Ini yang akan terjadi nantinya: saya akan kembali sendiri, dikucilkan, karena saya dianggap tidak mengerti perasaan mereka alias sadis dan tidak berperasaan.
Saya pasrah kalau nantinya dia menganggap saya aneh, jahat, dan kasar. Sebenarnya bukan tugas saya untuk menyampaikan kenyataan itu. Kalau ternyata si 'Tuan Puteri' itu juga kasar, tukang perintah, dan suka maksa. Mungkin saya yang terlalu berlebihan dan belum bisa menerima dia apa adanya. Nyatanya teman-temannya yang lain bisa menerima dia dengan segala sifatnya. Mereka biasa-biasa saja menghadapinya. "Eh, kalo pulang, gw nitip beliin nasi goreng sekalian yah." Sebagai teman yang baik, tentu saja tidak segan-segan kami membelikannya, walaupun di luar hujan deras, dan sepertinya Tuan Puteri juga sedang tidak enak badan. "Jalan duluan aja, gw masih make-up an neh." Okeh, kami pun akhirnya berangkat juga setelah menunggu, yah sebentar sih, kira-kira 10-15 menit. Tuan Puteri menganggap itu biasa saja, toh dia sudah sering seperti itu dan seharusnya kita bisa memakluminya. "Yah, kenapa pada ga jalan aja sih? Kenapa juga mesti nungguin gw?!" Kesepakatannya, kita jalan sama-sama dan karena dia tidak memberitahu sebelumnya (dalam rentang waktu yang masuk akal, bukan setelah kita menunggu, dan mepet dengan waktu keberangkatan), kita berpikir dia akan tetap berangkat sama-sama. Nyatanya? "Kenapa jadi gw yang salah sih? Kan udah gw bilang, jalan duluan aja, ngapain juga nungguin gw?!" Yah, kita memang 'membutuhkan' Tuan Puteri tanpanya semua tidak akan bisa berlangsung. Kita memang teman-teman yang bodoh, yang tidak punya keputusan masing-masing, Tuan Puteri tetap dibutuhkan di sini. Siapa sih teman-teman si 'Tuan Puteri' ini? Oh, mereka perempuan-perempuan aneh yang tidak punya pendirian dan tentu saja tidaklah 'secantik' Tuan Puteri. Si A, menurut saya, A cukup manis, tinggi-semampai, kulitnya putih bersih, pembawaannya kalem, pintar dan cekatan. Si B, menurut saya lagi, anaknya imut, hitam manis, modis, berpengetahuan luas, dan setia terhadap pacarnya (apa hubungannya yah? lumayanlah menambahkan sifat baiknya). Lalu ada si C, masih menurut saya (tidak ada orang lain yang bisa dimintai pendapat), seksi, selalu berpenampilan 'wah' dan sepertinya lebih dewasa dibandingkan yang lain. Sedangkan saya si D, mungkin saya paling buruk rupa di antara mereka semua, wajar saja, kalau Tuan Puteri (dan mungkin yang lainnya juga) sering dibuat kesal dan merasa saya adalah 'noda' bagi kelompok 'dewi-dewi' itu.
Ah, saya malah asyik bercerita tentang teman-teman saya yang 'wah' itu, jadi lupa sebenarnya apa tugas saya. Rupa-rupanya ketiga teman saya, Si A, B, dan C mulai merasa sikap 'Tuan Puteri' keterlaluan. Si A, merasa menunggu Tuan Puteri sama saja membuang waktunya yang berharga untuk belajar dan melakukan kegiatan lainnya. Si B, menganggap Tuan Puteri terlalu centil, kerjaannya make-up terus. Si C, mulai merasa terganggu dengan sikap Tuan Puteri yang semena-mena, selalu berubah-ubah, childish banget. Sedangkan saya, alasan saya sederhana, saya bosan diperintah-perintah, dibentak-bentak dan dijelek-jelekan Tuan Puteri. Memangnya hanya Tuan Puteri yang bersikap seperti itu? Si A, B, dan C bagaimana? Hem. Sepertinya mereka bersikap lebih biasa, hanya kadang mereka kesal saja, terhadap sifat saya yang lemah, gampang ditindas, tidak punya kemauan, dan bodoh. Saya pun pasrah dianggap seperti itu, karena saya sadar, yah seperti itulah saya. Satu-satu teman saya mulai meninggalkan Tuan Puteri, dengan alasan yang berbeda-beda, A harus mengejar ketinggalan kelasnya, B lebih banyak menghabiskan waktunya bersama pacarnya, C sedang asyik bermain-main dengan 'pengaggum-pengaggumnya'. Tinggalah saya dan Tuan Puteri. Nyaris di setiap kegiatan Tuan Puteri, selalu ada saya yang menjadi 'bayangan' nya.
Suatu ketika saya 'harus' menunggu Tuan Puteri turun dari apartmentnya, yang di lantai 25, saya duduk manis di bangku taman di depan apartment. Dia bilang, dia juga mau ikutan acara kampus yang disponsori oleh salah satu majalah ternama 'Femine'. Berhubung lokasinya lebih mudah dijangkau dari apartmentnya, kami pun sepakat untuk berangkat dari sana. Si A, B, dan C? Oh, mereka sudah berangkat duluan. "Kita ketemu di sana aja yah." Begitu kesepakatan mereka bertiga. Kok bisa-bisanya saya tertinggal di sini? Dengan alasan "Kasian Tuan Puteri jalan sedirian, tempatnya kan penuh banget, lagian Tuan Puteri ga tau tempat pastinya di mana." Alasan lainnya karena saya malas 'tersingkir', karena biasanya A asyik menjelajah tempat baru sendirian, kalau saya berada dekat-dekatnya pasti saya dianggap penganggu karena 'berisik', tanya-tanya terus. B sudah jelas bersama pacarnya. Apalagi C, 'pengagum' nya terlalu banyak, dan mereka hanya mau berbincang-bincang dengan C. Yah, berakhirlah saya di sini, di bangku taman, menunggu dengan gelisah, karena acaranya sebentar lagi dimulai, dan Tuan Puteri belum muncul. Berkali-kali di sms, satupun belum dibalas. Ugh. Akhirnya saya menelpon. "Ar..lo.." suara serak terdengar dari ujung sana. "Er.. Kenapa D?" Kenapa?! "Put, lama banget sih? Cepetan turun. Telat neh." Maafkan saya Tuhan, karena saya kurang sabar. "Ah! Iyah, acaranya Femine. Sori, sori. Gw baru bangun. Elo jalan duluan deh, ntar gw nyusul." Tut, tut, tut. Sambungan pun terputus. Berlari-larilah saya ke arah jalan (bukan bermaksud bunuh diri kok), mata saya langsung sibuk mencari-cari taksi kosong.
Akhirnya sampailah saya di lokasi acara, untung A, B dan C masih berbaik hati, mencarikan saya satu tempat duduk kosong, karena memang acaranya indoor dan penuh sekali. Acara sudah dimulai setengah jam yang lalu. Kami pun duduk tenang mendengarkan penjelasan seorang dokter pembicara tentang 'Cegah Kanker Payudara Sedini Mungkin'. Satu jam berlalu. Tiba-tiba saya merasa ada seseorang yang mencolek-colek bahu saya. Saya pun menengok ke belakang. Tuan Puteri duduk tepat di belakang saya, dengan nafasnya yang terengah-engah, menatap saya dengan kesal. "Kok elo ga nge take-in gw tempat sih? Jahat banget sih loe, ga setia kawan. Untung aja masih ada satu bangku kosong di sini." Suaranya meninggi dan terdengar membahana di antara pengunjung yang sedang serius mendengarkan. Tadinya saya berniat membalas tapi yah, kok rasa-rasanya nanti jadi pusat perhatian, dan mengganggu. "D, knapa sih elo kok jutek banget sama gw?" Eh? Siapa yang jutek yah?! Brak. Keheningan total menyelimuti ruangan seminar. Tiba-tiba saya sudah berdiri dan menatap Tuan Puteri (kali ini benar-benar dengan wajah 'jutek'). "Elo tuh ngaca, yang salah tuh elo. Gw bela-belain nungguin elo, knapa malah jadi salah gw?! Dasar tukang ngatur, suka seenaknya sendiri, ga mikir apa gimana perasaan orang lain?!" Blush, sepertinya seluruh wajah saya memanas. Saya pun berjalan cepat ke arah pintu ke luar (ga pake kesandung yah D) diiringi tatapan aneh pengunjung seminar.
Ternyata kekesalan saya 'membawa' saya ke sebuah kafe kecil di belakang gedung. Capek rasanya. Selalu dituduh, dituding, dan dibandingkan. Kapan kiranya saya bisa bebas, bebas menjadi diri saya, tanpa harus dijadikan orang kedua, ketiga atau bahkan menjadi bayangan. "Sori, boleh ganggu sebentar?" Saking asyiknya merenung dan merasa bersalah karena sepertinya tadi saya berbicara terlalu ketus dan telah membuat seminarnya terhenti sejenak. Bukannya merasa lega, tetapi saya malah merasa bersalah. Oiyah, kembali ke 'orang asing' yang tiba-tiba muncul dan menyapa itu. Seorang 'tante' yang berstelan jas rapi dan menenteng kamera besar di tangannya. "Oiyah, gw Adis, Adissa. Sori, tadi ga sengaja gw udah beberapa kali foto loe dari sana." Si tante menunjuk pintu keluar gedung, arah saya keluar sambil setengah berlari tadi. "Elo tuh fenomenal banget, ngeliat loe lari keluar dari ruang seminar, bikin jantung gw berdebar. Eh, sori lagi, pasti menurut loe gw aneh yah?" Saya pun mengangguk lemah, sedang malas berdebat. Si tante itu pun duduk di kursi seberang saya. Fenomenal? Iyalah, seorang mahasiswi perusak acara seminar, berlari meninggalkan ruangan, di duga karena serangan PMS dadakan. Jepret. Kilatan lampu blitz mengagetkan saya yang sedang serius memikirkan masalah tadi. "Eh, maaf lagi. Ga sengaja. Tampang loe serius dan adem banget." Saya pun kembali menatap si tante dengan tatapan tanda-tanya (tadinya sempat terlupa kalau ada seorang tante-tante yang duduk semeja dengan saya). Jepret. Eh? "Eh, gini deh. Ini kartu nama gw, kalo elo berminat jadi model, hubungi gw yah. Gw sih cuma fotografer, kalo elo emang berniat jadi model, ntar gw kenalin ke temen-temen gw deh. Gw masuk dulu yah. Acaranya blom selese. Candid foto yang tadi, bisa loe minta ke seksi dokumentasi acara ini, okeh?" Si Tante pun menghilang, berlari masuk ke dalam gedung.
"A, masa D bilang kalo gw tuh judes, tukang perintah, en seenaknya sendiri. Emang gw gituh yah?"
"Yah, kadang elo gituh sih."
"Iyah, D juga bilang, katanya elo juga ngerasa gw gituh."
"Eh, engga kok. Emang elo kadang gituh, tapi gw biasa aja kok."
"Iyah kan? Elo biasa aja sama sikap gw. D pake ngadu katanya elo ga tahan sama sikap gw."
"Hah? Engga lah. Biasa si D mah sirik aja."
"A! Bukannya ini D?!"
"Ngaco loe, mana mungkin D jadi cover Femine."
"Beneran, loe liat deh."
Baik bagimu, belum tentu baik baginya. Begitu juga teman.
Tokoh adalah rekaan, jika ada kesamaan sifat, karakter, dan nama mohon dimaklumi.
Siapa saya? Mungkin saja saya Tuan Puteri yang semena-mena. Maaf yah teman-teman ;)
Saya pasrah kalau nantinya dia menganggap saya aneh, jahat, dan kasar. Sebenarnya bukan tugas saya untuk menyampaikan kenyataan itu. Kalau ternyata si 'Tuan Puteri' itu juga kasar, tukang perintah, dan suka maksa. Mungkin saya yang terlalu berlebihan dan belum bisa menerima dia apa adanya. Nyatanya teman-temannya yang lain bisa menerima dia dengan segala sifatnya. Mereka biasa-biasa saja menghadapinya. "Eh, kalo pulang, gw nitip beliin nasi goreng sekalian yah." Sebagai teman yang baik, tentu saja tidak segan-segan kami membelikannya, walaupun di luar hujan deras, dan sepertinya Tuan Puteri juga sedang tidak enak badan. "Jalan duluan aja, gw masih make-up an neh." Okeh, kami pun akhirnya berangkat juga setelah menunggu, yah sebentar sih, kira-kira 10-15 menit. Tuan Puteri menganggap itu biasa saja, toh dia sudah sering seperti itu dan seharusnya kita bisa memakluminya. "Yah, kenapa pada ga jalan aja sih? Kenapa juga mesti nungguin gw?!" Kesepakatannya, kita jalan sama-sama dan karena dia tidak memberitahu sebelumnya (dalam rentang waktu yang masuk akal, bukan setelah kita menunggu, dan mepet dengan waktu keberangkatan), kita berpikir dia akan tetap berangkat sama-sama. Nyatanya? "Kenapa jadi gw yang salah sih? Kan udah gw bilang, jalan duluan aja, ngapain juga nungguin gw?!" Yah, kita memang 'membutuhkan' Tuan Puteri tanpanya semua tidak akan bisa berlangsung. Kita memang teman-teman yang bodoh, yang tidak punya keputusan masing-masing, Tuan Puteri tetap dibutuhkan di sini. Siapa sih teman-teman si 'Tuan Puteri' ini? Oh, mereka perempuan-perempuan aneh yang tidak punya pendirian dan tentu saja tidaklah 'secantik' Tuan Puteri. Si A, menurut saya, A cukup manis, tinggi-semampai, kulitnya putih bersih, pembawaannya kalem, pintar dan cekatan. Si B, menurut saya lagi, anaknya imut, hitam manis, modis, berpengetahuan luas, dan setia terhadap pacarnya (apa hubungannya yah? lumayanlah menambahkan sifat baiknya). Lalu ada si C, masih menurut saya (tidak ada orang lain yang bisa dimintai pendapat), seksi, selalu berpenampilan 'wah' dan sepertinya lebih dewasa dibandingkan yang lain. Sedangkan saya si D, mungkin saya paling buruk rupa di antara mereka semua, wajar saja, kalau Tuan Puteri (dan mungkin yang lainnya juga) sering dibuat kesal dan merasa saya adalah 'noda' bagi kelompok 'dewi-dewi' itu.
Ah, saya malah asyik bercerita tentang teman-teman saya yang 'wah' itu, jadi lupa sebenarnya apa tugas saya. Rupa-rupanya ketiga teman saya, Si A, B, dan C mulai merasa sikap 'Tuan Puteri' keterlaluan. Si A, merasa menunggu Tuan Puteri sama saja membuang waktunya yang berharga untuk belajar dan melakukan kegiatan lainnya. Si B, menganggap Tuan Puteri terlalu centil, kerjaannya make-up terus. Si C, mulai merasa terganggu dengan sikap Tuan Puteri yang semena-mena, selalu berubah-ubah, childish banget. Sedangkan saya, alasan saya sederhana, saya bosan diperintah-perintah, dibentak-bentak dan dijelek-jelekan Tuan Puteri. Memangnya hanya Tuan Puteri yang bersikap seperti itu? Si A, B, dan C bagaimana? Hem. Sepertinya mereka bersikap lebih biasa, hanya kadang mereka kesal saja, terhadap sifat saya yang lemah, gampang ditindas, tidak punya kemauan, dan bodoh. Saya pun pasrah dianggap seperti itu, karena saya sadar, yah seperti itulah saya. Satu-satu teman saya mulai meninggalkan Tuan Puteri, dengan alasan yang berbeda-beda, A harus mengejar ketinggalan kelasnya, B lebih banyak menghabiskan waktunya bersama pacarnya, C sedang asyik bermain-main dengan 'pengaggum-pengaggumnya'. Tinggalah saya dan Tuan Puteri. Nyaris di setiap kegiatan Tuan Puteri, selalu ada saya yang menjadi 'bayangan' nya.
Suatu ketika saya 'harus' menunggu Tuan Puteri turun dari apartmentnya, yang di lantai 25, saya duduk manis di bangku taman di depan apartment. Dia bilang, dia juga mau ikutan acara kampus yang disponsori oleh salah satu majalah ternama 'Femine'. Berhubung lokasinya lebih mudah dijangkau dari apartmentnya, kami pun sepakat untuk berangkat dari sana. Si A, B, dan C? Oh, mereka sudah berangkat duluan. "Kita ketemu di sana aja yah." Begitu kesepakatan mereka bertiga. Kok bisa-bisanya saya tertinggal di sini? Dengan alasan "Kasian Tuan Puteri jalan sedirian, tempatnya kan penuh banget, lagian Tuan Puteri ga tau tempat pastinya di mana." Alasan lainnya karena saya malas 'tersingkir', karena biasanya A asyik menjelajah tempat baru sendirian, kalau saya berada dekat-dekatnya pasti saya dianggap penganggu karena 'berisik', tanya-tanya terus. B sudah jelas bersama pacarnya. Apalagi C, 'pengagum' nya terlalu banyak, dan mereka hanya mau berbincang-bincang dengan C. Yah, berakhirlah saya di sini, di bangku taman, menunggu dengan gelisah, karena acaranya sebentar lagi dimulai, dan Tuan Puteri belum muncul. Berkali-kali di sms, satupun belum dibalas. Ugh. Akhirnya saya menelpon. "Ar..lo.." suara serak terdengar dari ujung sana. "Er.. Kenapa D?" Kenapa?! "Put, lama banget sih? Cepetan turun. Telat neh." Maafkan saya Tuhan, karena saya kurang sabar. "Ah! Iyah, acaranya Femine. Sori, sori. Gw baru bangun. Elo jalan duluan deh, ntar gw nyusul." Tut, tut, tut. Sambungan pun terputus. Berlari-larilah saya ke arah jalan (bukan bermaksud bunuh diri kok), mata saya langsung sibuk mencari-cari taksi kosong.
Akhirnya sampailah saya di lokasi acara, untung A, B dan C masih berbaik hati, mencarikan saya satu tempat duduk kosong, karena memang acaranya indoor dan penuh sekali. Acara sudah dimulai setengah jam yang lalu. Kami pun duduk tenang mendengarkan penjelasan seorang dokter pembicara tentang 'Cegah Kanker Payudara Sedini Mungkin'. Satu jam berlalu. Tiba-tiba saya merasa ada seseorang yang mencolek-colek bahu saya. Saya pun menengok ke belakang. Tuan Puteri duduk tepat di belakang saya, dengan nafasnya yang terengah-engah, menatap saya dengan kesal. "Kok elo ga nge take-in gw tempat sih? Jahat banget sih loe, ga setia kawan. Untung aja masih ada satu bangku kosong di sini." Suaranya meninggi dan terdengar membahana di antara pengunjung yang sedang serius mendengarkan. Tadinya saya berniat membalas tapi yah, kok rasa-rasanya nanti jadi pusat perhatian, dan mengganggu. "D, knapa sih elo kok jutek banget sama gw?" Eh? Siapa yang jutek yah?! Brak. Keheningan total menyelimuti ruangan seminar. Tiba-tiba saya sudah berdiri dan menatap Tuan Puteri (kali ini benar-benar dengan wajah 'jutek'). "Elo tuh ngaca, yang salah tuh elo. Gw bela-belain nungguin elo, knapa malah jadi salah gw?! Dasar tukang ngatur, suka seenaknya sendiri, ga mikir apa gimana perasaan orang lain?!" Blush, sepertinya seluruh wajah saya memanas. Saya pun berjalan cepat ke arah pintu ke luar (ga pake kesandung yah D) diiringi tatapan aneh pengunjung seminar.
Ternyata kekesalan saya 'membawa' saya ke sebuah kafe kecil di belakang gedung. Capek rasanya. Selalu dituduh, dituding, dan dibandingkan. Kapan kiranya saya bisa bebas, bebas menjadi diri saya, tanpa harus dijadikan orang kedua, ketiga atau bahkan menjadi bayangan. "Sori, boleh ganggu sebentar?" Saking asyiknya merenung dan merasa bersalah karena sepertinya tadi saya berbicara terlalu ketus dan telah membuat seminarnya terhenti sejenak. Bukannya merasa lega, tetapi saya malah merasa bersalah. Oiyah, kembali ke 'orang asing' yang tiba-tiba muncul dan menyapa itu. Seorang 'tante' yang berstelan jas rapi dan menenteng kamera besar di tangannya. "Oiyah, gw Adis, Adissa. Sori, tadi ga sengaja gw udah beberapa kali foto loe dari sana." Si tante menunjuk pintu keluar gedung, arah saya keluar sambil setengah berlari tadi. "Elo tuh fenomenal banget, ngeliat loe lari keluar dari ruang seminar, bikin jantung gw berdebar. Eh, sori lagi, pasti menurut loe gw aneh yah?" Saya pun mengangguk lemah, sedang malas berdebat. Si tante itu pun duduk di kursi seberang saya. Fenomenal? Iyalah, seorang mahasiswi perusak acara seminar, berlari meninggalkan ruangan, di duga karena serangan PMS dadakan. Jepret. Kilatan lampu blitz mengagetkan saya yang sedang serius memikirkan masalah tadi. "Eh, maaf lagi. Ga sengaja. Tampang loe serius dan adem banget." Saya pun kembali menatap si tante dengan tatapan tanda-tanya (tadinya sempat terlupa kalau ada seorang tante-tante yang duduk semeja dengan saya). Jepret. Eh? "Eh, gini deh. Ini kartu nama gw, kalo elo berminat jadi model, hubungi gw yah. Gw sih cuma fotografer, kalo elo emang berniat jadi model, ntar gw kenalin ke temen-temen gw deh. Gw masuk dulu yah. Acaranya blom selese. Candid foto yang tadi, bisa loe minta ke seksi dokumentasi acara ini, okeh?" Si Tante pun menghilang, berlari masuk ke dalam gedung.
"A, masa D bilang kalo gw tuh judes, tukang perintah, en seenaknya sendiri. Emang gw gituh yah?"
"Yah, kadang elo gituh sih."
"Iyah, D juga bilang, katanya elo juga ngerasa gw gituh."
"Eh, engga kok. Emang elo kadang gituh, tapi gw biasa aja kok."
"Iyah kan? Elo biasa aja sama sikap gw. D pake ngadu katanya elo ga tahan sama sikap gw."
"Hah? Engga lah. Biasa si D mah sirik aja."
"A! Bukannya ini D?!"
"Ngaco loe, mana mungkin D jadi cover Femine."
"Beneran, loe liat deh."
Baik bagimu, belum tentu baik baginya. Begitu juga teman.
Tokoh adalah rekaan, jika ada kesamaan sifat, karakter, dan nama mohon dimaklumi.
Siapa saya? Mungkin saja saya Tuan Puteri yang semena-mena. Maaf yah teman-teman ;)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar