih tergantung pada orang tua. Jadi tidak mungkinkan tiba-tiba Nona punya pemasukan rahasia dari pekerjaan yang saya tidak tahu apa. Mungkinkah jadi penerjemah atau guru bahasa asing dalam waktu singkat bisa mendatangkan pendapatan lebih dari sepuluh juta rupiah per bulan? Catatan, kami berdua masih berstatus mahasiswi di sini. Oiyah, apa(keadaan dan tuntutan) pasangan bisa mempengaruhi gaya hidup yah? :D

*RMB atau yuan adalah mata uang China, dengan nilai tukar hari ini 1 RMB = 1354.9500 IDR (dari Google) :)
**Untuk harga-harga di atas bisa dicek sendiri ke gerai-gerai barang-barang bersangkutan, untuk memastikan :p

Step

Jumat, 28 Mei 2010

Public Enemy

Sepertinya banyak postingan saya bertemakan pesta, kesannya saya party animal banget. Haha. Jangan dibayangkan pesta-pesta yang saya datangi seperti layaknya kisah-kisah selebriti (atau mungkin sebagian besar dari teman-teman pembaca), di club mewah, di pub atau lounge, atau bisa jadi di resto hotel berbintang. Pesta-pesta yang saya datangi biasanya diselenggarakan di kamar seorang teman, food court mall, kedai pinggir jalan, kalau mau mewah sedikit yah di cafe sederhana. Apapun bentuk pesta atau perayaan itu, seandainya saya yang kebetulan menjadi yang punya hajatan, saya berharap semua tamu saya enjoy, bisa menikmati keseluruhan acara, fun dan kenyang! Oiyah, pesta atau perayaan saya di sini sama dengan (=) kumpul dan makan bersama, sharing cerita (mentok-mentok gosiplah) dan kadang diselingi acara photo session :D

Dulu, saya sempat bingung untuk memutuskan siapa-siapa yang akan saya undang. Namun, akhirnya sang waktu yang mengajarkan saya siapa-siapa yang seharusnya diundang dan siapa-siapa yang 'dilewatkan'. Buat apa mengundang teman yang tidak niat datang dari awal, datang hanya sekedar mengkritik, dan malah membuat undangan lain tidak nyaman. Waktu telah mengajarkan saya tentang siapa-siapa yang sengaja berulah itu (tidak tahu berterima-kasih). Saya mengundang, karena saya menganggap dia 'penting', sebagai salah satu teman saya, dan saya ingin dia bersenang-senang. Namun, kriteria kesenangan teman saya ini agak-agak berbeda dengan orang kebanyakan. Yah, sebagai manusia biasa, kemampuan saya terbatas untuk menyenangkan hati semua undangan. Kalau ada satu-dua yang kecewa, mau bagaimana lagi. Masa saya harus memindahkan acara hanya gara-gara satu orang tidak suka dengan dekorasi ruangan. Dia baru datang, masuk, dan tiba-tiba nyeletuk "Norak banget sih hiasannya, kayak acara kawinan ajah!"

Kali ini saya yang menjadi pihak 'annoying' alias menyebalkan tersebut, seperti layaknya tamu yang tidak diharapkan kedatangannya. Apakah saya tamu yang tak diundang? Oh, tentu saja saya diundang. Saya datang pun tidak dengan keadaan terpaksa, dengan senang hati. Saya senang ada teman yang berulang-tahun. Saya datang dengan melenggang bahagia. Lalala. Oiyah, pada saat itu saya tidak membawa kado. Eits, bukan berarti saya pelit dan tidak tahu diri yah. Saya tidak tahu teman saya itu berulang-tahun, dia selalu merahasiakan tanggal lahirnya. Tiba-tiba saya diundang datang ke tempatnya untuk merayakan. Saya senang karena akhirnya dia tidak lagi merahasiakannya dan mau berbagi kebahagiaan di hari ulang tahunnya itu. Saya datang dan mengucapkan selamat, cipika-cipiki, dan saya langsung disuruh makan kue tart! Hah?! Sepertinya ada bagian yang terlewati. Apakah saya datang terlambat? Hem, saya datang 10 menit setelah dia menelpon. Apakah itu dihitung terlambat? Mungkin, karena sepertinya saya yang terakhir datang. "Kuenya dimakan aja Dev" si dia yang berulang-tahun menunjuk ke sebuah meja yang di atasnya terlihat sebuah kue ulang tahun yang sudah terpotong, tertinggal setengah bagian, dan di sebelahnya tampak satu potong kue di atas piring kertas. "Kalo kurang boleh tambah kok."

Saya bengong. Apa selama ini teman-teman saya menganggap saya sebagai orang yang suka sekali kue, cake eater maniac? Dikasih kue sayapun senang. Haha. "Loh, nyanyi-nyanyinya udah yah?" Selugu mungkin saya bertanya. "Ini udah selese kok acaranya." Jawab mereka.

Si Mama yang baik hati, yang selalu membesarkan hati saya beranggapan "Mungkin temen kamu ga enak, kalau seandainya cuma kamu yang ga diundang." Hahaha. Saya tertawa terbahak-bahak waktu itu. "Mama, itu sama aja ga enaknya. Diundang dengan terpaksa atau jelas-jelas ga diundang. Sama-sama menyedihkan." Mama sayapun punya pendapat lain yang ajaib "Mungkin dia mau kado dari kamu. Kado kamu kan biasanya lucu-lucu, mama aja seneng sama sendal yang kamu beliin kemaren." Ah, lagi-lagi si Mama bikin saya tersenyum.

Seorang sahabat pernah berkata "Mungkin kamu menganggap semua orang sahabat kamu, tapi apa kamu yakin semua orang itu menganggap kamu sebagai sahabatnya?" Yah, mungkin sang waktu belum banyak mengajarkan saya tentang sebagian orang itu. Saya hanya ingin dunia ini damai dengan semua penghuninya, semua orang adalah teman, tidak ada musuh di antara kita. Omong kosong! Eh, jangan salah. Apa yang membuat kamu (Devina) begitu 'hina' sehingga kamu dicap jadi teman yang menyebalkan seperti itu? Ngaca Dev! Siapa yang menabur, dia yang akan menuai. Jadi, saya yang salah yah teman-teman? Maafkan saya yah, telah membuat kalian bingung dengan keputusan harus mengundang saya atau tidak. Nah kan, ternyata sang waktu tidak mengajarkan saya apa-apa (atau mungkin sayanya saja yang terlalu lemot, bebal, susah untuk diajarkan). Kalau nanti saya berpesta, kemungkinan besar saya akan mengundang semua. Saya takut karma akan berulang lagi :)

Idealis mampus loe Dev!

Another Cake

Senin, 24 Mei 2010

Desire Me (by Escada)

Keberadaan saya selalu dinanti-nantikan pria, di dalam mimpi, khayalan dan kenyataan mereka. Mata mereka mencari-cari, jantung mereka berdebar-debar, mengharapkan kehadiran saya. "Sakit jiwa!" Celetuk sahabat wanita saya. Nope, begitulah kenyataannya honey. Awalnya saya tidak tahu dan tidak peduli. Toh, apa gunanya bagi saya? Agaknya merepotkan (kalau harus) menjalani keseharian disertai desahan nafas tertahan dan tersendat-sendat. Saya seperti allergen penyebab serangan asthma, dan mungkin jantung.

Mereka menginginkan saya, bukan hanya sebagai 'hiasan' yang bisa dipajang. Ego pria yang menginginkan wanita cantik (walaupun tidak begitu pintar) sebagai pendamping hidup. Sayapun tidak menyalahkan wanita yang menginginkan pria mapan (walaupun tak rupawan) sebagai pilihan akhir. Saya juga menjadi 'jimat' bagi mereka, pembawa hoki dan sumber inspirasi. Pertanyaan saya kadang dijadikan pertanda. "Apakah besok akan turun hujan?" Jelas-jelas saya bertanya. Bukan jawaban yang saya dapatkan karena keesokan harinya mereka ramai-ramai membawa jas hujan dan payung. Apakah hari itu hujan turun? Secara kebetulan iya. Dibilang kebetulan juga tidak karena memang dua minggu ini cuaca selalu cerah dan terik, tiba-tiba angin sejuk berhembus kemarin sore.

Boleh jadi saya adalah harapan dan keinginan mereka. Namun, saya adalah bencana bagi ibu-ibu mereka, atau kekasih dan isteri mereka. Saya adalah kabut tebal yang mengisi celah-celah sempit otak mereka. Mereka tidak lagi menjadi anak yang penurut, kekasih dan suami yang setia. Mereka memberontak. Tidak heran, cercaan dan makian juga menemani hari-hari saya, selain pujian dan rayuan yang selalu saya dapatkan. Apakah saya sengaja menggoda mereka dengan penampilan yang menggoda dan wah? Bukan gaun tipis dan ketat yang saya kenakan. Bukan merah pilihan warna saya. Mereka menganggap saya sebagai gelapnya malam yang nyata-nyata gelap dan tidak terlihat, menyergap, dan memeluk erat pikiran-pikiran mereka. Mereka tidak mendeskripsikan saya sebagai soma, bukan geliat dan liukan tubuh, bukan gesture dan tekstur. Hanya serupa bayangan hitam pekat.

Argh, kali ini saya harus meyakinkan para ibu. Tidak untuk kekasih dan para isteri. Saya tahu, mereka (para ibu) juga menginginkan saya. Ibu mana yang tidak ingin anaknya berhasil dan sukses. Ibu-ibu menjadi ragu ketika anak mereka bertemu dan bisa meraih saya dalam dekapan (pikiran) mereka, apakah kelak anak lelaki mereka akan bahagia? Mereka takut untuk menanyakan langsung kepada anak lelaki mereka. Saya pernah bertanya, apakah kalian bahagia? Lelaki-lelaki itu menjawab dengan mantab dan lantang "Ya! Kami bahagia! Kamu adalah teman, sahabat, pasangan, kekasih, guru dan ibu bagi kami." Hah?! Mereka menganggap saya sama seperti Ibu mereka?! Bayangan hitam.

Selasa, 18 Mei 2010

Happy People

"Sowan kepada Tuan Puteri tercinta, terimalah sembah sujud kami rakyat jelata yang serba biasa (dan tidak hina) ini. Jayalah Tuan Puteri yang mulia!" Hahaha. Begitulah 'aura' yang diberikan seorang sahabat saya ketika dia berada di sekitaran. Tuan Puteri sedang berbahagia, hatinya berbunga-bunga. Sang pujaan hati akhirnya datang dan meminangnya. Hahaha. Terinspirasi dongeng Cinderella tapi tanpa sepatu kaca. Sayangnya, sang pujaan hati bukan berasal dari kaum bangsawan tapi dari golongan yang sama dengan kami, rakyat biasa.

"Dev tau ga kalau Puteri udah dapet cowo baru?" A bertanya tiba-tiba.
"Ga tau. Emangnya sekarang si Puteri jadi sama Pangeran dari mana A?" Agak penasaran juga saya, karena selama ini si Puteri selalu pamer kalau misalnya dia jadian sama seseorang.
"Bukan Pangeran sekarang Dev, dapetnya orang biasa, tanpa gelar dan embel-embel." A dan saya selalu membayangkan kalau Puteri nantinya akan menikah dengan seorang Pangeran dari negara tetangga (negeri Jiran kah?).
"Wah, kok tumben Puteri mau yah A?"
"Iyah, tumben. Gua juga taunya ga sengaja Dev." Binar-binar excitement tampak jelas di mata A, sengaja dia tidak melanjutkan penjelasannya.
"Jadi?" Penasaran sayapun bertanya.
"Gua ga sengaja ngeliat mereka berdua belanja sayur di pasar." Pada saat itu juga, A dan saya baru balik dari pasar, membeli sayur.
"Loh, bukannya Puteri jarang masak yah? Lagian biasanya juga dia nyari makan di luar kan?" Semakin penasaran saya akan tingkah Puteri yang di luar kebiasaan itu. Setahu saya, kalaupun Puteri harus memasak, dia akan membeli bahan-bahannya di pasar swalayan bukan di pasar. Puteri ga suka bau pasar tradisional, yang kadang becek dan kotor lagi.
"Siapa tau itu pengaruh cowonya Dev. Kan biar irit kaya kita, makanya dia belanja di pasar. Hahaha." Dasar A, irit sih irit, si A mah lebih cenderung kikir.
"Dev, Dev, liat tuh." A menunjuk ke arah halte bus di depan asrama. Wah, Puteri tampak menggandeng seorang Pangeran lelaki asing. A dan saya saling berpandangan sejenak, berhubung saya dan A sudah berteman lama, sistem komunikasi via telepati kami pun terhubung dengan sangat baik. Saya langsung tahu, kalau si A pingin sekali memergoki Puteri, belum sempat saya mengutarakannya lewat kata-kata, A sudah menarik tangan saya menghampiri Puteri. Argh.
"Hai!" A sempat mencolek bahu Puteri untuk menyadarkan kalau A dan saya berada tepat di belakangnya. Sekilas A mencuri-curi pandang ke arah 'pangeran'. Kalau saya, setelah menyapa Puteri, saya langsung pura-pura sibuk memperhatikan kendaraan yang lewat. Ga enak.
"Tumben Put ketemu lo di halte, bukan biasanya elo naik taksi yah Put?" Celetuk A sambil memasang senyum lebar berbinar.
"Eh, engga juga ah. Biasa juga naik bis, pas elo ga liat aja kali." Puteri menjadi salah-tingkah. Dari sudut mata, saya melihat gerakan tiba-tiba Puteri melepaskan genggaman tangan 'pangeran'. Sepertinya A juga melihat aksi itu.
"Ah, ini siapa Put? Kok ga dikenalin ke kita-kita?" A langsung menembakan pertanyaan itu, pertanyaan tabu, karena jelas-jelas Puteri tidak ingin hubungannya diketahui khalayak ramai.

Akhirnya A dan saya tahu siapa jati diri si calon-pangeran-dari-golongan-rakyat-biasa itu, namanya Be (nama tetap disamarkan :D). Be itu 'manusia' biasa seperti saya dan A. Kami tidak terbiasa diikuti asisten pribadi (kalau pas kebetulan kita pulang kampung), diantar supir pribadi, dapat jatah uang jajan tak terbatas, dan segala kemewahan lainnya yang sulit kita bayangkan. Dengar-dengar papanya Puteri punya helikopter pribadi. Apakah lantas Puteri harus malu jatuh hati kepada Be, yang nyata-nyata bukan bangsawan (dan/atau hartawan)? Lalu kenapa Puteri harus menyembunyikan keberadaan Be dari kita-kita?

Catatan: Setting lokasi cerita saya, A dan Puteri pada cerita ini adalah di negeri antah-berantah yang jauh dari Tanah Air tercinta. Kalau ada kesamaan tokoh dan tempat, serta keanehan cerita dan situasi, harap maklum :D

Senin, 17 Mei 2010

Rumah Besar (1)

Sudah lama saya tidak memimpikan 'Rumah Besar' itu. Rumah yang memang besar, yang di dalamnya berisikan mimpi, harapan, sinisme dan kritik dari orang-orang di dalamnya. Rumah (tua yang) besar, bayangkan keluarga mafia, terdiri dari beberapa generasi, keturunan yang bertambah. The Godfather. Namun, untuk keluarga saya berlaku 'The Godmother', perempuan mendominasi struktur dan sistem di dalam keluarga, suara wanita-wanita terdengar lantang dan mendesak. Keputusan dan pandangan mereka adalah mutlak.

Saya dan keluarga kecil saya (orang tua dan adik-adik) berada sedikit di luar jangkauan mereka, para penguasa keluarga itu. Walaupun si Mama masih terlibat dalam jaringan bisnis keluarga, namun karakter si Mama yang pemberontak, rebel, dan keras kepala membuat kita agak sulit dijangkau dan dipengaruhi. Pepatah "lebih cepat lebih baik" (mengutip semboyan Bapak Jusuf Kalla) sepertinya banyak diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan Rumah Besar. Lebih cepat selesai sekolah (entah benar-benar tamat atau ditamatkan), lebih cepat menikah, lebih cepat beranak-cucu, lebih cepat turut-serta dalam bisnis keluarga, lebih cepat menghasilkan uang, lebih cepat kaya, lebih, lebih, dan lebih. Sayangnya, saya dan adik-adik tidak bisa memenuhi semua kriteria itu. Duh. Kami lebih 'senang' berkutit dengan proses menimba ilmu. Kami bukannya menerapkan prinsip Rumah Besar, dalam hal ini lebih cepat menghasilkan uang, kami malah terjebak dalam institusi pendidikan yang banyak menghaburkan uang. Dari segi waktu dan 'rejeki' kami sudah salah besar. Untungnya si Mama tidak pernah mempermasalahkan pilihan hidup kami ini. Si Mama malah mensyukuri dengan sangat ketika saya dan adik-adik memilih untuk meneruskan kuliah, dan bahkan untuk kasus saya, si Mama mendorong saya untuk melanjutkan jenjang kuliah sampai S3!

Our Secret Hideaway

Label

cerminan (23) daily (11) filosofi (1) fotografi (3) fragrance (3) jalan (5) khayal (10) musik (2) pandangan (4) photography (2) real (15) renungan (7) rumah sakit (6) santai (3) tuan puteri (2) waktu (6) weekend (6)