Rabu, 25 Agustus 2010

UnderEstimation

I posted something on the net. I am waiting for his 'hot-spicy-edgy' comments. Let's see what will he write this time (or he will remain silent). I just wanted to share it with my other friends, not to challenge him. Sometime I feel this isn't fun anymore, because he always there, watching what I want to do next :(


Break Time!

Jumat, 20 Agustus 2010

Ramadhan

Seorang tetua baru-baru ini memberi nasehat “Devina, janganlah kamu menjadi anak yang sombong. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang abadi, semuanya akan kembali kepadaNya.” Saya bingung, apa yang dimaksudkan si Tetua itu. Selama ini saya menganggap diri saya adalah anak yang baik, jujur, rendah hati dan tidak sombong. Sesuai dengan salah satu ayat tata-tertib SMA saya dulu. Oiyah, saya ingin berbagi kabar gembira untuk teman-teman (yang membaca cerita ini), saya ‘mendapatkan’ kekasih baru. Cuih. Hahaha. Dia lebih tua (dari usia saya), (akan segera) mapan, (lumayan) ganteng dan pastinya kita seprofesi. Hore! Satu lagi tambahan (penting!) bonyoknya kaya dong. Hahaha. Teteup yah Dev, yang dicari yang kaya :p

“Dev, kalian berdua itu hidup di suatu lingkungan, komunitas atau apalah namanya. Dunia bukan milik kalian berdua saja. Hati-hati kalau bertindak dan berbicara.” Tumben si Mama memberikan nasehat bijak dengan bahasa yang santun, apa bulan puasa mengubah sifat si Mama yang biasanya blak-blakan, ceplas-ceplos tanpa rem yang pakem kalau berbicara. Saya menyadari sifat saya yang negatif, selalu menggerutu dan mengkritik setiap orang, karena saya beranggapan ‘tidak ada gading yang tak retak’. Ajaibnya dia yang berada di sebelah saya sekarang ini, juga bersifat mirip-mirip. Kami berdua adalah pasangan ’cynical’, dengan prinsip ‘berdua kita bisa’. Bisa mengkritik dan bisa bertahan walaupun diserang orang-orang di sekitar (sirik tanda tak mampu tuh). Hahaha.

“Satu orang sudah cukup untuk dunia, apalagi sepasang, bisa hancur dunia!” Yah, begitulah pendapat Mama terhadap kami berdua. Mama tidak tahan dengan sifat negatif kami berdua. Kok bisa? Berawal dari sebuah foto yang diunduh adik saya di laman Facebook, judulnya “My First Culinary Experience”. Bisa dibilang fotonya agak-agak blur, tidak fokus dan bentuk makanannya ehem tidak menggugah selera. Sayapun berkomentar dengan jujur sesuai kesan di atas dan ternyata my beloved partner juga berpendapat sama. Adik saya tidak terima dan mengadu ke Mama. Dan yah bisa ditebak, komentar apa yang disemprotkan si Mama kepada kami berdua.

Menurut saya pribadi, Tuhan itu adil dan bijaksana. Kalau memang tidak suka dan benci, yah tinggal membenci dan menjauh, tidak usah munafik dan pura-pura baik kepada kita berdua. “Mam, bukannya sempurna kalau kita berdua menjadi pasangan? Teman-teman tidak usah bingung harus memihak yang mana. Hahaha.” >:) “Tapi Mama lebih seneng kalo seimbang, ada yang memberi dan menerima. Jadi salah satunya bisa mendamaikan hati yang lainnya, kaya Beauty and The Beast. Biar dunia damai, aman dan tentram Devina.” Dasar si Mama, utopian sejati, maunya dunia ini damai selalu. Oiyah, langgeng-langgeng yah Dev sama pasangan barunya. Loh? Mengucapkan selamat untuk diri-sendiri? Sombong sekali. Oh, bukan. Untuk 'Devina' yang lain, yang saya ceritakan di atas.


===


PS1: Mumpung bulan Ramadhan saya meminta maaf atas kesombongan, kemunafikan dan kebohongan yang saya ciptakan di dalam cerita-cerita saya, namanya juga cerita, iyah ga? :D

PS2: Apakah seseorang yang ‘bermulut jahat’ juga merupakan pribadi yang ‘berhati busuk’? Teringat pepatah ‘lidahmu senjatamu’. Hati-hati kalau berkomentar yah Dev :p

PS3: Cerita di atas adalah ilustrasi, untuk teman-teman yang belum mengenal saya secara langsung, jangan takut, saya ga jahat-jahat banget kok ;) Kesamaan tokoh dan peristiwa tidak disengaja.

PS4: Belum muncul, baru sampe PS3 saja :D

Rebuild

Minggu, 08 Agustus 2010

Arsenal/ Manchester

Hong Ya Cave


Tadinya saya berniat mengambil lebih banyak foto, mumpung matahari bersinar cerah. Namun, apa yang terjadi? Saya hanya berhasil mendapatkan foto ini dan satu lagi. Ketika saya sedang mengatur posisi, tiba-tiba ada seorang pria berbaju merah (sepertinya kostum bola, entah klub mana) menghampiri saya. "Mau saya fotoin? Sendirian kan? Lagi liburan yah?" Sayapun menyingkir dan dengan cepat menolak tawarannya. "Eh, ga suka difoto yah? Saya ga berniat jahat kok." Si Baju Merah itu terus mengikuti saya. Tergesa-gesa saya memasukan kamera ke dalam tas dan 'mengamankan' posisi tas saya di dalam pelukan. Si Baju Merah masih mengikuti "Tenang, saya cuma mau kenalan kok." Saya masuk ke gerai Starbucks yang berjarak beberapa meter dari tempat saya, berharap orang itu pergi. Ternyata dia mengikuti saya masuk ke dalam. Di dalam lumayan sepi, hanya satu meja yang terisi. Saya menunggu giliran di kounter kasir, hanya ada satu orang bapak-bapak di depan saya. Maklum masih jam 10 pagi. "Mau makan apa? Sini saya bayarin." Si Baju Merah tadi menghampiri display makanan di sebelah kasir. Saya menolak dan megucapkan terima kasih. Si Baju Merah sudah mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari kantong celananya. "Sekalianlah. Saya ga ada niatan apa-apa kok" begitu katanya. Si Mas Barista yang melayani sayapun tampak jengah dengan kehadiran si Baju Merah. Si Baju Merah tampak memesan sesuatu dari display makanan. Si Mas Barista, yang biasanya ramah, langsung berkata setengah membentak "Saya masih melayani Mbak ini, kalau mau tunggu sebentar." Pesanan minuman sayapun tiba. Si Baju Merah menghampiri saya (dari tadi juga dia berada di sekitaran saya) "Yuk duduk, kita ngobrol-ngobrol" sepertinya dia tidak jadi memesan makanannya. Saya bingung bagaimana caranya menghindar dan mengaburkan diri. Sayapun tidak jadi duduk, saya berdiri di depan kounter, sebisa mungkin berada di dekat Mas Barista (yang berperawakan seperti tukang pukul, berotot dan tinggi besar). Si Baju Merah tidak juga pergi, dia malah mulai bertanya-tanya sehabis dari sini saya mau ke mana dan dia menyarankan tempat-tempat yang menurut dia bagus dan terkenal di kota ini. Saya diam. Saya keluar. Si Baju Merah masih mengikuti. Argh, malas menceritakan kelanjutannya. Dia masih tetap mengikuti sampai kira-kira 5 menitan saya berjalan kaki. Ujung-ujungnya dia meminta nomor telpon "Saya bener-bener pengen jadi temen baik kamu, ga ada niat apa-apa. Kalau misalnya kamu butuh teman jalan, kamu bisa hubungi saya. Biasanya saya memandu wisatawan di sini." Saya minta kartu namanya. Dia bilang kartu namanya baru diperbarui. Saya minta dia menuliskan di kertas, dia malah menunjukan hapenya. "Nomor kamu berapa? Biar saya telpon dari sini." Argh, alasan klasik. "Saya tidak ingat berapa nomor saya!" Saya berjalan lebih cepat lagi. "Argh! Sudahlah!" Frustasi diapun pergi. Fiuh.

Label

cerminan (23) daily (11) filosofi (1) fotografi (3) fragrance (3) jalan (5) khayal (10) musik (2) pandangan (4) photography (2) real (15) renungan (7) rumah sakit (6) santai (3) tuan puteri (2) waktu (6) weekend (6)