Sabtu, 26 Juni 2010

CK One by Calvin Klein*

Teriknya matahari membuat saya mengantuk, bayangan tentang sejuknya kamar, ranjang besar yang empuk dengan seprai putih bersih yang terbentang, bantal-bantal yang tertumpuk, lembut dan nyaman. Saya meringkuk di tengah-tengahnya, mengistirahatkan pikiran, jiwa, dan tentu saja tubuh yang lelah. Datanglah dia dalam bayang-bayang samar yang terlalu terang, putih. Setengah sadar saya menyadari dan tahu, itu memang benar-benar dia. Caranya membuka pintu kamar, dengan perlahan, nyaris tanpa suara. Dengan langkahnya yang ringan, dia melangkah menghampiri. Dia berdiri membelakangi jendela kamar, cahaya matahari yang terik menyoroti punggungnya dan membentuk siluet yang samar. Setengah terlelap, saya tahu itu dia. Wajahnya yang mendekati wajah saya dengan perlahan, lalu berhenti sejenak untuk mengamati wajah saya. Saya yakin itu dia, harumnya yang khas, mendatangkan kesegaran ke dalam jiwa saya yang penat. Perlahan kesadaranpun membangunkan saya dari lamunan tidur siang. Musim panas. Lamunan musim panas.





===

Musim panas, apakah ada di Indonesia? Ada, di setiap harinya di musim kemarau, satu-dua hari di musim penghujan, diikuti musim-musim lain seperti berawan, hujan rintik-rintik, hujan lebat dan badai. "Hey, look at me! Have you ever love me?" Jendela itu lagi, berkali-kali dia memandang jendela itu. Dia menatap saya dan tersenyum, meragukan. Masa lalu dan masa depan, tidakkah mereka pernah bertemu di suatu titik? "First love? Ah, itu mah buat ABG. " Itu jawabnya ketika saya menanyakan 'cinta pertama' nya. "Kalo pacar pertama?" Keukeh saya mengorek-ngorek masa lalunya. Dahinya berkerut, tampaknya dia berpikir keras untuk mengingat kembali. "SMP" jawabnya singkat. Dia menatap saya. "Yah, SMP" lagi-lagi dia mengulang jawabannya. Tatapannya menyadarkan saya, SMP, yah anak SMP dengan seragam putih-birunya, seperti seragam yang saya kenakan pada saat itu. Anak ABG, anak SMP dengan harapan dan mimpinya yang setinggi langit. Pada akhirnya kenyataan yang menunjukkan padanya, harapannya kosong, mimpinya sirna.

Yah SMP, mungkin di masa itu juga saya merasakan apa yang dinamakan sebagai 'cinta pertama'.

Masa lalu dan masa depan, apakah mereka ditakdirkan untuk bertemu? Iya, untuk dia, cinta pertama saya. Dia menikah dengan pacar pertamanya, kekasihnya di saat dia masih SMP. Masa lalu dan masa depannya bertemu.

===

*Smells like summer to me.
**He was wearing this, and he was my summer, at that time.

Sabtu, 19 Juni 2010

Peace Man, Peace!

Dia dan mulut besarnya. "Extraordinary! Terus terang yah gw ga suka sesuatu yang biasa aja, gw mau sesuatu yang luar biasa, di luar kebiasaan orang-orang." Begitulah dia mendeskripsikan dirinya sendiri. Sayapun mengharapkan sesuatu yang 'luar biasa' darinya, sesuatu yang tidak biasa, di luar imaji saya. That time, I was craving for his 'big' imagination that he offered to me. I had a great expectation toward his dream. Blah.

"Hey, you can take a little peep on it. It's just a sample. You will see something great later" He said it again. OK, I trust you that time, I'll take a look, a little. Turned out It was something plain and ordinary. It was nothing for me. Geez.

Dia, seperti seorang salesman MLM yang menawarkan barang dagangannya dengan 'semangat '45' nya, pantang menyerah dan dengan semboyan maju terus pantang mundur. Bodohnya saya, mau saja mempercayai semua omongannya, karena imaji yang dia ceritakan indah dan tak terbantahkan. Dia mendeskripsikannya seperti mimpi-mimpi indah yang pernah saya mimpikan.

Saya kecewa. Dia dan mulut besarnya. Saya dan batasan setinggi langit. Sepertinya saya akan mencari, mengejar, dan menangkap semua imaji-imaji itu sendiri. Hei, tidak ada manusia yang sempurna bukan?

Pernah bertemu dengan seseorang yang bisa memenuhi standard kriteria kamu, Dev? Pernah. Dia pendiam, seseorang yang simple, tidak suka mengumbar mimpinya. Suatu waktu dia menunjukkannya (imaji, mimpi, harapan) dan saya terpukau. Indah dan menggugah. Saya diam dan tanpa saya sadari, saya menangis (dan memeluknya!). Sore itupun berakhir dengan kami saling bertukar mimpi dan berbagi cerita. Hanya untuk sore itu.

"Although it's black and white, but in my perspective, it's a whole thing. The most intense, soulful and yet meaningful black and white one. It speaks louder than colors. It stands forever in my mind, like a first love." (Devina)


Peace (V)



Thank you for reading this 'not so important' story ;)

Kamis, 17 Juni 2010

Swan; Kaos Oblong Babeh

Rasa percaya diri (pede) memang harus dimiliki masing-masing pribadi. Tidak salah dan memang harus. Namun, kadarnya harus pas, kekurangan atau kelebihan dampaknya tidak terlalu bagus untuk dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Bagaimana dengan saya sendiri (berdasarkan penilaian sendiri)? Over! Hasilnya? Yah, tidak bagus, jadi takabur, jadi tidak tahu diri, jadi malu-maluin, jadi-jadian deh :p

Pada suatu pertemuan, saya dengan 'pede' nya (seperti biasanya) bercelana pendek, ber 't-shirt putih polos dan bersendal jepit. Kasual. Teman saya memang tidak mengharuskan kami berpakaian dengan tema tertentu, karena acaranya memang cuma kumpul-kumpul dan makan. Makan-makannya pun pasti di tempat yang 'terjangkau', bukan di tempat mewah yang membutuhkan kostum khusus. Jadinya, wajarlah saya berpakaian senyaman mungkin.

"Udah kaya mau makan di warteg sebelah aja Dev" itu pendapat seorang sahabat ketika dia melihat saya muncul di gerbang.
"Emang ada warteg di sini? Ada juga dia mau ke pasar. Hahaha." Celetuk sahabat saya yang lain. Hem, memang di sini tidak ada 'warteg' (warung Tegal, yang biasanya bertebaran di Jakarta), mungkin di sini disebut warcin (warung Cina, karena memang saya dan teman-teman sedang berada di China, hahaha).
"Sirik aja sih, gw nyaman-nyaman aja kok kaya gini" Memang saya nyaman dan pede-pede saja dengan gaya pakaian saya yang seperti ini.
"Yah elah Dev, nyadar umur dan kelamin dong. Elo tuh dah 'dewasa', dari bentuk tubuh juga udah keliatan kalo elo tuh wanita Dev. Bukan lagi cewe yang bertransisi, apalagi anak-anak yang masih aseksual!"

Saya memandang ke sekeliling, maksudnya mengamat-amati teman-teman saya itu. Wew, mereka cantik-cantik yah, terlihat wanita sekali. Salut. *tepuk tangan dan menyembah :p


Image and video hosting by TinyPic

Rabu, 16 Juni 2010

A Short Note

Mereka bilang dia seperti pangeran dengan segala kelembutannya (kegemulaiannya, imo). Hem, saya merasa agak sedikit janggal dengan kriteria Pangeran mereka. Bayangankan, 3 dari 5 teman wanita saya, menganggap dia menarik. Satu teman saya abstain karena dari awal dia sudah bingung mengkategorikan si Pangeran, apakah dia ‘prince’ atau ‘princess’. Sampai-sampai teman saya itu merasa keberadaannya sebagai wanita terancam dengan kehadiran si Pangeran di tengah-tengah kami. Sampai suatu waktu dia berkata “Eh, menurut kalian gw cocok ga jadi pangeran?” Hahaha. Kami tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan sahabat wanita saya itu. Gila! “Emang kenapa tiba-tiba elo memutuskan jadi pangeran buat kita-kita?” Saya penasaran dengan alasannya. “Yah, elo tau lah. Kayanya kebiasaan gw sebagai cewe, ga lebih cewe dibandingkan Pangeran kalian itu.” Hahaha. Ternyata sifat, karakter dan kebiasaan Pangeran sedikit-banyak menyinggung harga diri sahabat saya sebagai wanita tulen. “Tenang, elo masih normal kok. Gw juga ga menganggap dia ‘pangeran’ seperti yang anak-anak lain bilang.” Yup, itu jawab saya pada saat itu.

"Oh, how I wish that I had a daughter that had skin white as snow, lips red as blood, and hair black as ebony" wished The Queen. (Snow White)

Itu adalah keinginan Ratu untuk jabang bayinya yang saat itu masih dikandungnya. Jaman itu belum ada USG, sehingga jenis kelamin bayi belum bisa ditebak. Untungnya yang dilahirkan sang Ratu adalah benar seorang puteri, Puteri Salju namanya. Bagaimana seandainya yang dilahirkan adalah seorang putera? Nah, mungkin itu adalah ‘pangeran’ kita bersama itu. Bayangkan seorang pria berkulit putih halus lembut bagaikan porselen, bibirnya yang merah-meruah, dan rambutnya yang tebal, hitam mengkilap. Itulah deskripsi si Pangeran, ditambah kecoolannya. Masih ditambah, ketakutannya akan matahari, dengan alasan takut hitam kulitnya. Argh. Lama-lama saya juga mendaftarkan diri menjadi ‘pangeran’ seperti sahabat saya itu.

Sirik banget sih Dev, apa ga boleh seorang pria lebih memperhatikan dan merawat dirinya melebihi kalian, kaum wanita? Ga salah juga. Badan, badannya dia. Keuntungan dan kerugiannya, dia juga yang merasakannya. Oh, berarti salah kami sebagai sahabat wanitanya yang tidak pandai merawat diri?! Hei, kok jadi sinis toh. Si Pangeran juga tidak menyalahkan sahabat-sahabatnya, dia merasa nyaman dengan keberadaan sahabat-sahabat wanitanya apapun kondisi dan keadaannya. Kecuali kalau saya memutuskan untuk malas mandi selama seminggu, si Pangeran merasa tidak nyaman. Kalau itu teman-teman yang lain juga sih :p

Bonus (ga sengaja nemu) 'Disney Prince' :

Sexy Disney Men

My favorite, you can't find it above:

Prince Adam

(Prince Adam/ The Beast, from Beauty and The Beast) :))
Who's your favorite? :p

Jumat, 11 Juni 2010

Little Black Dress

Image and video hosting by TinyPic



Seorang tetua berkata "Kamu adalah tumbal bagi keluarga" dengan nada seakan mengutuk saya.

"Yah, seharusnya kamu terlahir sebagai anak lelaki. Anak sulung keluarga ini haruslah seorang lelaki, bukan perempuan" nada suaranya sepertinya menyalahkan. Mengapa saya harus terlahir sebagai perempuan? Suatu kesalahan besar baginya dan mereka.

"Tanggung jawab. Tanggung jawab kamu sebagai anak sulung keluarga menjadi berpuluh-puluh kali lipat lebih berat karena kamu perempuan" kali ini dia tidak lagi menuduh atau menyalahkan, iba. Rasa kasihan, atau malah kekecewaan?

Tidak bolehkah seorang anak perempuan memimpin keluarganya? Tidak bolehkah seorang anak perempuan menjadi penerus sekaligus pengurus keluarga? Boleh, katanya. Boleh saja, asalkan anak perempuan itu punya mental sekuat baja, dan tekad yang bulat, tidak setengah-setengah.

Tok. Tok. Tok. "Non, ada Tante S di luar" Mbak M berbisik halus di depan pintu kamar. Mbak M tahu, saya tidak suka Tante S dan biasanya Mbak M membantu saya untuk mengusirnya secara halus, dengan beralasan kalau saya sedang pergi.

"Sssttt. Sama siapa dia Mbak?" Sayapun berbisik-bisik di celah pintu kamar yang dengan perlahan-lahan saya buka.

"Sendirian Non. Tadinya Mbak pengen bilang kalau Non lagi pergi, tapi di luar hujan Non. Mbak ga enak juga." Samar-samar memang terdengar suara hujan dari dalam kamar, dan tiba-tiba suara petir terdengar bergemuruh di luar.

"Emang dia butuh apa Mbak?" Tidak seperti tante-tante lain yang super sibuk, perhatian Tante S terhadap saya di atas rata-rata. Dia bisa berkunjung setiap hari, ketika saya sedang liburan di rumah. Yah, bahkan di saat hujan badai seperti saat ini.

"Itu Non..."

"Ah, Devina!" Argh. Belum sempat si Mbak menjelaskan, wujud Tante S sudah terlihat di balik pintu kamar. Tanpa malu-malu Tante S mendorong pintu kamar dan menyeruak masuk, tidak memperdulikan saya yang masih bengong memegangi daun pintu.

"Muah, muah. Halo Devina!" Seperti biasa, dengan senyumnya yang sumringah Tante S langsung mengecup kedua pipi saya dan terdiam sejenak untuk mengamati saya, dari ujung kepala sampai ujung jempol kaki saya.

Dan inilah kesimpulannya, "Ah, apa jadinya keluarga ini nantinya. Ck, ck, ck." Tante S menggoyangkan telunjuknya di depan wajah saya dan seketika memutar badan saya. "Ini sudah siang Devina, apa kata orang kalau melihat kamu masih pakai baju tidur dan tidur-tiduran di kamar." Semua orang (rumah) juga tahu, kalau saya sedang liburan, dan bukankah di luar hujan? Lagipula saya tidak ada janji apa-apa hari ini, jadi wajar kalau saya bersantai-santai di kamar bukan? Dan apakah dosa berpakaian tidur, dan tidur-tiduran di waktu siang?

"Sana, ganti baju!" Tante S mendorong saya ke arah lemari pakaian. Untungnya dia tidak langsung membuka lemari pakaian dan menggantikan langsung baju tidur saya.

"Emang kita mau ke mana Tante?" Sambil memilih-milih baju dari dalam lemari, saya bertanya pada Tante S yang kali ini sedang sibuk memanut-manut diri di kaca rias.

"Ah, rahasia. Nanti kamu juga tahu." Tante S mengedipkan mata kirinya sambil meletakan ujung telunjuknya di bibirnya yang merah menyala. Sssttt, isyaratnya dalam diam.

"Tapi Tante, aku harus pakai baju apa? Nanti salah lagi." Yup, Tante S memang amat-sangat memperhatikan 'kesesuaian', kerapian, kepantasan, dan apapun itu. Dia bisa mencak-mencak kalau saya berpakaian dan berpenampilan tidak layak atau tidak sesuai acara.

Tante S membalikkan badannya dan langsung menatap saya "Ah, betul, betul. Harus berpakaian menarik." Firasat saya benar, Tante S bergegas ke arah lemari dan memilih-milih baju yang tergantung di sana.

"Ini!" Tante S menyodorkan sehelai gaun hitam tipis dan mungil. Ergh, bukankah ini masih siang? Oiyah, sekedar mengingatkan kalau saat ini hujan deras di luar, dan saya tidak tahan dingin.

"Tante, aku ga mau ganti kalau Tante ga mau kasih tahu kita mau pergi ke mana!" Saya gantungkan kembali gaun itu di dalam lemari, segera saya naik ke atas tempat tidur, dan masuk ke dalam selimut.

"Argh! Kamu selalu saja menjadi masalah. Padahal Tante sudah janji." Tante S ikut-ikutan duduk di tepi ranjang dan berusaha menarik-narik selimut yang menutupi saya.

"Yah tapi Tante bilang dulu, kita mau ke mana!" Seru saya dari dalam selimut.

"Kamu tahu Impress Dev?" Tante S berhenti menarik-narik selimut saya.

"Impress. Hem, tempat pelangsingan tubuh itu? Iya, aku tahu. Kenapa Tante?" Eh, jangan-jangan liburan ini membuat berat badan saya naik drastis, dan jangan-jangan Tante S beranggapan sudah saatnya saya ikut serta program Impress itu untuk mengontrol berat badan. Sayapun melongok keluar dari selimut.

"Kemarin Tante ke sana, ke rumah Tante Y."

"Tante Y?" Saya menatap Tante S dengan curiga.

"Iya, Tante Y itu yang punya Impress, udah lama banget Tante Y minta ke Mama kamu." Tante S mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

"Minta? Ke Mama? Minta apa Tante?" Saya semakin penasaran, ada yang aneh dan terselebung di sini. Masa si Mama yang berniat ikutan program pelangsingan tubuh di sana?

"Tante Y pengen banget ketemu kamu Dev." Penjelasan Tante S malah membuat saya semakin penasaran dan agak ngeri. Uh, jangan-jangan Tante Y pernah bertemu saya di suatu acara dan mungkin Tante Y 'gemes' melihat saya, karena banyak hal yang harus diperbaiki di tempatnya, semisalnya bentuk wajah, tubuh, struktur kulit, atau mungkin dia tanpa sengaja melihat kerutan-kerutan di wajah saya? Hahaha. Tapi sepertinya saya belum setante-tante itu deh.

"Tante Y pengen kamu ketemu sama anaknya." Anaknya?

"Siapa namanya Tante?"

"Danny"

Danny? Mungkin itu nama panggilannya, bisa saja nama panjangnya Daniella. Danny, tidak harus lelaki kan? Ah! Bisa-bisanya saya 'lupa' siapa dan apa pekerjaan Tante S sebenarnya, dan apa julukan Tante S di lingkup keluarga ini.

Tante S kembali menatap saya, kali ini saya sudah benar-benar berada di luar selimut. Panas dan pengap di dalam. "Sudah saatnya untuk kamu Dev, tidak baik anak perempuan berlama-lama sendiri, apa kata orang nanti. Percuma sekolah tinggi-tinggi Dev, ujung-ujungnya kamu bakal melahirkan dan mengurus anak-anak juga."

"Mbak! Lihat tas cokelatku ga?" Saya bergegas berdiri dan keluar kamar, mencari-cari Mbak M.

"Dev!" Tante S juga beranjak berdiri dan berusaha menarik saya, sayangnya saya selangkah lebih cepat.

"Mbak cari dulu yah Non." Mbak M muncul dari arah ruang belakang.

"Ga usah Mbak, aku cari sendiri. Oiyah, aku mau ke tempat Mama, tolong bilangin Pak A yah Mbak, aku mau pake mobilnya."

Tante S tampak sudah keluar dari kamar saya, "Tante maaf, aku lupa, aku harus nganter surat-surat ke Mama. Tante mau ikut aku ke tempat Mama atau..." Sengaja saya tidak memberikan pilihan, saya tahu Tante S tidak pernah sepaham dengan Mama, jadi kemungkinan Tante S bertemu Mama adalah nol koma berapa persen.

"Tante pulang aja deh Dev. Kamu itu yah Dev, jadi anak susah banget dibilanginnya. Ini semua demi kebaikan kamu Dev..." Tante S masih melanjutkan ceramahnya.

"Tante, aku harus ganti baju sekarang, kalau engga Mama bisa ngamuk karena aku telat. Aku ganti dulu yah Tante. Tante ati-ati di jalan yah." Klik. Saya masuk kembali ke kamar dan mengunci pintu.

*Kesamaan atau kemiripan nama, harap dimaklumkan.
** Sumber foto Google (millionlooks) :p

Label

cerminan (23) daily (11) filosofi (1) fotografi (3) fragrance (3) jalan (5) khayal (10) musik (2) pandangan (4) photography (2) real (15) renungan (7) rumah sakit (6) santai (3) tuan puteri (2) waktu (6) weekend (6)