Sabtu, 25 Desember 2010

X'mas!

X'mas!
X'mas!,
originally uploaded by dephina.
Merry Christmas to all of my beloved friends :)

Kamis, 23 Desember 2010

So? part 2

The answer for my previous posting: So?

Actually, my friends do 'think' about my feeling. As the result, they gave me these three cakes ;)

The Third Presents


It is a 'matcha' flavored cake. But without fresh cream and a pot of coins.
And the most important thing is, I didn't get the 'polar bear' as the free merchandise :D (slap me)

In my previous story, I mentioned about some friends who had difficulties in eating/ drinking something which contained tea, coffee or alcohol. So, I got this 'tiramisu'. Coffee: checked. Alcohol (in this case rum): checked.

Birthday Present


How about the third problem, a cake contains a lot of cream? Nope, I didn't get any cake with cream inside or outside it. But, they gave me this 'chocolate cake'. Yup, I like chocolate and do you know that choco and cream has the same problem effect? Fattening :p Oh, actually the tiramisu above also contains a lot of cream in it. So, cream: done.

Another Birthday Presents


But in the end, where is my POLAR BEAR? Just kidding :D

Terima kasih yah teman-teman untuk cake-cake nya :)
Oiyah, maaf ceritanya berantakan, buru-buru soalnya >.<

Correction: that matcha cake is a cream cake with a tiny sponge cake in between! :D

Teman-teman, cerita ini cuma sekedar guyonan ga ada maksud untuk menyinggung siapapun. Dan saya sangat berterima kasih (dan puas) atas hadiah yang kalian berikan :)

Rabu, 15 Desember 2010

Gundah Gulana*



Penantian kali ini benar-benar menyeramkan. Oh, bukan karena berapa jumlah usia saya sekarang, justru itu adalah hal terakhir yang saya sadari.

"Mbak, kuenya mau diantar kapan?"
"Eh, bentar yah Mbak. Saya cek kalender dulu." Sayapun tergesa-gesa mengeluarkan handphone dan mengecek, berapa hari lagi saya akan berulang tahun. Ah!
"Kuenya ini untuk Mbak sendiri atau untuk orang lain?" Si mbak pramuniaga bertanya lebih lanjut.
"Untuk saya sendiri kok."
"Oh.."
"Lilinnya mau yang satu-satu atau yang berbentuk angka? Kalo boleh tahu usianya berapa yah Mbak?"
"Eh, bentar yah Mbak." Lagi-lagi saya mengeluarkan handphone dari saku jaket saya, menghitung berapa usia saya tahun ini. Hahaha.
"Ini kuenya untuk Mbak sendirikan?" Tanda-tanda si mbak pramuniaga tertular 'amnesia' dadakan saya.

Ngeri, itu yang saya rasakan sekarang. Boleh dibilang 'takut' untuk menghadapinya. Bukan untuk hari H nya tapi untuk hari-hari berikutnya, sudah siapkah saya? Tahun kemarin (dan tahun-tahun sebelumnya) mayoritas saya melaluinya tanpa perasaan apa-apa, biasa saja. Yah, berulang lagi hari kelahiran saya. Namun, bukan hanya saya yang bertambah usianya, juga orang-orang yang saya cintai.

"Wei..**" Jawab saya dengan suara serak dan lemah.
"Dephina! Kamu kenapa?! Sakit?! Abis nangis?!" Si Mama bertanya dengan panik.
"Lagi bobo Mam." Jawab saya singkat.
"Oh, Mama pikir kamu sakit."
Sayapun bercerita tentang keseharian saya, diselingi cerita-cerita Mama dan orang-orang di rumah. Tiba-tiba sampai pada topik: ulang tahun saya.
"Deli! Dephina bentar ulang tahun loh. Hahaha. Mama lupa." Yup, si Mama berteriak ke arah Deli, adik saya, yang sepertinya berada di dekatnya.
"Dephina tua loh. Hahaha"

Mengapa waktu tidak pernah berhenti berputar dan mengulang? Detik, menit, jam bahkan tahun terus berulang. Sampai kapan saya dan orang-orang yang saya cintai bisa mengulangi waktu ini? Waktu yang kita habiskan bersama-sama di dunia ini. Satu dasawarsa sepertinya sangatlah singkat. Yah, berapa lama waktu yang saya habiskan 'di luar' jauh dari mereka? Nyaris delapan tahun. Berapa dasawarsa lagi waktu yang saya miliki?



*Curhat colongan Devina hari ini :D

**Halo dalam bahasa Mandarin (喂)


Tampaknya saya akan selalu menjadi 'devina kecil' di dalam benak Mama :) Love you full Mom, you're the best! :D

Jumat, 10 Desember 2010

So?



Do I need to think about others feeling?

Hu oh! I like that cake, matcha flavoured cake with a lot of fresh cream. I want that cake! The decoration is so me, look, look, aw, a lot of gold coins inside the pot. Hahaha.”
“Ehm, how about the toppings inside the cake?” I asked the waitress.
“It’s double layers cake, with fruity and rum in between. Do you want this cake Miss? If you ordered this today, you can get a Christmas special merchandise from us.” The waitress smiled.
“Wow! What kind of merchandise? Can I see it?”
“Of course Miss” the waitress smiled again and took something from the drawer beneath the display.
“Tadaaa!”

OMG. OMG. It’s a polar bear keychain made from porcelain, and it’s three-dimensional polar bear!

I saw it before, something like this polar bear, but it was Sinterklaas. I found it inside the France flagship boutique. Do you know how much is it, for one tiny keychain? 489 RMB! (Around 635.000 IDR, if the rate still 1 RMB= 1.300 IDR)

Yeah, yeah, yeah, of course I wanted that cake (and the bonus) so badly for my birthday celebration this year. But

Do you still remember about one of your senior, who didn’t invite you to his birthday party, because you are a vegetarian, who can’t eat whatever he offered at his party? Yup, he was throwing BBQ party at that time. I didn’t know about the party, until most of my friends (also his friends) asking about my absence that day. Huh? Yeah, I’m the one and only of all his friends here, who is vegetarian, blame me for that excuse.

So, you still wanted to buy that cake? Even though, one of your friends can’t eat any foods that contain tea? She will get caffeinism (nervousness, irritability, anxiety, insomnia, headaches and heart palpitations, etc.) if she consumed it. Or the other friend who didn’t like too much cream on her cake, because cream can make someone get fat and make her nauseous. How about the rum? Ouh, two or three of my friends can’t eat/ drink something which contained alcohol. So, it’s your decision Dev :)

Ah! I know the best decision for this matter Dev: just buy that cake for youself and buy another one for your friends! Hahaha. Okeh, so it will double the cost. And of course I don’t know how to eat up all that cake by myself. But if I bought the small one, I couldn’t get that cute polar bear!

Kamis, 09 Desember 2010

Dear Sahabat


Dear Sahabat,

mengapa dirimu begitu angkuh? Mungkinkah karena aku tidak lagi sesuai menjadi sahabatmu? Aku tahu semua orang berubah, termasuk dirimu. Aku tahu sejak dahulu dirimu memang pintar, Sahabat. Pengetahuanmu luas. Aku tahu belakangan ini dirimu bukan hanya mempermasalahkan 'otak', tapi juga penampilan. Ah, Sahabat. Aku menyerah kalau harus menjadi 'cantik' seperti yang kau inginkan. Sejak dulu aku memang pemalas, malas berolahraga, malas beraktivitas, malas memikirkan bagaimana harus berpenampilan. Aku tahu Sahabat, dirimu ingin menjadi lebih dan lebih. Sempurna bukan?

Saya di sini, sendiri, di tengah-tengah dunia yang berputar. Mengamati tingkah sahabat yang perlahan menjauh, menghindar. Hei! Obsesinya, keinginannya menjauhkan dia dari saya. Atau malah saya yang diam dan dia yang terus bergerak maju? Sehingga saya tertinggal. Hem, bisa jadi.

Dia terobsesi menjadi cantik, langsing dan menjadi perempuan yang didambakan dan diidamkan setiap insan adam dalam mimpinya. Duh Gusti, saya hanya bisa diam dan mengamati perubahannya. Di tengah percakapannya tentang dunia, tentang semua yang tertulis di internet dan berita, sahabat mulai menyelipkan kata pria, cantik, menggoda, seksi dan manis. Ah! Mungkin sudah saatnya, melihat teman-teman lain sudah sampai di sana. Berarti benar, saya yang tertinggal. Duduk diam, nyaman dengan dunia sekitar yang terus berputar.

"Roda kehidupan terus berputar, yang di atas bisa jadi sekarang di bawah, begitu juga sebaliknya." Seorang teman bernasehat.
"Wow, ini lagi ngomongin posisi apa yah? Mau dong, gua di atas. Woman on top kata adek gua. Hahaha." Ini bukan jawaban Sahabat yang sedang terobsesi, tapi itu jawaban saya :D
"Yah, mau di atas, mau di bawah sama aja. Kan masih ada orang-orang di sekitar, mereka juga bergerak. Jadinya relatif kan? Yang penting berusaha sebaik mungkin." Itu menurut Mama.

Dear Sahabat, saya selalu berharap yang terbaik untukmu, ketika semua keinginanmu tercapai, please, jangan hapuskan saya dari memorimu. Saya pernah jadi sahabatmu.

Rabu, 08 Desember 2010

December's Entry



"Hei, ini diriku yang sebenarnya! Ijinkan aku untuk menjadi diriku sendiri."
"Eh, kamu yang baru saja tahu bagaimana rasanya jatuh cinta, jangan sombong-sombong yah."

December is the month of love. Yup, let's talk about LOVE. Hahaha. Mari kita mengakhiri tahun 2010 ini dengan cerita cinta.

J: D, warna favorit Laura apa yah?
D: Eh, mana gua tau. Biru mungkin.
J: Yah, sayang banget kalo biru.
D: Loh, emangnya kenapa?
J: Gua sukanya ijo.

Eits, sama dong, saya juga suka hijau. Hahaha. J, yang katanya seorang insinyur lulusan universitas negeri ternama di Bandung, penggemar jazz dan juga penyuka Italian cuisine. J, yang tiba-tiba mengirimkan sebuah message via Friendster (yup, di jaman Facebook belum menjadi kebutuhan pokok seperti sekarang).

From: J
Subject: Hi D
Message: Gw J, salam kenal yah. Eh, gw nanya dong, elo kenal Carrie Lam yah? Bingung gw, tiba2 dia ngirimin gua banyak testimonials. Dia emang temen SMP tapi udah lama ga kontak2. Siapa tahu dia temen loe. Btw, elo lagi kuliah di China yah?

Message pertama yang saya terima dari dia (semoga tuh anak ga pernah baca-baca blog, kalo engga langsung ketauan :p) via Friendster. Dua hari sebelum dia mengirimkan message itu memang ada seorang perempuan bernama Carrie Lam, yang kuliah bahasa di Beijing menambahkan saya ke dalam daftar temannya. Carrie merasa kalau saya juga kuliah bahasa di Beijing, karena lokasi saya bertuliskan China. Padahal pada saat itu saya di Nanning (provinsi lain di China yang letaknya jauh dari Beijing). Semuanya berawal dari sana. Berhubung saya penasaran juga dengan kisah J dan Carrie ini, berakhirlah saya menjadi penghubung kedua kubu ini. Saya sempat berpikir kalau Carrie ini tokoh rekaan yang sengaja dibuat J untuk menipu anak-anak tak berdosa seperti saya (hahaha, maksudnya 'anak-anak' kuliah). Tapi nyatanya si Carrie ini juga punya teman-teman lain yang mengisi testimonial di wall Friendsternya, setidaknya kecurigaan saya berkurang sedikit pada saat itu.

Pada akhirnya saya jadi dekat dengan mereka berdua, saya jadi tahu kalau Carrie adalah mantannya si J, dan menurut Carrie, J masih bersikeras untuk meminta Carrie menjadi kekasihnya lagi. Tapi Carrie menolak karena Carrie sudah tunangan. Loh kok malah berkebalikan dengan cerita J?

Setelah masalah mereka selesai, saya dan J masih sering berbalas message, email bahkan rutin chatting setiap harinya. Kali ini yang menjadi topik bukan lagi Carrie Lam, tapi Laura. Hahaha. Laura, teman SMA saya, mantan ketua OSIS dan juara umum. Kebetulan Laura kuliah di jurusan yang sama dengan J dan mengikuti kegiatan organisasi yang juga sama. J pernah bertemu Laura di suatu acara organisasi mereka, J datang sebagai tamu alumni. Rupanya keberadaan Laura menarik perhatian J, tapi pada saat itu J tidak punya alasan kuat untuk berkenalan. Akhirnya dia bertanya-tanya pada saya. Sebenarnya percuma juga karena saya tidak tahu banyak tentang Laura, selain satu almamater sewaktu SMA. Pertanyaan-pertanyaan tentang Laura berakhir di hari kedua, karena setelah itu J tidak lagi menyinggung masalah Laura.

From: J
Subject: Lagi belajar yah?
Message: Oops, sori ganggu. Pasti lagi belajar yah? Pantes YM nya mati. Ujiannya besok kan? Semangat yah. Gw mau nemenin nyokap dinner dulu deh. Ah, enaknya liburan. Jangan sirik yah. Hahaha.

Bisa ditebakkan hasilnya apa? Semangat dong pastinya. Hahaha. Membuktikan kalau saya juga perempuan biasa yang bisa jatuh cinta :p Cerita dari bulan Desember beberapa tahun yang lalu. Nyaris saya lupa bagaimana rasanya berbagi cerita, berbagi dukungan dan semangat dengan seseorang yang berarti (selain keluarga tentunya :D).


Dilanjutkah ceritanya? Hem2.

Sabtu, 13 November 2010

Nothing Last Forever

Heaven
Heaven,
originally uploaded by dephina.

Baru saja saya selesai merapikan isi lemari baju saya, sudah saatnya mengeluarkan baju musim dingin dan menyimpan baju musim panas. Ketika saya melipat kaos-kaos musim panas, saya teringat perkataan seorang sahabat perihal baju-baju yang bertumpuk.

"Ditinggal ajalah, buat apa dibawa pulang?" Menurutnya itu solusi terbaik untuk mengurangi jumlah 'bagasi' yang harus dibawa pulang nanti.
"Ditinggal?" Saya tidak habis pikir harus meninggalkan mereka di sini.
"Iya, atau dihibahkan ke orang lain kalau mungkin." Sahabat saya menatap dengan serius, untuk meyakinkan saya agar tidak membawa banyak pakaian pulang.
"Tapi, nanti gua pake apa di rumah? Sebagian baju yang gua punya yah ada di sini." Sayapun menghela nafas.
"Yah elah, beli lagi lah di sana. Perasaan di Indo juga banyak baju bagus."

Yah, yah, yah. Mungkin tidak masalah buat sahabat saya itu untuk membeli selusin pakaian baru. Buat saya (dan adik-adik, tidak bisa dipungkiri DNA kami saling bertautan :p) masalah besar. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana harus berburu kaos atau celana jeans yang sama persis dengan yang pernah saya pakai. Bagaimana harus menemukan kenyamanan yang sama dengan pakaian-pakaian lama saya? Hahaha. Berlebihan sekali. Eits, tidak heran kalau saya dan adik-adik kadang memakai kaos buluk yang bolong-bolong. Nyaman rasanya.

Ah, katanya tidak baik kalau terlalu terikat dengan hal-hal keduniawian (dalam hal ini pakaian dan sepatu-sepatu saya). Nothing last forever. Memang benar, pada saatnya nanti mereka juga akan rusak dan tidak layak pakai lagi tapi selama masih bisa dikenakan kenapa tidak? Tidak tega saya meninggalkan mereka :p

Campuran Kopi Susu

Cappuccino
Cappuccino,
originally uploaded by dephina.

Masih tentang sahabat yang sama, deuh, kok belakangan ini tingkahnya semakin mengerikan. Hahaha. Jarang-jarang loh saya memgeluh :p Bagaimana rasanya menjadi orang ketiga yang harus menyaksikan kejadian ini?

Minggu pagi yang cerah, kebetulan kami bertiga berjalan melewati sebuah kedai kopi ternama.

"Gua ga suka kopi di sini. Pasaran." Keluh seorang sahabat, sebut saja A, seketika kita menghirup harumnya kopi yang menyeruak dari dalam kedai.
"Pasaran kenapa?" Berhubung baru-baru ini saya tergila-gila dengan kopi, otomatis saya bertanya.
"Gua ga suka rasanya, kombinasi pahitnya kopi dan susunya ga balance." Si A menjelaskan dengan ketus.
"Menurut gua itu selera masing-masing." Sahabat saya yang satu lagi, sebut saja B menyahut dengan kalem sambil berlalu masuk ke kedai kopi itu.

Kamipun memesan minuman yang kami inginkan, saya dengan segelas cappuccino dan B dengan segelas espresso panasnya. Bagaimana dengan A? Mungkin karena 'pasaran' (busyet deh, kopi segelas 30 rebu dibilang pasaran) A pun tidak memesan apa-apa.

"Ga mesen apa-apa A?" B bertanya di tengah kesibukannya meniup dan menyesap espresso panasnya.
"Ga deh. Kebanyakan minum kopi bikin gua deg-degan." A pun mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya.
"Oh.." Jawab B singkat. Sayapun bingung, kok A tidak tergoda dengan semerbak-harumnya kopi yang kami minum yah?
"B, kok elo bisa sih minum espresso yang pahit gituh? Kaya minum jamu aja. Hahaha." Sebenarnya kebiasaan B ini yang lebih membuat saya penasaran. Dibanding kebiasaan-kebiasaan A yang selalu mengkomentari apapun, B selalu diam dan termenung, dia hanya akan menjawab kalau ditanya.
"Hem, justru itu enaknya Dev. Kadang gua juga minum cappuccino atau yang lainnya kok. Cuma kadang gua butuh sentakan dari pahitnya kopi dan aroma kopi itu sendiri, tanpa tambahan susu atau yang lain." B pun tersenyum sambil menghirup aroma kopinya.
"Coba deh Dev.." B mendekatkan cangkir kecilnya ke hadapan saya.
"Baunya enak. Hahaha." Jawaban klise buat penggemar kopi jadi-jadian seperti saya.

Kamipun melanjutkan acara jalan-jalan kami. Kali ini kami melewati sebuah toko sepatu olahraga ternama. B pun berhenti sejenak untuk mengamati sepatu-sepatu yang terpajang di etalase, tertera tulisan SALE (up to) 70%!

"Sori, gua masuk dulu yah." B meminta ijin kepada kami.
"Oh okeh, gua juga mau liat-liat." Sayapun mengikuti B masuk.
"Ah, sama aja. Mau diskon mau engga, harganya ga beda jauh kalau kita beli di Indo." Dengan sinisnya A berkomentar, dengan terpaksa dia mengikuti kami masuk.
"Lumayanlah A, jarang-jarang ada diskon untuk keluaran baru. Walaupun 10-20 persen kalau dikurs bedanya nyaris dua ratus ribu dan belum tentu di Indo ada." B tersenyum sambil mengambil sepasang sepatu dari etalase. Ketika B membalik sepatu dan melihat tag harganya, sayapun ikutan mengintip. Huks. ¥890 (nyaris 1,2 juta rupiah!).
"Alah, dua ratus, tiga ratus ribu mah ga masalah. Itung-itung ongkos kirim." Deuh A, kalau ngomong mbok yah lihat-lihat sekeliling. Dua ratus ribu bisa untuk makan sebulan itu.

Si B pun membeli sepasang sepatu dari toko itu. Setahu saya, B memang 'penggemar' berat merk ternama itu. Beberapa kali saya melihat B memakai model yang berbeda dari 'brand' tersebut.

Belakangan ini saya merasa komentar-komentar A menjadi tidak beralasan, dan seringnya negatif. Sebentar lagi dia akan berulang tahun, saya jadi takut untuk memberikannya hadiah. Dua tahun terakhir, hadiah saya tidak memenuhi standarnya.

"Loe ngasih apaan sih Dev? Jam rusak loe kasih ke gua." Hem, saya tersinggung dengan pernyataan itu karena jelas-jelas jam itu berdetak ketika saya beli. Mana saya tahu kalau baterainya kebetulan habis.

"Sori Dev, tapi gua udah punya barang yang loe kasih itu. Nih, buat loe aja. Elo kan belom punya." Disodorkannya karpet yang saya beli khusus untuk kado ulang tahunnya. Karpet itu baru, bukan barang bekas. Karpet itu ada di kamar saya sekarang. Setiap kali saya melihat karpet itu saya sedih, saya benar-benar tulus dan niat membelikan A karpet itu karena saya berpikir lantai kamar A pasti dingin kalau musim dingin datang. Apa boleh buat, saya keduluan senior saya yang juga memberikan karpet (yang ternyata memang lebih besar, dan karpet saya jadi tampak seperti keset).

Hey, apa A benar-benar tahu banyak tentang hal-hal di atas (dan hal-hal lainnya)? Setahu saya, A selalu diam di kamar, jarang keluar. Kadang ceritanya hanya seputaran acara televisi dan internet. Dulu dia masih mengutip sumbernya "Oh, kemarin gua baca di internet kalau sebagian besar produk 'adadeh' ditarik dari pasaran karena kesalahan cetak". Itu dulu, kalau sekarang A lebih banyak mensensor sumbernya, ingat kedai-kopi-ternama-pasaran itu dong? Kebetulan saya menemukan sumber beritanya di situs pencari, dengan judul berbahasa Inggris. Di paragraf akhir berita itu disimpulkan, walaupun pasaran (karena cabang-cabangnya menjamur di mana-mana), namun sepertinya orang-orang masih akan terus berkunjung ke kedai mereka karena memang belum ada kedai lain yang menyaingi (dengan produk dan strategi pemasarannya yang jempolan). "Kombinasi pahitnya kopi dan rasa susu yang ditambahkan sepertinya tidak sesuai dengan selera saya, karena saya tidak lagi bisa merasakan karakter kopi di dalamnya." Tebak dari mana saya menemukan kutipan kalimat di atas? Ternyata bukan genuine perkataan A seperti sebelumnya, pendapat B ternyata benar "sesuai selera masing-masing". Yup, kutipan perkataan di atas memang saya dapatkan dari blog yang B tulis. Tanpa maksud apa-apa (dan bodohnya) saya mengetikan kalimat yang A katakan, search: kombinasi pahitnya kopi dan susu. Saya kaget karena di antara hasil yang ditemukan mesin pencari itu terkait blognya B (lengkap dengan foto dan deskripsinya)!

Ada hikmahnya juga sih Dev, tentang karpet, mungkin A juga merasakan hal yang sama "kasihan Devina, di kamarnya ga ada karpet" daripada tersia-siakan lebih baik diberikan kepada orang yang membutuhkan bukan? Untuk informasi-informasi yang disampaikan A, walaupun tidak jelas sumbernya (kita tidak akan pernah tahu kalau A benar-benar pernah mencoba, terlibat atau mendatangi sumber) setidaknya A mempercepat proses penyampaiannya, hitung-hitung berbagi berita :D

Rabu, 03 November 2010

Big Black Book

Spring is here!
Spring is here!,
originally uploaded by dephina.
Bukannya GR, sepertinya blog ini seperti buku cerita besar yang dibaca diam-diam. Beberapa sahabat rupanya sesekali mengintip isi blog ini, dan tanpa sengaja mereka mengutip perkata saya. Seperti buku hitam yang diharamkan, mereka malu-malu (baca: tidak mau berterus-terang) membaca cerita-cerita saya.

Makasih yah teman-teman yang sudah mengintip blog ini. Kalian boleh request tempat, film, cerita/pengalaman atau makanan yang mau kalian coba atau datangi tapi ragu-ragu. Kalau saya sempat dan mungkin, akan saya laporkan di sini. Hahaha.

Terbukti 'iklan' Pizza Hut nya laku. Padahal saya tidak bermaksud mengiklankan :p

Sabtu, 16 Oktober 2010

Despicable Truth


Mungkin Tuan, Nyonya dan Nona tidak pernah merasakannya, karena kalian adalah dewa-dewi dengan permata bertaburan di sekujur tubuh dan pakaian kalian. Legenda langit yang bersinar terang. Tidakkah kalian merasa hina, jelek dan tidak pantas dilihat? Oh, orang-orang macam hamba yang hina ini susah sekali menatap Tuan, Nyonya dan Nona sekalian, terlalu terang. Mata hamba menjadi silau dan yang terlihat hanyalah cahaya. Mata hamba menjadi buta, seandainya hamba berlama-lama menatap Tuan, Nyonya dan Nona. Maaf, maaf, maaf. Hamba tidak berani menatap, ijinkan hamba menundukan kepala. Silahkan Tuan, Nyonya dan Nona sekalian melanjutkan jamuan makan malamnya.

"Feb, Feb. Tatap mata saya!" Saya mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah ke arah mata saya dan adik saya, Febri (seperti gerakan dan perkataan sang master Deddy Corbuzier).
"Hahaha! Ga ah. Ntar Devina tahu lagi. Hahaha!" Febri dan sayapun tergelak tertawa terbahak-bahak.
"Eits. Aku tahu loh Feb, kira-kira orangnya seperti apa." Saya berusaha serius menerka sambil menatap mata adik saya.
"Hahaha. Devina ngaco!" Si Febri tertawa malu-malu.

Beda lagi dengan adik saya yang satu lagi, Benat.
"Deph, Deph coba liatin deh, maksud temenku ini apa?" Tanpa malu-malu dan basa-basi dia memberikan link foto teman yang dimaksud.
"Nat, Nat.." Saya menanggapi permintaan adik saya seserius mungkin.
"Hem.." Saya menatap foto temannya itu sejenak.
"Kenapa Deph? Kenapa? Ada yang aneh yah?" Si Benat penasaran.
"Eh, dia cewe kan yah?" Serius saya bingung, temennya ini cewe atau cowo.
"Ya elah Dephina! Itu jelas-jelas cowo!" Hahaha. Si Benatpun tidak jadi bertanya lanjut.

Melesat dari satu meja ke meja lain. Terbang dan hinggap tanpa tujuan yang jelas, bau makanan yang menuntun. Jelas yang saya suka. Terbang tanpa diketahui manusia-manusia berkilauan di bawah sana. Tidak digubris, tidak dipedulikan. Diam-diam saya menatap sebuah pojok gelap. Ah! Gudang makanan. Tanpa bau, tanpa rasa, tanpa penerangan. Frozen food. Saya tidak suka. Menatap Tuan, Nyonya dan Nona menyantap hidangannya, menerbitkan liur hamba. Bzzzttt. Hamba mengintip sejenak, tanpa sengaja Tuan menangkap bayangan hamba. Ups. Sembunyi! Hamba dilarang menganggu acara jamuan mereka, maklum hamba kotor, tidak higienis, biang penyakit. Hahaha. Tuan, Nyonya dan Nona tertawa. Kira-kira apa yang mereka bicarakan yah? Ah, hamba tidak peduli. Semoga saja Tuan, Nyonya dan Nona tidak lagi memerhatikan hidangan mereka. Hamba lapar.

Ada yang aneh dengan mereka.

"Hei! Tuan, Nyonya dan Nona! Jelas-jelas kita sama!"

Sepenglihatan saya yang rabun dan tidak jelas ini, bentuk kita sama. Walaupun samar, saya yakin kita sama. Karena kadang saya mengerti apa yang kalian bicarakan. Tidakkan kalian pernah menantap saya? Menghiraukan dan memperhatikan bentuk saya? Cuih. Mulut hamba yang berbuih-buih penuh sumpah-serapah, kuku-jari hamba yang kotor penuh dengan gumpalan kotoran dan darah. Apalagi pikiran-pikiran hamba yang keruh dan penuh prasangka. Jalang!

*Taken from Wikimedia Commons.


My Cute Heroin

"Loh, saya pesennya kan lemon tea panas?!" Bentak tante di sebelah saya.
Si Mbak yang membawakan segelas ice lemon tea itu bingung, terdiam sejenak, dan mengecek bon yang terletak di bawah meja.
"Tapi di sini tertulis ice lemon tea." Dengan takut-takut si mbak pramusaji yang imut itu menunjukkan secarik kertas.
"Jelas-jelas saya minta teh hangat! Iyahkan?" Si Tante meminta dukungan dari teman-temannya.
"Permisi sebentar" si mbak pramusaji tampak mengkerut takut dan pergi meninggalkan tante itu. Berselang beberapa detik si mbak pramusaji imut tadi menghampiri kembali meja tante di sebelah saya, kali ini bersama mbak manajer (yang juga imut).
"Maaf, tadi saya salah mencatat pesanan Anda. Satu lemon tea hangat akan segera diantar. Sekali lagi maaf." Dengan sigap si mbak manager menunduk minta maaf, mencoret dan menuliskan sesuatu di bon pesanan Tante.

Sebenarnya bukan sepenuhnya salah si mbak manajer yang mencatat orderan si Tante. Dari awal si Tante hanya menyebut 'lemon tea' tanpa kriteria spesifik panas atau dingin. Berhubung kondisi restoran sedang ramai (sebagai bukti, saat itu saya sedang duduk di sofa tunggu bersama beberapa tamu lainnya) si mbak manajer pun mengasumsikan pesanan si Tante sebagai 'ice lemon tea'. Dan semestinya si Tante tadi juga mendengarkan dengan seksama ketika si mbak mengulangi pesanannya, bukannya malah mencueki dan asyik tertawa dengan teman-temannya. Pengulangan si mbak pun menjadi sia-sia karena diakhiri dengan anggukan si Tante tanda setuju. Nyatanya? Satu gelas ice lemon tea tersia-siakan (gluk, saya haus..).

Setelah menunggu sekitar 10 menit pesanan saya datang, dan ternyata yang membawakan adalah si mbak manajer yang imut (kecil banget mbaknya, tingginya sedagu saya, kurus, baju seragamnya tampak longgar, dan kacamatanya tampak melorot, lucu deh :D), rasanya saya pingin memeluk si mbak erat-erat dan bilang "Salut sama si mbak. Keren!" Plok, plok, plok (suara tepuk tangan). Si mbak manajer imut ini menurut saya memang keren, bayangkan seluruh dinning area di lantai satu ini dia yang menguasai, termasuk order untuk take away, urutan antrian meja, kadang dia membantu pramusaji membawa makanan dan sebagai security juga (penjaga pintu yang membatasi tamu yang nekad nyelonong masuk tanpa antri). Oiyah, sebagai mesin penyambut tamu juga dengan ucapan "Selamat datang" dan "Terima kasih untuk kunjungannya" setiap kali ada tamu yang melewati pintu. Apakah dia tidak mempunyai anak-buah? Oh ada, tapi entah-mengapa pelayan-pelayan yang lain selalu saja bertanya pada dia, dan pada akhirnya dia juga melayani langsung. Mungkin karena jam sibuk sehingga tidak memungkinkan untuk menjelaskan panjang lebar. Ugh, susah juga.

Dan lagi, teriakan si mbak manajer imut ini telah menyelamatkan kepala saya dari tumpahan saos steak. "Hey! Hati-hati itu. Jangan ditaruh di situ!" Saya sendiri tidak menyadari ketika mbak pramusaji imut berdiri di belakang saya, menggunakan bantalan sofa sebagai alas tulis, sedangkan tangan kirinya melayang di atas kepala saya dengan senampan steak tertutup di dalam plat besi panas dan secangkir saos di atasnya. Bayangkan, dengan sebelah tangan yang kecil dan ringkih dia mengangkat itu! Si mbak manajerpun segera mengambil alih nampan itu dan menjauhkannya dari atas kepala saya. Fiuh. Hidup mbak manajer imut! Hahaha. Dengan senyum mengembang di bibir saya (karena pesanan sudah di tangan) dan senyum lelah di bibir si Mbak, sayapun melangkah pulang, dibukakan pintu dan diiringi suara lembut mbak manajer imut "xie xie guang lin.."

*ilustrasi: produk barunya Pizza Hut China :)

Rabu, 13 Oktober 2010

Stubborn

"Aku tidak ingin mencintai dia." Terus saja mengingkari.
"Apa yang sebenarnya kau rasakan?"
"Sepi, sendiri. Yah, kesepian."
"Kamu kesepian?"
"Hey! Aku butuh teman."
"Teman? Bukankah kamu selalu dikelilingi teman-temanmu?"
"But, they don't have ears."
"Hanya telinga?"
"Nope, I can't hold their hands."

Sudah aku katakan dari awal, aku tidak bisa mencintaimu. Walaupun kau memintaku untuk mencoba, beberapa kalipun, hasilnya akan tetap sama.

"You are my very best friend."

Selasa, 21 September 2010

Human Being

Mereka maunya apa sih? Kalau memang tulisan dan cerita di blog saya ini membuat mereka merasa eneg, dan ingin muntah yah tidak perlulah mereka diam-diam membacanya. Kadang mereka berkomentar di luar kesadaran mereka. Kalau memang tidak sesuai dengan harapan mereka, buat apa mereka membacanya, buang-buang waktu. Anggap saja mereka tidak pernah tahu kalau saya bercerita di blog ini.

Mereka boleh menganggap diri mereka hebat dan menyombongkan diri mereka langsung di hadapan saya. Apakah saya tidak boleh berangan-angan menjadi seseorang yang hebat melalui cerita-cerita saya? Karena saya tidak memiliki keberanian untuk menyatakan "Eh, menurut loe, Wang Lee Hom* sama gue gantengan mana? Kayanya gantengan gue ke mana-mana yah. Hahaha." Di dalam cerita inipun saya tidak pernah berangan-angan menjadi seperti Scarlett Johansson**, terus-terang saya malu, tidak berani dan hati kecil sayapun mengatakan "Bagaimana mungkin, kamu bermata sipit dan berambut hitam, lah jelas-jelas dia bule yang berambut pirang."

Menjadi salah saya (dan perempuan-perempuan lain) kalau tiba-tiba saya didatangi orang asing yang mendesak ingin berkenalan. Bukanlah tipe saya, yang merasa senang karena tiba-tiba ada orang minta berkenalan, saya malah takut dan merasa terganggu. Saya lebih suka duduk diam mendengarkan musik atau mengamati suasana sekitar sambil menghabiskan segelas kopi atau teh, sendirian. Hening, dalam dunia saya sendiri, tanpa percakapan, tanpa pertanyaan dan jawaban.

Memang saya bukan isteri, pacar ataupun adik perempuan mereka. Tidakkah mereka berpikir kejadian yang menimpa saya (dan perempuan-perempuan lain) bisa saja terjadi kepada orang-orang terdekat mereka? Ah, kecil kemungkinannya untuk isteri, pacar atau adik perempuan mereka menumpang bis umum. Wajarlah, kalau mereka tidak mengerti bagaimana perasaan perempuan-perempuan yang harus berdesak-desakan di dalam kendaraan umum, yang kadang tanpa disadari ada tangan-tangan jahil (dan anggota-anggota tubuh lainnya) yang menggerayangi. Bahkan ketika bis itu kosong, tidakkah mengherankan mendapati seseorang memaksa duduk disebelahmu dan mengambil setengah jatah kursimu? Yah, mungkin tidak terpikir bagi mereka. Hanya cerita kosong, yang mungkin sengaja dibuat untuk menyatakan "Get me, grab me or yeah I'm sexy as hell, baby!"

Celana yang saya beli sama-sama pendeknya dengan yang dia beli. Wajarlah, kami bercelana pendek dan bertank-top di sini. Panas. Hari ini saja suhu udara di luar mencapai 38 derajat celcius. Itu sudah lebih baik, sebelum-sebelumnya sempat mencapai 45 derajat! Tidakkah aneh dan mengumbar aurat? Sepertinya tidak, sebagian besar kaum hawa di sini juga berkostum sama. Bagaimana dengan kaum adamnya? Kadang sebagian dari mereka harus bertelanjang dada, atau paling tidak menggulung kaos mereka sampai di atas perut. Sehingga wajar saja kalau tiba-tiba saya mengarahkan kamera saya ke arah perut mereka dan 'jepret'. Sama halnya kalau saya pria dengan kamera atau handphone berkamera, diam-diam saya mengikuti seorang perempuan bercelana cukup pendek, tunggu sampai dia menaiki eskalator atau tangga dan 'jepret'. Ingat, ini bukan untuk konsumsi pribadi, tapi request seseorang yang mungkin tidak punya adik perempuan.

Mungkin mereka berpikir ini salah saya (dan perempuan-perempuan lain) yang bercelana pendek dan tidak tahu diri. Sengaja memamerkan betis, paha dan bentuk selangkangan yang mungkin tidak bisa dibilang indah dan menawan. Hasilnya akan sama saja dengan terfoto atau tidak, ujung-ujungnya akan menjadi konsumsi publik juga. Iyakan? Tadinya saya berencana memakai kerudung dan menutupi semua anggota tubuh saya. Argh, tapi saya tidak mampu, salut untuk saudari-saudari yang bertekad untuk mengenakan hijab dalam kesehariannya. Salut. Kalau saya? Hua! Panasnya tidak tertahankan. Kalaupun saya memakai kerudung atau pakaian tertutup, saya yakin mereka juga akan berkomentar sinis "Sok seksi loe, apa juga yang mau loe tutupin? Berasa cantik dan badan loe bohay aja. Lihat tuh, lemak loe nyembul di mana-mana. Loe pikir kita bakal ngeliatin loe apa? Kalaupun elo berhotpants kita bakal jauh-jauh, merusak mata tau ga. Ga ada bagus-bagusnya untuk diliat!"

Maaf, sekali lagi saya membuat kalian pingin muntah dengan membaca curhatan saya ini. Entah, mereka akan dengan tidak sadar berkomentar lagi atau malah memilih diam dan berkomentar di belakang saya. Saya hanya berharap mereka menyadari kalau menjadi perempuan tidaklah mudah, selain kita harus memikirkan diri kita sendiri, kadang kita juga harus memikirkan pandangan orang-orang di sekitar, baik kaum prianya maupun sesama perempuan. Jadi, hargailah kami, teman atau saudara perempuan kalian dan biarkan kami menjadi diri kami sendiri. Tabik!

-> Yah, menjadi pria juga tidak mudah, bagaimana kami harus menahan diri untuk tidak berkomentar atau melihat 'sesuatu' yang tersedia gratis di depan kita? Mau pura-pura tidak lihat, kalian malah tersinggung, dipikirnya kami tidak menghargai dan menganggap kalian jelek. Mau terang-terangan dilihat, kalian menganggap kami melecehkan. Nah kan?

**Scarlett Johansson



*Wang Lee Hom, model iklan air mineral Wahaha.






Kamis, 16 September 2010

Don't Bother*

Saya masih teman yang sama, dengan karakter yang penyendiri dan ‘semau gue’. Apa yang membuat dia berpikir kalau saya berubah? Bukankah ada mereka? Si A, si B dan si C yang biasanya mau membantunya atau sekedar menjadi teman jalannya. Mengapa tiba-tiba dia meminta saya untuk menemaninya membeli sesuatu yang tidaklah penting, sekilo jeruk. Tidakkah si A dengan senang hati menemaninya karena memang si A suka sekali jeruk. Anehnya lagi, dulu saya sering melihatnya membeli jeruk sendirian, waktu itu dia beralasan tidak mau merepotkan orang lain.

“Hahaha. Gue udah sering banget ketemu cewe kaya loe, biasa banget dan tipikal.” Menurut dia begitulah saya waktu pertama kali kita bertemu. Tipikal dan biasa. Yah, sayapun merasa seperti itu, sama seperti perempuan-perempuan lain yang memiliki sepasang mata, telinga, tangan, kaki dan sepasang-sepasang anggota tubuh lainnya. Normal, tidak ada yang aneh dan ajaib.

“Kamu bisa masak?” Dia bertanya di pertemuan berikutnya, yang mengharuskan saya dan teman-teman menyumbangkan minimal satu jenis masakan untuk dinikmati bersama. Saya menyumbangkan mushroom risotto dan coleslaw.
“Lebih lengkap lagi kalo kamu masak daging atau ayam sebagai tambahannya.” Itu komentar dia ketika dia ‘mencicipi’ kedua kalinya risotto yang saya buat. Saya hanya tersenyum dan menyerahkan piring ke tangannya. Perlukah saya menjelaskan kalau saya vegetarian? Ah, malas rasanya.

Hey! Kamu mau ke mana?” Entah bagaimana, pagi itu saya berpapasan dengan dia di halte bus dekat apartment.
“Mau jalan-jalan.” Jawab saya singkat.
“Ke mana? Bukan ke mall kan?” Dia menunjuk ke arah backpack saya.
“Bukan, mau keliling aja, nyari objek bagus buat difoto.”
“Ah, sendirian?” Dia menatap saya dengan aneh.
“Kayanya.” Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum membalas pertanyaannya dan kebetulan bus yang saya tunggu datang.
“Duluan yah..” Sayapun pamit dan pergi.

Apa yang membuat dia tiba-tiba menghubungi saya dan meminta saya menemani dia membeli sekilo jeruk? Tidakkah teman-teman saya yang lain, yang menurutnya luar biasa dan ajaib itu, tidak lagi punya waktu untuk menemani dia? Ah! Mungkin teman-teman saya itu terlalu istimewa untuk sekedar diajak ke pasar dan menawar sekilo jeruk.

“Oiyah, kenalkan ini Bento, sahabat gue yang kebetulan mampir.” Si diapun bersalaman dengan Bento.
“Kamu mau ke mana Dev?” Sepertinya itu pertanyaan favorit yang selalu ditanyakan dia kepada saya.
“Oh, gue mau nganterin Bento nyari payung.” Jawab saya sambil tersenyum dan menunjuk Bento.
“Payung? Untuk?” Si dia menatap saya dengan penuh tanda-tanya, yah karena cuaca cerah-ceria pada saat itu.
“Bento memang suka koleksi payung.” Bento dan sayapun tertawa. Kamipun berpamitan dan pergi meninggalkan dia sendiri di depan gerbang.

Payung dan Bento, itu adalah kejadian seminggu lalu, sebelum akhirnya saya kembali ke pasar ini untuk mencari sekilo jeruk bersama dia. Agak ragu saya menemaninya mencari sekilo jeruk di musim seperti sekarang ini. Kalaupun ada, harganya mahal dan rasanya pun sangatlah kecut. Mengapa tidak kamu jelaskan saja kepada dia, Dev? Kalaupun kamu malas menemaninya, apa susahnya menolak permintaannya? Cukup bilang ‘tidak’ bukan? Pada akhirnya saya tidak tega dan memutuskan untuk menemaninya. Seharian saya dan dia mencari sekilo jeruk di pasar itu, juga di beberapa pasar swalayan di dekat tempat tinggal kami. Adakah sekilo jeruk di sana?

“Kayanya emang lagi ga musim yah Dev?” Akhirnya dia memutuskan untuk berbicara setelah berjam-jam kita berjalan dan berkeliling.
“Iya” jawab saya singkat.
“Kamu mau ke mana Dev?” Pertanyaan itu lagi. Tadinya saya ingin bertanya balik, karena dia yang mengajak saya bukan?
“Hem, mungkin gue balik aja deh.” Yah, kaki saya pegal dan baju saya basah oleh keringat setelah seharian berkeliling, dan yang paling saya inginkan sekarang adalah pulang dan mandi.
“Dev, sorry yah.” Dia tetap berdiri mematung di sana, di tengah keramaian pasar. Sayapun berpaling dan melangkah pergi, pulang.


Sale! 1kg=1.6RMB (±2,560IDR)

*) Setelah berusaha mengingat beberapa saat, ini adalah judul lagunya Shakira :D

Jumat, 10 September 2010

A Short Note

Kesadaran itu datang, diiringi alunan musik klasik yang menyayat dan suara dentingan harpa yang menyadarkan. Saya di sini, di waktu sekarang, dengan kewajiban dan tugas yang harus diselesaikan. Dentuman drum sekejap mengingatkan saya akan tujuan dan impian, yang baru setengah menjadi kenyataan. Saya harus segera keluar dari ruangan hampa ini. Tolong, bangunkan saya dari tidur panjang tanpa mimpi yang berarti ini.

"Non, bangun!" Terdengar suara si Mbak yang biasa membangunkan saya. Ah, sayangnya si Mbak sudah pulang kampung minggu kemarin.

Devina mengucapkan: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1431, mohon maaf lahir batin :)

(ilustrasi menyusul)

Rabu, 25 Agustus 2010

UnderEstimation

I posted something on the net. I am waiting for his 'hot-spicy-edgy' comments. Let's see what will he write this time (or he will remain silent). I just wanted to share it with my other friends, not to challenge him. Sometime I feel this isn't fun anymore, because he always there, watching what I want to do next :(


Break Time!

Jumat, 20 Agustus 2010

Ramadhan

Seorang tetua baru-baru ini memberi nasehat “Devina, janganlah kamu menjadi anak yang sombong. Tidak ada sesuatu di dunia ini yang abadi, semuanya akan kembali kepadaNya.” Saya bingung, apa yang dimaksudkan si Tetua itu. Selama ini saya menganggap diri saya adalah anak yang baik, jujur, rendah hati dan tidak sombong. Sesuai dengan salah satu ayat tata-tertib SMA saya dulu. Oiyah, saya ingin berbagi kabar gembira untuk teman-teman (yang membaca cerita ini), saya ‘mendapatkan’ kekasih baru. Cuih. Hahaha. Dia lebih tua (dari usia saya), (akan segera) mapan, (lumayan) ganteng dan pastinya kita seprofesi. Hore! Satu lagi tambahan (penting!) bonyoknya kaya dong. Hahaha. Teteup yah Dev, yang dicari yang kaya :p

“Dev, kalian berdua itu hidup di suatu lingkungan, komunitas atau apalah namanya. Dunia bukan milik kalian berdua saja. Hati-hati kalau bertindak dan berbicara.” Tumben si Mama memberikan nasehat bijak dengan bahasa yang santun, apa bulan puasa mengubah sifat si Mama yang biasanya blak-blakan, ceplas-ceplos tanpa rem yang pakem kalau berbicara. Saya menyadari sifat saya yang negatif, selalu menggerutu dan mengkritik setiap orang, karena saya beranggapan ‘tidak ada gading yang tak retak’. Ajaibnya dia yang berada di sebelah saya sekarang ini, juga bersifat mirip-mirip. Kami berdua adalah pasangan ’cynical’, dengan prinsip ‘berdua kita bisa’. Bisa mengkritik dan bisa bertahan walaupun diserang orang-orang di sekitar (sirik tanda tak mampu tuh). Hahaha.

“Satu orang sudah cukup untuk dunia, apalagi sepasang, bisa hancur dunia!” Yah, begitulah pendapat Mama terhadap kami berdua. Mama tidak tahan dengan sifat negatif kami berdua. Kok bisa? Berawal dari sebuah foto yang diunduh adik saya di laman Facebook, judulnya “My First Culinary Experience”. Bisa dibilang fotonya agak-agak blur, tidak fokus dan bentuk makanannya ehem tidak menggugah selera. Sayapun berkomentar dengan jujur sesuai kesan di atas dan ternyata my beloved partner juga berpendapat sama. Adik saya tidak terima dan mengadu ke Mama. Dan yah bisa ditebak, komentar apa yang disemprotkan si Mama kepada kami berdua.

Menurut saya pribadi, Tuhan itu adil dan bijaksana. Kalau memang tidak suka dan benci, yah tinggal membenci dan menjauh, tidak usah munafik dan pura-pura baik kepada kita berdua. “Mam, bukannya sempurna kalau kita berdua menjadi pasangan? Teman-teman tidak usah bingung harus memihak yang mana. Hahaha.” >:) “Tapi Mama lebih seneng kalo seimbang, ada yang memberi dan menerima. Jadi salah satunya bisa mendamaikan hati yang lainnya, kaya Beauty and The Beast. Biar dunia damai, aman dan tentram Devina.” Dasar si Mama, utopian sejati, maunya dunia ini damai selalu. Oiyah, langgeng-langgeng yah Dev sama pasangan barunya. Loh? Mengucapkan selamat untuk diri-sendiri? Sombong sekali. Oh, bukan. Untuk 'Devina' yang lain, yang saya ceritakan di atas.


===


PS1: Mumpung bulan Ramadhan saya meminta maaf atas kesombongan, kemunafikan dan kebohongan yang saya ciptakan di dalam cerita-cerita saya, namanya juga cerita, iyah ga? :D

PS2: Apakah seseorang yang ‘bermulut jahat’ juga merupakan pribadi yang ‘berhati busuk’? Teringat pepatah ‘lidahmu senjatamu’. Hati-hati kalau berkomentar yah Dev :p

PS3: Cerita di atas adalah ilustrasi, untuk teman-teman yang belum mengenal saya secara langsung, jangan takut, saya ga jahat-jahat banget kok ;) Kesamaan tokoh dan peristiwa tidak disengaja.

PS4: Belum muncul, baru sampe PS3 saja :D

Rebuild

Minggu, 08 Agustus 2010

Arsenal/ Manchester

Hong Ya Cave


Tadinya saya berniat mengambil lebih banyak foto, mumpung matahari bersinar cerah. Namun, apa yang terjadi? Saya hanya berhasil mendapatkan foto ini dan satu lagi. Ketika saya sedang mengatur posisi, tiba-tiba ada seorang pria berbaju merah (sepertinya kostum bola, entah klub mana) menghampiri saya. "Mau saya fotoin? Sendirian kan? Lagi liburan yah?" Sayapun menyingkir dan dengan cepat menolak tawarannya. "Eh, ga suka difoto yah? Saya ga berniat jahat kok." Si Baju Merah itu terus mengikuti saya. Tergesa-gesa saya memasukan kamera ke dalam tas dan 'mengamankan' posisi tas saya di dalam pelukan. Si Baju Merah masih mengikuti "Tenang, saya cuma mau kenalan kok." Saya masuk ke gerai Starbucks yang berjarak beberapa meter dari tempat saya, berharap orang itu pergi. Ternyata dia mengikuti saya masuk ke dalam. Di dalam lumayan sepi, hanya satu meja yang terisi. Saya menunggu giliran di kounter kasir, hanya ada satu orang bapak-bapak di depan saya. Maklum masih jam 10 pagi. "Mau makan apa? Sini saya bayarin." Si Baju Merah tadi menghampiri display makanan di sebelah kasir. Saya menolak dan megucapkan terima kasih. Si Baju Merah sudah mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari kantong celananya. "Sekalianlah. Saya ga ada niatan apa-apa kok" begitu katanya. Si Mas Barista yang melayani sayapun tampak jengah dengan kehadiran si Baju Merah. Si Baju Merah tampak memesan sesuatu dari display makanan. Si Mas Barista, yang biasanya ramah, langsung berkata setengah membentak "Saya masih melayani Mbak ini, kalau mau tunggu sebentar." Pesanan minuman sayapun tiba. Si Baju Merah menghampiri saya (dari tadi juga dia berada di sekitaran saya) "Yuk duduk, kita ngobrol-ngobrol" sepertinya dia tidak jadi memesan makanannya. Saya bingung bagaimana caranya menghindar dan mengaburkan diri. Sayapun tidak jadi duduk, saya berdiri di depan kounter, sebisa mungkin berada di dekat Mas Barista (yang berperawakan seperti tukang pukul, berotot dan tinggi besar). Si Baju Merah tidak juga pergi, dia malah mulai bertanya-tanya sehabis dari sini saya mau ke mana dan dia menyarankan tempat-tempat yang menurut dia bagus dan terkenal di kota ini. Saya diam. Saya keluar. Si Baju Merah masih mengikuti. Argh, malas menceritakan kelanjutannya. Dia masih tetap mengikuti sampai kira-kira 5 menitan saya berjalan kaki. Ujung-ujungnya dia meminta nomor telpon "Saya bener-bener pengen jadi temen baik kamu, ga ada niat apa-apa. Kalau misalnya kamu butuh teman jalan, kamu bisa hubungi saya. Biasanya saya memandu wisatawan di sini." Saya minta kartu namanya. Dia bilang kartu namanya baru diperbarui. Saya minta dia menuliskan di kertas, dia malah menunjukan hapenya. "Nomor kamu berapa? Biar saya telpon dari sini." Argh, alasan klasik. "Saya tidak ingat berapa nomor saya!" Saya berjalan lebih cepat lagi. "Argh! Sudahlah!" Frustasi diapun pergi. Fiuh.

Minggu, 25 Juli 2010

Today's Stories

Cerita hari ini (lebih tepatnya kemarin, Sabtu 24 Juli 2010):

Apa alasan DIA membuat saya bolak-balik mencari Bank of China untuk memeriksa apakah kartu ATM saya bermasalah?

Cerita pertama, uang di dompet saya tertinggal recehan, butuh mengambil uang tambahan di ATM terdekat. Bilik ATM kosong, tapi kok ada seorang tante-tante yang menunggu di belakang bilik sambil memainkan handphone nya. Curiga. Saya masuk ke bilik ATM, baru saja saya mau memasukan kartu ke mesin, tante tadi masuk. "Saya duluan yah" begitu ujarnya.

Cerita kedua, diskon 50% di gerai pakaian wanita favorit saya. Cihuy! Terpaksa mengeluarkan kartu ATM/ debet, uang tunai yang dibawa (baru ambil tadi) hanya cukup untuk makan hari ini dan besok. Gesek sekali. Di layar tertulis 'transaksi ditolak'. "Mungkin koneksinya tidak terhubung" itu menurut mbak pramuniaganya. Gesek kedua kali, masih ditolak. "Tinggal masukan password lalu tekan enter" saran mbak pramuniaga tadi. Gesek ketiga kali, ditolak juga. "Kartunya bermasalah, masih ada kartu yang lain atau uang tunai mungkin?" Si Mbak masih mencoba untuk tersenyum. Ugh, sayangnya saya cuma punya satu kartu.

Cerita ketiga, mencari Bank of China terdekat. Saya tahu ada satu bank di dekat-dekat sana, bergegas saya ke sana untuk mengambil uang tunai dan memeriksa saldo tabungan saya. Di depan gerai ATM terdapat tanda 'caution wet floor'. Saya berpikir apa hubungannya lantai basah dengan aktifitas ATM, bisa kesetrumkah? Saya tetap bertekad masuk. Eits, bapak satpam tidak mengijinkan "Setengah jam lagi baru bisa dipakai mesinnya."

Cerita keempat, berpikir untuk kembali ke apartment, mengambil uang dari bank di sana. Namun, ketika saya menyebrang ke arah stasiun metro, saya melihat satu bank lagi di kejauhan. Saya menyebrang ke arah sana. Ternyata bank nya terletak di tengah-tengah pasar. Untungnya di dalam gerai ATM ada seorang tante-tante sedang mengambil uang, dan 2 bilik lainnya kosong. Saya menuju ke bilik paling kiri, masukan kartu, tekan angka password, masukan jumlah uang yang diinginkan, print tanda bukti. Kertas tanda bukti keluar, tapi di mana uang saya? Hua. Jangan panik Dev, cek kertas tadi, penarikan uang 0. Fiuh. Oiyah, masih harus cek saldo. Deg-deg. 'Can't perform this activity right now.'

Cerita kelima, harus kembali ke apartment, segera cek dari bank di sana. Segera! Untungnya saya berhasil mengambil uang, dan tidak ada masalah dengan jumlah uang di dalam rekening saya. Fiuh. Besok, saya harus periksa lagi, sekedar jaga-jaga :)

Cerita keenam, pergi menebus barang belanjaan saya yang tertahan. Malu sama Mbak nya. Berhubung saya penasaran dan gengsi juga (siapa tahu mbaknya menganggap saya gila belanja, sehingga kartu saya over-limit), bukan uang tunai yang saya keluarkan tapi lagi-lagi kartu ATM/ debet. "Coba lagi Mbak" dengan senyum manis saya serahkan kartunya. Cerereret. Bon tanda transaksi keluar dari mesin. "Silahkan tanda-tangan" secara otomatis si mbak berujar, dia tidak tampak terkejut atau merasa aneh. "Kok bisa?!"

Cerita ketujuh, selama saya bolak-balik dan berkeliling, saya terkesima dengan keadaan langit di atas saya. Namun, kalau saya mengambil foto pada saat itu juga, tampaknya terlalu terang, karena matahari sangatlah terik.

Cerita kedelapan, selesai/ tamat/ finish/ the end (menurut orang Chinese, delapan melambangkan 'hoki' atau keberuntungan) dan inilah hasilnya:

God's Painting (and Sheraton Building)

God's Painting (Yuan Jia Gang Metro Station's view)

God's Painting (with Mary Poppins or Nanny McPhee?)
Ah, hidup ini indah! (big smile) :D

Kamis, 22 Juli 2010

Generation 'X'

Ternyata tidak semua orang tua bisa membicarakan urusan tumbuh-kembang anaknya dengan leluasa. Tidak semua ibu bisa berpendapat dengan bebas masalah tubuh dan pertumbuhan anak perempuannya yang sudah atau sedang beranjak dewasa. Beruntungnya kasus ini tidak menimpa saya dan Mama. Dia akan senang hati berkomentar, walaupun kadang tidak ditanya, dan kalaupun ditanya, komentarnya suka terlampau 'vulgar' untuk didengar. Dia menganggap komentar 'apa-adanya' itu sebagai privilege menjadi orang tua, khususnya seorang Ibu.

"Deph, Mama ga suka baju yang kamu pilih itu. Terlalu konservatif." Mama menunjuk cheongsam cokelat yang saya pegang.
"Mama lebih suka yang ini!" Tada! Mama menunjukkan sebuah gaun merah berbahan satin yang panjangnya mungkin tidak sampai selutut saya.
"Mam, kalo aku pake itu, Mama harus beliin aku satu baju lagi." Sayapun berjalan ke counter sebelah dan mengambil satu baju lagi.
"Kamu mau pake itu?!" Mata Mama membelalak dan tampak shock ketika melihat cardigan rajutan tebal panjang dan berwarna abu-abu yang saya pegang.
"Kamu pikir kita mau piknik di puncak apa? Di puncak aja ga sedingin itu. Becanda kamu!" Mama cepat-cepat mengambil cardigan itu dari tangan saya.
"Mbak tolong ini ditaruh lagi." Tanpa babibu Mama langsung menyerahkannya ke pramuniaga yang sedari tadi mengikuti kami.

Ada sebuah foto yang beredar di laman Facebook saya. Hahaha. Lagi-lagi saya membahas Facebook, maklum hidden proxy yang saya pakai sekarang sedang dalam kondisi prima, dalam artian semua foto bisa terlihat, saya bisa bebas berkomentar, dan yang terpenting akun Facebook saya bisa dibuka (termasuk situs blogspot ini). Tidak seperti biasanya, kadang bisa dibuka kadang tidak. Oiyah, kembali ke selembar foto yang beredar tadi, kali ini bukan foto-foto seronok seperti yang sebelum-sebelumnya. Bukan juga komentar-komentar iseng Om atau Tante kerabat. Hanya foto seorang teman dengan tata-rias lengkap dan gaun yang indah-menawan. Tampaknya hasil foto studio. Tidak dipungkiri di situ dia terlihat 'lebih' dari kesehariannya. Masalahnya bukan pada fotonya tapi pada komentar-komentarnya. Mungkin orang-orangnya, termasuk teman saya itu terlalu polos atau memang munafik yah? Hahaha. Dev, jadi orang kok sinis banget sih, ga bisa liat orang seneng apa?

Bayangkan Angelina Jolie atau Megan Fox (tadinya saya mau menuliskan Pamela Anderson, tapi kok 'kebesaran' yah) dengan gaun malam yang anggun, ujung gaunnya menjuntai sampai menyapu lantai. Berukuran pas badan, menonjolkan kemolekan tubuh mereka. Tidak ada yang seronok atau tidak sopan di sana, lengan merekapun terbalut bahan lembut gaun malam tadi. Namun, ada sesuatu yang mengintip di sana. Gaun tadi agak terbuka sedikit di bagian tengah-tengah dadanya. Sedikit.

"Kamu bukan anak Mama!" Itu kata-kata yang keluar dari mulut Mama ketika saya mencoba gaun merah yang disarankannya.
"Eh, kenapa Ma?" Agak risih sebenarnya, di dalam kamar pas berukuran kira-kira satu meter persegi itu, dengan cermin di ketiga sisinya, Mama mengamati saya dengan cermatnya.
"Kamu anak siapa sih? Anak pungut yah?!" Mama merajuk.
"Kok bisa beda yah?" Si Mama masih melanjutkan 'drama' nya, tiba-tiba tatapannya terfokus pada satu bagian, otomatis sayapun mengalihkan tatapan saya ke daerah sana, saya menunduk dan ooops. Tanpa disadari kedua tangan saya sudah menyilang di depan dada saya.
"Mama! Vulgar banget sih!" Hahaha. Mama tertawa terbahak-bahak.
"Sama-sama perempuan, ga masalah. Waktu kecil Mama juga yang mandiin kamu. Tidak ada rahasia di antara kita." Hahaha. Si Mama masih melanjutkan tawanya.
"Kalau punya Mama kaya punyamu, setiap hari Mama pakai baju yang kaya gituh terus deh. Sayang tau menyia-nyiakan karunia Tuhan." Uhuk, Tuhan itu adil yah Mam.

Bagaimana dengan nasib teman saya tadi? Kebetulan Mamanya tidak 'seterbuka' Mama saya, dan untungnya lagi Mamanya tidak punya akun Facebook. Kalau tidak, ini yang akan terjadi:

"Kenapa Mama suruh kamu hapus foto ini? Lihat tampang kamu di sana, tampang penuh birahi! Dan coba kamu lihat itu belahan dada. Apa kira-kira pendapat manusia-manusia pervert di luar sana?"

Manusia-manusia pervert? Termasuk saya dan Mama saya dong yah? Hahaha. Eh, engga juga, kami hanya sekedar berkomentar tentang apa yang kami lihat, hanya sebatas itu. Sepertinya Mama juga tidak akan menyuruh saya menghapus foto itu, seandainya saya berpose seperti teman saya. Dengan mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, dan dada yang juga setengah terlihat, terkesan sendu namun menggoda. Sensual euy. Uhuy! (stop Dev). Ehem, Beliau tahu saya sudah dewasa, semestinya saya menyadari konsekuensinya apabila saya menaruh foto-foto di Facebook tanpa setting private. Untungnya teman-teman dan ibu teman saya itu masih malu-malu berkomentar. Jadi yang ada cuma "Wow!" dan "Bagus!". Kalau saya (mungkin) tidak berani menaruh foto yang mengumbar 'keseksian' saya di sana. Takut Mama dan adik-adik berkomentar yang tidak-tidak. Hahaha.


Bangga dong jadi wanita! -> Kalimat pembelaan :p
Picture by Wikipedia

Minggu, 18 Juli 2010

Photo Comment

The Ladies Bathroom



Bulan-bulan belakangan ini si Mama ‘menagih’ minta dibuatkan account Facebook, biar ‘up to date’ katanya. Si Mama merasa terkucilkan keberadaannya, karena dia kadang tidak tahu (baca: ketinggalan) berita ‘hangat’ yang sedang dibahas oleh kami, anak-anaknya. Selain email dan messenger, Facebook adalah fasilitas lain buat kami, saya dan adik-adik untuk berkomunikasi. Maklum, karena kami tidak lagi tinggal serumah, bagaikan delegasi PBB (lebay mode: on), pilihan negara/ kota tempat saya dan adik-adik untuk kuliah tidaklah sama. Dan yang paling merasa kehilangan siapa lagi kalau bukan si Mama (saya juga sih). Mungkin masih ada sarana sms dan telpon. Namun, tampaknya kesibukan dan perbedaan waktu membuat kita susah berkomunikasi menggunakan sarana itu.


“Deph, ini mama.”
“Deph, Deph lagi apa?”
“Udah ah mama capek ngetiknya.”

Itu beberapa kalimat percakapan di Yahoo Messenger beberapa tahun yang lalu, antara saya dan si Mama. Sejak saat itu pun si Mama tidak pernah lagi memanfaatkan jasa messenger untuk berkomunikasi dengan saya.


“Wah, A di sini terlihat cantik yah.”
“Om baru tahu kalau A model. Hahaha. Becanda A.”
“A lagi sibuk apa sekarang?”
“Wah, A udah di Jakarta yah?”

Bayangkan kalau kutipan percakapan di atas adalah beberapa potong komentar (berantai) dari seorang Om di beberapa lembar foto ‘anak perempuan’ berusia 18-19 tahunan, yang notabene teman saya. Mungkin imajinasi saya terlalu ekstrim sehingga menimbulkan praduga yang tidak-tidak. Siapa tahu hubungan mereka, antara paman dan keponakan (kandung mungkin) memang dekat. Wajarkan kalau seorang paman berkomentar tentang keseharian keponakannya. Eits, jangan salahkan saya karena berasumsi yang tidak-tidak terhadap para ‘Om’ dan ‘Tante’ yang rajin berkomentar di foto ‘teman’ anak-anaknya itu. Sebut saja saya kolot dalam hal penampilan dan pergaulan, saya masih terheran-heran setelah melihat foto seorang ‘anak perempuan’ berusia 19 tahun dengan kostum selembar handuk hotel yang melilit di tubuhnya, dengan setting kamar mandi hotel. Saya bingung apa fungsi dari handuk tersebut. Karena bagian-bagian tubuh penting yang seharusnya ditutupi malah ‘mengintip’ (tanpa malu-malu). Miris hati saya melihatnya. Mengapa foto ‘anak perempuan’ itu bisa mampir di tempat saya? Rupanya ada seorang teman yang berkomentar di foto itu “Astaghfirullah!”.

Bukannya saya melarang (dan menyalahkan) om-om dan tante-tante sekalian untuk (aktif) ber ‘Facebook’ an, dan saya bukan anak yang anti menjadikan Om dan Tante saya sendiri sebagai teman. Justru keberadaan Facebook dan sarana jejaringan sosial lainnya membuat saya dan mereka jadi lebih mudah berkomunikasi. Kebanyakan dari Om dan Tante saya memanfaatkan Facebook via handphone atau Blackberry dan sejenisnya, bukan melalui PC atau laptop sehingga mereka bisa kapan saja menanyakan kabar saya, dan sayapun sering ‘mengabarkan’ keseharian saya melalui foto-foto (normal) hasil jepretan seadanya kepada mereka.


“Devina gemukan yah.” Itu komentar seorang Tante saya.
“Makanan di sana kayanya enak-enak.” Itu komentar Om saya.
“Jaga kesehatan dan tetap semangat yah Dev.” Itu juga komentar Om saya berkaitan hujan badai yang terjadi di daerah saya belakangan ini.

Tambahan:
Bagaimana kalau seandainya saya yang berkomentar di wall atau foto Papa teman saya seperti ini, “Om seksi deh, terlihat awet muda. Ga nyangka kalo anak Om temen saya. Kapan-kapan saya main ke tempat Om deh. Om lagi sibuk apa?”

Jumat, 02 Juli 2010

Balada si Putih

Melihat jemuran itu, hati saya bertanya-tanya, kira-kira benda itu untuk konsumsi 'umum' atau pribadi yah? Si 'dia' tampak menarik dengan renda-rendanya yang memenuhi seluruh bagian, di beberapa bagian tertentu tampak tembus pandang. Kalau diperhatikan secara keseluruhan, memang bahannya minim dan ringan! Bukan katun, sepertinya satin. Untung warnanya bukan merah menyala atau hitam mengkilat. Warnanya putih. Eh, dipikir-pikir idenya boleh juga, bertentangan dengan makna putih secara umum: suci, innocent, tidak berdosa. Walaupun warnanya putih, bentuk dan penampakannya tidak menunjukkan kesan yang innocent, malah menggoda dengan keseksian dan keminimannya. Hah!

"Mam, waktu Mama seumur aku dulu, gaya pacaran Mama kaya apa sih?" Hahaha. Saya berusaha mengorek sesuatu yang tidak biasa dari si Mama.
"Mama udah ga pacaran lagi waktu seumur kamu! Emang kamu ga berasa?" Suara Mama terdengar sinis dan ketus.
"Loh, emangnya aku ikutan Mama pacaran?"
"Iyalah, kamu udah ada di perut Mama waktu Mama seumur kamu! Masa kamu ga ngerasain apa-apa sih waktu itu?" Mama aneh deh, masa iya jabang bayi yang masih dalam kandungan bisa mengingat semuanya setelah dia dilahirkan dan sudah 'besar' pula.
"Hah? Emang Mama ngapain waktu itu?"
"Lah, si Papa kan selalu noel-noel perut Mama."
"Oh, aku pikir si Papa ngapain Mama."
"Hahaha!" Si Mama tertawa panjang dan lama di telpon.
"Udah dibilang juga, waktu seumur kamu, Mama udah punya kamu. Apa masih bisa dibilang pacaran? Wajarlah si Papa bisa ngapa-ngapain Mama. Kamu itu.." Ah, ternyata maksud si Mama itu toh.
"Jadi, hem, Mama kalo pacaran ngapain aja?"
"Kadang nonton, kadang makan bareng, lebih sering sih jalan bareng."
"Ah Mama, kalo itu aku juga tau. Selain itu?"
"De-vi-na!"
"Yes Mam!" Hahaha. Saya tahu apa maksud Mama kalau dia sudah mulai mengeja nama saya.
"Don't do that, OK?" Kira-kira apa maksud Mama yah? Mmm.
"Mama tau kamu mikir apa, jangan mikir yang engga-engga deh. Jadi anak jangan jorok. Kamu sendiri yang bakal ngerasain ga enaknya nanti." Jorok? Hahaha. Lucu juga istilah si Mama.

Di luar konteks saya itu jorok atau tidak, saya masih tetap penasaran dengan kisah 'si putih' tadi. Ehem. De-vi-na! Hahaha.


NB: Ilustrasi di atas itu bukan punya saya, kebetulan nemu di ebay :D

Sabtu, 26 Juni 2010

CK One by Calvin Klein*

Teriknya matahari membuat saya mengantuk, bayangan tentang sejuknya kamar, ranjang besar yang empuk dengan seprai putih bersih yang terbentang, bantal-bantal yang tertumpuk, lembut dan nyaman. Saya meringkuk di tengah-tengahnya, mengistirahatkan pikiran, jiwa, dan tentu saja tubuh yang lelah. Datanglah dia dalam bayang-bayang samar yang terlalu terang, putih. Setengah sadar saya menyadari dan tahu, itu memang benar-benar dia. Caranya membuka pintu kamar, dengan perlahan, nyaris tanpa suara. Dengan langkahnya yang ringan, dia melangkah menghampiri. Dia berdiri membelakangi jendela kamar, cahaya matahari yang terik menyoroti punggungnya dan membentuk siluet yang samar. Setengah terlelap, saya tahu itu dia. Wajahnya yang mendekati wajah saya dengan perlahan, lalu berhenti sejenak untuk mengamati wajah saya. Saya yakin itu dia, harumnya yang khas, mendatangkan kesegaran ke dalam jiwa saya yang penat. Perlahan kesadaranpun membangunkan saya dari lamunan tidur siang. Musim panas. Lamunan musim panas.





===

Musim panas, apakah ada di Indonesia? Ada, di setiap harinya di musim kemarau, satu-dua hari di musim penghujan, diikuti musim-musim lain seperti berawan, hujan rintik-rintik, hujan lebat dan badai. "Hey, look at me! Have you ever love me?" Jendela itu lagi, berkali-kali dia memandang jendela itu. Dia menatap saya dan tersenyum, meragukan. Masa lalu dan masa depan, tidakkah mereka pernah bertemu di suatu titik? "First love? Ah, itu mah buat ABG. " Itu jawabnya ketika saya menanyakan 'cinta pertama' nya. "Kalo pacar pertama?" Keukeh saya mengorek-ngorek masa lalunya. Dahinya berkerut, tampaknya dia berpikir keras untuk mengingat kembali. "SMP" jawabnya singkat. Dia menatap saya. "Yah, SMP" lagi-lagi dia mengulang jawabannya. Tatapannya menyadarkan saya, SMP, yah anak SMP dengan seragam putih-birunya, seperti seragam yang saya kenakan pada saat itu. Anak ABG, anak SMP dengan harapan dan mimpinya yang setinggi langit. Pada akhirnya kenyataan yang menunjukkan padanya, harapannya kosong, mimpinya sirna.

Yah SMP, mungkin di masa itu juga saya merasakan apa yang dinamakan sebagai 'cinta pertama'.

Masa lalu dan masa depan, apakah mereka ditakdirkan untuk bertemu? Iya, untuk dia, cinta pertama saya. Dia menikah dengan pacar pertamanya, kekasihnya di saat dia masih SMP. Masa lalu dan masa depannya bertemu.

===

*Smells like summer to me.
**He was wearing this, and he was my summer, at that time.

Sabtu, 19 Juni 2010

Peace Man, Peace!

Dia dan mulut besarnya. "Extraordinary! Terus terang yah gw ga suka sesuatu yang biasa aja, gw mau sesuatu yang luar biasa, di luar kebiasaan orang-orang." Begitulah dia mendeskripsikan dirinya sendiri. Sayapun mengharapkan sesuatu yang 'luar biasa' darinya, sesuatu yang tidak biasa, di luar imaji saya. That time, I was craving for his 'big' imagination that he offered to me. I had a great expectation toward his dream. Blah.

"Hey, you can take a little peep on it. It's just a sample. You will see something great later" He said it again. OK, I trust you that time, I'll take a look, a little. Turned out It was something plain and ordinary. It was nothing for me. Geez.

Dia, seperti seorang salesman MLM yang menawarkan barang dagangannya dengan 'semangat '45' nya, pantang menyerah dan dengan semboyan maju terus pantang mundur. Bodohnya saya, mau saja mempercayai semua omongannya, karena imaji yang dia ceritakan indah dan tak terbantahkan. Dia mendeskripsikannya seperti mimpi-mimpi indah yang pernah saya mimpikan.

Saya kecewa. Dia dan mulut besarnya. Saya dan batasan setinggi langit. Sepertinya saya akan mencari, mengejar, dan menangkap semua imaji-imaji itu sendiri. Hei, tidak ada manusia yang sempurna bukan?

Pernah bertemu dengan seseorang yang bisa memenuhi standard kriteria kamu, Dev? Pernah. Dia pendiam, seseorang yang simple, tidak suka mengumbar mimpinya. Suatu waktu dia menunjukkannya (imaji, mimpi, harapan) dan saya terpukau. Indah dan menggugah. Saya diam dan tanpa saya sadari, saya menangis (dan memeluknya!). Sore itupun berakhir dengan kami saling bertukar mimpi dan berbagi cerita. Hanya untuk sore itu.

"Although it's black and white, but in my perspective, it's a whole thing. The most intense, soulful and yet meaningful black and white one. It speaks louder than colors. It stands forever in my mind, like a first love." (Devina)


Peace (V)



Thank you for reading this 'not so important' story ;)

Kamis, 17 Juni 2010

Swan; Kaos Oblong Babeh

Rasa percaya diri (pede) memang harus dimiliki masing-masing pribadi. Tidak salah dan memang harus. Namun, kadarnya harus pas, kekurangan atau kelebihan dampaknya tidak terlalu bagus untuk dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya. Bagaimana dengan saya sendiri (berdasarkan penilaian sendiri)? Over! Hasilnya? Yah, tidak bagus, jadi takabur, jadi tidak tahu diri, jadi malu-maluin, jadi-jadian deh :p

Pada suatu pertemuan, saya dengan 'pede' nya (seperti biasanya) bercelana pendek, ber 't-shirt putih polos dan bersendal jepit. Kasual. Teman saya memang tidak mengharuskan kami berpakaian dengan tema tertentu, karena acaranya memang cuma kumpul-kumpul dan makan. Makan-makannya pun pasti di tempat yang 'terjangkau', bukan di tempat mewah yang membutuhkan kostum khusus. Jadinya, wajarlah saya berpakaian senyaman mungkin.

"Udah kaya mau makan di warteg sebelah aja Dev" itu pendapat seorang sahabat ketika dia melihat saya muncul di gerbang.
"Emang ada warteg di sini? Ada juga dia mau ke pasar. Hahaha." Celetuk sahabat saya yang lain. Hem, memang di sini tidak ada 'warteg' (warung Tegal, yang biasanya bertebaran di Jakarta), mungkin di sini disebut warcin (warung Cina, karena memang saya dan teman-teman sedang berada di China, hahaha).
"Sirik aja sih, gw nyaman-nyaman aja kok kaya gini" Memang saya nyaman dan pede-pede saja dengan gaya pakaian saya yang seperti ini.
"Yah elah Dev, nyadar umur dan kelamin dong. Elo tuh dah 'dewasa', dari bentuk tubuh juga udah keliatan kalo elo tuh wanita Dev. Bukan lagi cewe yang bertransisi, apalagi anak-anak yang masih aseksual!"

Saya memandang ke sekeliling, maksudnya mengamat-amati teman-teman saya itu. Wew, mereka cantik-cantik yah, terlihat wanita sekali. Salut. *tepuk tangan dan menyembah :p


Image and video hosting by TinyPic

Rabu, 16 Juni 2010

A Short Note

Mereka bilang dia seperti pangeran dengan segala kelembutannya (kegemulaiannya, imo). Hem, saya merasa agak sedikit janggal dengan kriteria Pangeran mereka. Bayangankan, 3 dari 5 teman wanita saya, menganggap dia menarik. Satu teman saya abstain karena dari awal dia sudah bingung mengkategorikan si Pangeran, apakah dia ‘prince’ atau ‘princess’. Sampai-sampai teman saya itu merasa keberadaannya sebagai wanita terancam dengan kehadiran si Pangeran di tengah-tengah kami. Sampai suatu waktu dia berkata “Eh, menurut kalian gw cocok ga jadi pangeran?” Hahaha. Kami tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan sahabat wanita saya itu. Gila! “Emang kenapa tiba-tiba elo memutuskan jadi pangeran buat kita-kita?” Saya penasaran dengan alasannya. “Yah, elo tau lah. Kayanya kebiasaan gw sebagai cewe, ga lebih cewe dibandingkan Pangeran kalian itu.” Hahaha. Ternyata sifat, karakter dan kebiasaan Pangeran sedikit-banyak menyinggung harga diri sahabat saya sebagai wanita tulen. “Tenang, elo masih normal kok. Gw juga ga menganggap dia ‘pangeran’ seperti yang anak-anak lain bilang.” Yup, itu jawab saya pada saat itu.

"Oh, how I wish that I had a daughter that had skin white as snow, lips red as blood, and hair black as ebony" wished The Queen. (Snow White)

Itu adalah keinginan Ratu untuk jabang bayinya yang saat itu masih dikandungnya. Jaman itu belum ada USG, sehingga jenis kelamin bayi belum bisa ditebak. Untungnya yang dilahirkan sang Ratu adalah benar seorang puteri, Puteri Salju namanya. Bagaimana seandainya yang dilahirkan adalah seorang putera? Nah, mungkin itu adalah ‘pangeran’ kita bersama itu. Bayangkan seorang pria berkulit putih halus lembut bagaikan porselen, bibirnya yang merah-meruah, dan rambutnya yang tebal, hitam mengkilap. Itulah deskripsi si Pangeran, ditambah kecoolannya. Masih ditambah, ketakutannya akan matahari, dengan alasan takut hitam kulitnya. Argh. Lama-lama saya juga mendaftarkan diri menjadi ‘pangeran’ seperti sahabat saya itu.

Sirik banget sih Dev, apa ga boleh seorang pria lebih memperhatikan dan merawat dirinya melebihi kalian, kaum wanita? Ga salah juga. Badan, badannya dia. Keuntungan dan kerugiannya, dia juga yang merasakannya. Oh, berarti salah kami sebagai sahabat wanitanya yang tidak pandai merawat diri?! Hei, kok jadi sinis toh. Si Pangeran juga tidak menyalahkan sahabat-sahabatnya, dia merasa nyaman dengan keberadaan sahabat-sahabat wanitanya apapun kondisi dan keadaannya. Kecuali kalau saya memutuskan untuk malas mandi selama seminggu, si Pangeran merasa tidak nyaman. Kalau itu teman-teman yang lain juga sih :p

Bonus (ga sengaja nemu) 'Disney Prince' :

Sexy Disney Men

My favorite, you can't find it above:

Prince Adam

(Prince Adam/ The Beast, from Beauty and The Beast) :))
Who's your favorite? :p

Jumat, 11 Juni 2010

Little Black Dress

Image and video hosting by TinyPic



Seorang tetua berkata "Kamu adalah tumbal bagi keluarga" dengan nada seakan mengutuk saya.

"Yah, seharusnya kamu terlahir sebagai anak lelaki. Anak sulung keluarga ini haruslah seorang lelaki, bukan perempuan" nada suaranya sepertinya menyalahkan. Mengapa saya harus terlahir sebagai perempuan? Suatu kesalahan besar baginya dan mereka.

"Tanggung jawab. Tanggung jawab kamu sebagai anak sulung keluarga menjadi berpuluh-puluh kali lipat lebih berat karena kamu perempuan" kali ini dia tidak lagi menuduh atau menyalahkan, iba. Rasa kasihan, atau malah kekecewaan?

Tidak bolehkah seorang anak perempuan memimpin keluarganya? Tidak bolehkah seorang anak perempuan menjadi penerus sekaligus pengurus keluarga? Boleh, katanya. Boleh saja, asalkan anak perempuan itu punya mental sekuat baja, dan tekad yang bulat, tidak setengah-setengah.

Tok. Tok. Tok. "Non, ada Tante S di luar" Mbak M berbisik halus di depan pintu kamar. Mbak M tahu, saya tidak suka Tante S dan biasanya Mbak M membantu saya untuk mengusirnya secara halus, dengan beralasan kalau saya sedang pergi.

"Sssttt. Sama siapa dia Mbak?" Sayapun berbisik-bisik di celah pintu kamar yang dengan perlahan-lahan saya buka.

"Sendirian Non. Tadinya Mbak pengen bilang kalau Non lagi pergi, tapi di luar hujan Non. Mbak ga enak juga." Samar-samar memang terdengar suara hujan dari dalam kamar, dan tiba-tiba suara petir terdengar bergemuruh di luar.

"Emang dia butuh apa Mbak?" Tidak seperti tante-tante lain yang super sibuk, perhatian Tante S terhadap saya di atas rata-rata. Dia bisa berkunjung setiap hari, ketika saya sedang liburan di rumah. Yah, bahkan di saat hujan badai seperti saat ini.

"Itu Non..."

"Ah, Devina!" Argh. Belum sempat si Mbak menjelaskan, wujud Tante S sudah terlihat di balik pintu kamar. Tanpa malu-malu Tante S mendorong pintu kamar dan menyeruak masuk, tidak memperdulikan saya yang masih bengong memegangi daun pintu.

"Muah, muah. Halo Devina!" Seperti biasa, dengan senyumnya yang sumringah Tante S langsung mengecup kedua pipi saya dan terdiam sejenak untuk mengamati saya, dari ujung kepala sampai ujung jempol kaki saya.

Dan inilah kesimpulannya, "Ah, apa jadinya keluarga ini nantinya. Ck, ck, ck." Tante S menggoyangkan telunjuknya di depan wajah saya dan seketika memutar badan saya. "Ini sudah siang Devina, apa kata orang kalau melihat kamu masih pakai baju tidur dan tidur-tiduran di kamar." Semua orang (rumah) juga tahu, kalau saya sedang liburan, dan bukankah di luar hujan? Lagipula saya tidak ada janji apa-apa hari ini, jadi wajar kalau saya bersantai-santai di kamar bukan? Dan apakah dosa berpakaian tidur, dan tidur-tiduran di waktu siang?

"Sana, ganti baju!" Tante S mendorong saya ke arah lemari pakaian. Untungnya dia tidak langsung membuka lemari pakaian dan menggantikan langsung baju tidur saya.

"Emang kita mau ke mana Tante?" Sambil memilih-milih baju dari dalam lemari, saya bertanya pada Tante S yang kali ini sedang sibuk memanut-manut diri di kaca rias.

"Ah, rahasia. Nanti kamu juga tahu." Tante S mengedipkan mata kirinya sambil meletakan ujung telunjuknya di bibirnya yang merah menyala. Sssttt, isyaratnya dalam diam.

"Tapi Tante, aku harus pakai baju apa? Nanti salah lagi." Yup, Tante S memang amat-sangat memperhatikan 'kesesuaian', kerapian, kepantasan, dan apapun itu. Dia bisa mencak-mencak kalau saya berpakaian dan berpenampilan tidak layak atau tidak sesuai acara.

Tante S membalikkan badannya dan langsung menatap saya "Ah, betul, betul. Harus berpakaian menarik." Firasat saya benar, Tante S bergegas ke arah lemari dan memilih-milih baju yang tergantung di sana.

"Ini!" Tante S menyodorkan sehelai gaun hitam tipis dan mungil. Ergh, bukankah ini masih siang? Oiyah, sekedar mengingatkan kalau saat ini hujan deras di luar, dan saya tidak tahan dingin.

"Tante, aku ga mau ganti kalau Tante ga mau kasih tahu kita mau pergi ke mana!" Saya gantungkan kembali gaun itu di dalam lemari, segera saya naik ke atas tempat tidur, dan masuk ke dalam selimut.

"Argh! Kamu selalu saja menjadi masalah. Padahal Tante sudah janji." Tante S ikut-ikutan duduk di tepi ranjang dan berusaha menarik-narik selimut yang menutupi saya.

"Yah tapi Tante bilang dulu, kita mau ke mana!" Seru saya dari dalam selimut.

"Kamu tahu Impress Dev?" Tante S berhenti menarik-narik selimut saya.

"Impress. Hem, tempat pelangsingan tubuh itu? Iya, aku tahu. Kenapa Tante?" Eh, jangan-jangan liburan ini membuat berat badan saya naik drastis, dan jangan-jangan Tante S beranggapan sudah saatnya saya ikut serta program Impress itu untuk mengontrol berat badan. Sayapun melongok keluar dari selimut.

"Kemarin Tante ke sana, ke rumah Tante Y."

"Tante Y?" Saya menatap Tante S dengan curiga.

"Iya, Tante Y itu yang punya Impress, udah lama banget Tante Y minta ke Mama kamu." Tante S mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

"Minta? Ke Mama? Minta apa Tante?" Saya semakin penasaran, ada yang aneh dan terselebung di sini. Masa si Mama yang berniat ikutan program pelangsingan tubuh di sana?

"Tante Y pengen banget ketemu kamu Dev." Penjelasan Tante S malah membuat saya semakin penasaran dan agak ngeri. Uh, jangan-jangan Tante Y pernah bertemu saya di suatu acara dan mungkin Tante Y 'gemes' melihat saya, karena banyak hal yang harus diperbaiki di tempatnya, semisalnya bentuk wajah, tubuh, struktur kulit, atau mungkin dia tanpa sengaja melihat kerutan-kerutan di wajah saya? Hahaha. Tapi sepertinya saya belum setante-tante itu deh.

"Tante Y pengen kamu ketemu sama anaknya." Anaknya?

"Siapa namanya Tante?"

"Danny"

Danny? Mungkin itu nama panggilannya, bisa saja nama panjangnya Daniella. Danny, tidak harus lelaki kan? Ah! Bisa-bisanya saya 'lupa' siapa dan apa pekerjaan Tante S sebenarnya, dan apa julukan Tante S di lingkup keluarga ini.

Tante S kembali menatap saya, kali ini saya sudah benar-benar berada di luar selimut. Panas dan pengap di dalam. "Sudah saatnya untuk kamu Dev, tidak baik anak perempuan berlama-lama sendiri, apa kata orang nanti. Percuma sekolah tinggi-tinggi Dev, ujung-ujungnya kamu bakal melahirkan dan mengurus anak-anak juga."

"Mbak! Lihat tas cokelatku ga?" Saya bergegas berdiri dan keluar kamar, mencari-cari Mbak M.

"Dev!" Tante S juga beranjak berdiri dan berusaha menarik saya, sayangnya saya selangkah lebih cepat.

"Mbak cari dulu yah Non." Mbak M muncul dari arah ruang belakang.

"Ga usah Mbak, aku cari sendiri. Oiyah, aku mau ke tempat Mama, tolong bilangin Pak A yah Mbak, aku mau pake mobilnya."

Tante S tampak sudah keluar dari kamar saya, "Tante maaf, aku lupa, aku harus nganter surat-surat ke Mama. Tante mau ikut aku ke tempat Mama atau..." Sengaja saya tidak memberikan pilihan, saya tahu Tante S tidak pernah sepaham dengan Mama, jadi kemungkinan Tante S bertemu Mama adalah nol koma berapa persen.

"Tante pulang aja deh Dev. Kamu itu yah Dev, jadi anak susah banget dibilanginnya. Ini semua demi kebaikan kamu Dev..." Tante S masih melanjutkan ceramahnya.

"Tante, aku harus ganti baju sekarang, kalau engga Mama bisa ngamuk karena aku telat. Aku ganti dulu yah Tante. Tante ati-ati di jalan yah." Klik. Saya masuk kembali ke kamar dan mengunci pintu.

*Kesamaan atau kemiripan nama, harap dimaklumkan.
** Sumber foto Google (millionlooks) :p

Sabtu, 29 Mei 2010

OKB (Orang Kaya Baru) Dengan Catatan

Hey Nona, mengapa tiba-tiba isi pembicaraanmu berkisar barang-barang mahal? Mengapa tiba-tiba kisaran pertimbangan harga-hargamu menjadi naik 10 kali lipat? Ada hubungannyakah terhadap nilai tukar dollar terhadap yuan belakangan ini? Saya jadi bingung dan tidak bisa mengikuti arah pembicaraan Nona. Irikah saya terhadap peningkatan derajat hidup Nona? Hem, sepertinya tidak. Saya nyaman dengan keadaan saya dulu dan sekarang, untuk ke depan saya belum tahu.

"Dev, kemaren aku liat sepatu diskonan loh. Diskon empat puluh persen! Sepatunya keren."
"Emang liat di mana Non?"
"Tod's!"
"Ah..." (jaw dropped)

Saya tidak berani bertanya lebih lanjut, sediskon-diskonnya itu sepatu, saya yakin saya belum mampu membelinya. Saya belum tega menghabiskan uang bulanan saya hanya untuk sepasang sepatu.

"Dev, temenin aku beli tas yuk." Nona menarik tangan saya, lebih tepatnya menyeret saya ke arah stasiun metro dekat apartment.
"Loh, bukannya kemarin baru beli Non?"
"Iyah, tapi aku pikir-pikir lagi, aku masih butuh yang warnanya agak gelap."
"Yang kemarin kan warnanya cokelat Non, kurang gelap kah?"
"Aku pingin yang cokelat kopi Dev. Udah ah. Ayo jalan!"

Ke manakah Nona menyeret saya? Bukan ke tempat biasa kami berburu tas, biasanya kami mencari-cari barang keperluan sehari-hari (baca: baju, tas, sepatu, pernak-pernik) di plaza bawah tanah (mirip-mirip Mangga Dua tapi letaknya di bawah tanah). Segala sesuatu di sana bisa ditawar, dari 100 RMB bisa menjadi 20 RMB! Surga bagi kami. Eh, tapi itu dulu. Kali ini Nona bukan menyeret saya ke arah sana. Dia menarik saya ke arah sebuah mall mewah yang jelas-jelas di depannya terpampang sejajaran butik-butik papan atas, sebut saja Burberry, Cartier, Emporio Armani, Hugo Boss, Dior dan lain-lain. Dan sayapun takjub. Penasaran, kira-kira tas merek apa yang akan dibeli Nona. Excited dan senang banget saya. Hahaha. Maklum belum pernah ada teman yang mengajak saya masuk ke butik-butik itu :p

"Dev, ke sana yuk." Nona menyeret saya ke sebuah stand yang bertuliskan 'Bally End Sale 70%'. Stand tersebut berada tepat di luar area butik Ballynya sendiri. Terlihat sejejeran tas, dan sederet sepatu untuk pria dan wanita. Walaupun dituliskan diskon 70%, mengapa tidak ada pengunjung yang tertarik melihat-lihat yah? Nona mulai mengamati-amati tas wanita yang dipajang. Dan saya lebih penasaran dengan harga-harganya. Saya ambil satu tas, berlagak cool, saya mengelus-elus permukaan tas tersebut, layaknya mengetes kualitas tas tersebut. Padahal mata saya sibuk mencari-cari, di mana price tag tas tersebut berada. Ups, itu dia. Berapa? Berapa? 6888 RMB! Berusaha tetap cool saya meletakkan tas tersebut dan mencari-cari sosok Nona. Dan ternyata Nona sudah berada di luar stand tersebut, menunggu saya keluar. Loh?

Nona diam sepanjang sisa perjalanan-perburuan tas kami. Sayapun tidak mempertanyakan diamnya Nona, saya masih shock dengan harga tas tadi. Hahaha. Di tengah perjalanan, tiba-tiba saya melihat tulisan Tod's.

"Non, kemarin elo beli sepatu di situ yah?" Saya menunjuk ke arah gerai Tod's di depan kami.
"Bukan." Nona menjawab singkat.
"Loh, kemarin katanya mau beli sepatu diskonan di sana."
"Eh, aku beli dari internet kok." Nona menunduk.
"Tod's mahal kan yah?" Biarin deh dibilang cupu sama Nona, maklum saya belum pernah beli sepatu di sana. Jadi saya tidak tahu range harganya.
"Engga kok, kemarin aku beli sekitar tiga ratusan." Wew, 300 an RMB masih termasuk murah yah. Perasaan dulu si Nona menganggap apa-apa yang harganya di atas 100 RMB sudah tergolong mahal!
"Liat yuk Non, siapa tahu ada yang lebih murah." Kali ini saya yang menarik tangan Nona ke dalam gerai Tod's.

Tidak ada tulisan diskon di sana. Sepi. Tidak ada mbak-mbak yang tampaknya tergugah untuk melayani kami. Saya jadi curiga. Berapa sih harga sebenarnya? Lagi-lagi saya menggunakan tak-tik sok cool, saya ambil sepatu terdekat. Saya amat-amati permukaannya. Saya raba-raba, dan terakhir saya membalik sepatu itu. Tara! 2090 RMB! Coba itu dikurskan ke rupiah. Mungkinkah ada yang lebih murah dari ini? Ergh.

Sekali lagi saya bingung, apa yang membuat Nona berubah seperti sekarang? Syukur-syukur memang keadaan (ekonomi) keluarganya meningkat pesat. Terus-terang saya dan Nona secara finansial masih tergantung pada orang tua. Jadi tidak mungkinkan tiba-tiba Nona punya pemasukan rahasia dari pekerjaan yang saya tidak tahu apa. Mungkinkah jadi penerjemah atau guru bahasa asing dalam waktu singkat bisa mendatangkan pendapatan lebih dari sepuluh juta rupiah per bulan? Catatan, kami berdua masih berstatus mahasiswi di sini. Oiyah, apa(keadaan dan tuntutan) pasangan bisa mempengaruhi gaya hidup yah? :D

*RMB atau yuan adalah mata uang China, dengan nilai tukar hari ini 1 RMB = 1354.9500 IDR (dari Google) :)
**Untuk harga-harga di atas bisa dicek sendiri ke gerai-gerai barang-barang bersangkutan, untuk memastikan :p

Step

Jumat, 28 Mei 2010

Public Enemy

Sepertinya banyak postingan saya bertemakan pesta, kesannya saya party animal banget. Haha. Jangan dibayangkan pesta-pesta yang saya datangi seperti layaknya kisah-kisah selebriti (atau mungkin sebagian besar dari teman-teman pembaca), di club mewah, di pub atau lounge, atau bisa jadi di resto hotel berbintang. Pesta-pesta yang saya datangi biasanya diselenggarakan di kamar seorang teman, food court mall, kedai pinggir jalan, kalau mau mewah sedikit yah di cafe sederhana. Apapun bentuk pesta atau perayaan itu, seandainya saya yang kebetulan menjadi yang punya hajatan, saya berharap semua tamu saya enjoy, bisa menikmati keseluruhan acara, fun dan kenyang! Oiyah, pesta atau perayaan saya di sini sama dengan (=) kumpul dan makan bersama, sharing cerita (mentok-mentok gosiplah) dan kadang diselingi acara photo session :D

Dulu, saya sempat bingung untuk memutuskan siapa-siapa yang akan saya undang. Namun, akhirnya sang waktu yang mengajarkan saya siapa-siapa yang seharusnya diundang dan siapa-siapa yang 'dilewatkan'. Buat apa mengundang teman yang tidak niat datang dari awal, datang hanya sekedar mengkritik, dan malah membuat undangan lain tidak nyaman. Waktu telah mengajarkan saya tentang siapa-siapa yang sengaja berulah itu (tidak tahu berterima-kasih). Saya mengundang, karena saya menganggap dia 'penting', sebagai salah satu teman saya, dan saya ingin dia bersenang-senang. Namun, kriteria kesenangan teman saya ini agak-agak berbeda dengan orang kebanyakan. Yah, sebagai manusia biasa, kemampuan saya terbatas untuk menyenangkan hati semua undangan. Kalau ada satu-dua yang kecewa, mau bagaimana lagi. Masa saya harus memindahkan acara hanya gara-gara satu orang tidak suka dengan dekorasi ruangan. Dia baru datang, masuk, dan tiba-tiba nyeletuk "Norak banget sih hiasannya, kayak acara kawinan ajah!"

Kali ini saya yang menjadi pihak 'annoying' alias menyebalkan tersebut, seperti layaknya tamu yang tidak diharapkan kedatangannya. Apakah saya tamu yang tak diundang? Oh, tentu saja saya diundang. Saya datang pun tidak dengan keadaan terpaksa, dengan senang hati. Saya senang ada teman yang berulang-tahun. Saya datang dengan melenggang bahagia. Lalala. Oiyah, pada saat itu saya tidak membawa kado. Eits, bukan berarti saya pelit dan tidak tahu diri yah. Saya tidak tahu teman saya itu berulang-tahun, dia selalu merahasiakan tanggal lahirnya. Tiba-tiba saya diundang datang ke tempatnya untuk merayakan. Saya senang karena akhirnya dia tidak lagi merahasiakannya dan mau berbagi kebahagiaan di hari ulang tahunnya itu. Saya datang dan mengucapkan selamat, cipika-cipiki, dan saya langsung disuruh makan kue tart! Hah?! Sepertinya ada bagian yang terlewati. Apakah saya datang terlambat? Hem, saya datang 10 menit setelah dia menelpon. Apakah itu dihitung terlambat? Mungkin, karena sepertinya saya yang terakhir datang. "Kuenya dimakan aja Dev" si dia yang berulang-tahun menunjuk ke sebuah meja yang di atasnya terlihat sebuah kue ulang tahun yang sudah terpotong, tertinggal setengah bagian, dan di sebelahnya tampak satu potong kue di atas piring kertas. "Kalo kurang boleh tambah kok."

Saya bengong. Apa selama ini teman-teman saya menganggap saya sebagai orang yang suka sekali kue, cake eater maniac? Dikasih kue sayapun senang. Haha. "Loh, nyanyi-nyanyinya udah yah?" Selugu mungkin saya bertanya. "Ini udah selese kok acaranya." Jawab mereka.

Si Mama yang baik hati, yang selalu membesarkan hati saya beranggapan "Mungkin temen kamu ga enak, kalau seandainya cuma kamu yang ga diundang." Hahaha. Saya tertawa terbahak-bahak waktu itu. "Mama, itu sama aja ga enaknya. Diundang dengan terpaksa atau jelas-jelas ga diundang. Sama-sama menyedihkan." Mama sayapun punya pendapat lain yang ajaib "Mungkin dia mau kado dari kamu. Kado kamu kan biasanya lucu-lucu, mama aja seneng sama sendal yang kamu beliin kemaren." Ah, lagi-lagi si Mama bikin saya tersenyum.

Seorang sahabat pernah berkata "Mungkin kamu menganggap semua orang sahabat kamu, tapi apa kamu yakin semua orang itu menganggap kamu sebagai sahabatnya?" Yah, mungkin sang waktu belum banyak mengajarkan saya tentang sebagian orang itu. Saya hanya ingin dunia ini damai dengan semua penghuninya, semua orang adalah teman, tidak ada musuh di antara kita. Omong kosong! Eh, jangan salah. Apa yang membuat kamu (Devina) begitu 'hina' sehingga kamu dicap jadi teman yang menyebalkan seperti itu? Ngaca Dev! Siapa yang menabur, dia yang akan menuai. Jadi, saya yang salah yah teman-teman? Maafkan saya yah, telah membuat kalian bingung dengan keputusan harus mengundang saya atau tidak. Nah kan, ternyata sang waktu tidak mengajarkan saya apa-apa (atau mungkin sayanya saja yang terlalu lemot, bebal, susah untuk diajarkan). Kalau nanti saya berpesta, kemungkinan besar saya akan mengundang semua. Saya takut karma akan berulang lagi :)

Idealis mampus loe Dev!

Another Cake

Label

cerminan (23) daily (11) filosofi (1) fotografi (3) fragrance (3) jalan (5) khayal (10) musik (2) pandangan (4) photography (2) real (15) renungan (7) rumah sakit (6) santai (3) tuan puteri (2) waktu (6) weekend (6)