Minggu, 25 Juli 2010

Today's Stories

Cerita hari ini (lebih tepatnya kemarin, Sabtu 24 Juli 2010):

Apa alasan DIA membuat saya bolak-balik mencari Bank of China untuk memeriksa apakah kartu ATM saya bermasalah?

Cerita pertama, uang di dompet saya tertinggal recehan, butuh mengambil uang tambahan di ATM terdekat. Bilik ATM kosong, tapi kok ada seorang tante-tante yang menunggu di belakang bilik sambil memainkan handphone nya. Curiga. Saya masuk ke bilik ATM, baru saja saya mau memasukan kartu ke mesin, tante tadi masuk. "Saya duluan yah" begitu ujarnya.

Cerita kedua, diskon 50% di gerai pakaian wanita favorit saya. Cihuy! Terpaksa mengeluarkan kartu ATM/ debet, uang tunai yang dibawa (baru ambil tadi) hanya cukup untuk makan hari ini dan besok. Gesek sekali. Di layar tertulis 'transaksi ditolak'. "Mungkin koneksinya tidak terhubung" itu menurut mbak pramuniaganya. Gesek kedua kali, masih ditolak. "Tinggal masukan password lalu tekan enter" saran mbak pramuniaga tadi. Gesek ketiga kali, ditolak juga. "Kartunya bermasalah, masih ada kartu yang lain atau uang tunai mungkin?" Si Mbak masih mencoba untuk tersenyum. Ugh, sayangnya saya cuma punya satu kartu.

Cerita ketiga, mencari Bank of China terdekat. Saya tahu ada satu bank di dekat-dekat sana, bergegas saya ke sana untuk mengambil uang tunai dan memeriksa saldo tabungan saya. Di depan gerai ATM terdapat tanda 'caution wet floor'. Saya berpikir apa hubungannya lantai basah dengan aktifitas ATM, bisa kesetrumkah? Saya tetap bertekad masuk. Eits, bapak satpam tidak mengijinkan "Setengah jam lagi baru bisa dipakai mesinnya."

Cerita keempat, berpikir untuk kembali ke apartment, mengambil uang dari bank di sana. Namun, ketika saya menyebrang ke arah stasiun metro, saya melihat satu bank lagi di kejauhan. Saya menyebrang ke arah sana. Ternyata bank nya terletak di tengah-tengah pasar. Untungnya di dalam gerai ATM ada seorang tante-tante sedang mengambil uang, dan 2 bilik lainnya kosong. Saya menuju ke bilik paling kiri, masukan kartu, tekan angka password, masukan jumlah uang yang diinginkan, print tanda bukti. Kertas tanda bukti keluar, tapi di mana uang saya? Hua. Jangan panik Dev, cek kertas tadi, penarikan uang 0. Fiuh. Oiyah, masih harus cek saldo. Deg-deg. 'Can't perform this activity right now.'

Cerita kelima, harus kembali ke apartment, segera cek dari bank di sana. Segera! Untungnya saya berhasil mengambil uang, dan tidak ada masalah dengan jumlah uang di dalam rekening saya. Fiuh. Besok, saya harus periksa lagi, sekedar jaga-jaga :)

Cerita keenam, pergi menebus barang belanjaan saya yang tertahan. Malu sama Mbak nya. Berhubung saya penasaran dan gengsi juga (siapa tahu mbaknya menganggap saya gila belanja, sehingga kartu saya over-limit), bukan uang tunai yang saya keluarkan tapi lagi-lagi kartu ATM/ debet. "Coba lagi Mbak" dengan senyum manis saya serahkan kartunya. Cerereret. Bon tanda transaksi keluar dari mesin. "Silahkan tanda-tangan" secara otomatis si mbak berujar, dia tidak tampak terkejut atau merasa aneh. "Kok bisa?!"

Cerita ketujuh, selama saya bolak-balik dan berkeliling, saya terkesima dengan keadaan langit di atas saya. Namun, kalau saya mengambil foto pada saat itu juga, tampaknya terlalu terang, karena matahari sangatlah terik.

Cerita kedelapan, selesai/ tamat/ finish/ the end (menurut orang Chinese, delapan melambangkan 'hoki' atau keberuntungan) dan inilah hasilnya:

God's Painting (and Sheraton Building)

God's Painting (Yuan Jia Gang Metro Station's view)

God's Painting (with Mary Poppins or Nanny McPhee?)
Ah, hidup ini indah! (big smile) :D

Kamis, 22 Juli 2010

Generation 'X'

Ternyata tidak semua orang tua bisa membicarakan urusan tumbuh-kembang anaknya dengan leluasa. Tidak semua ibu bisa berpendapat dengan bebas masalah tubuh dan pertumbuhan anak perempuannya yang sudah atau sedang beranjak dewasa. Beruntungnya kasus ini tidak menimpa saya dan Mama. Dia akan senang hati berkomentar, walaupun kadang tidak ditanya, dan kalaupun ditanya, komentarnya suka terlampau 'vulgar' untuk didengar. Dia menganggap komentar 'apa-adanya' itu sebagai privilege menjadi orang tua, khususnya seorang Ibu.

"Deph, Mama ga suka baju yang kamu pilih itu. Terlalu konservatif." Mama menunjuk cheongsam cokelat yang saya pegang.
"Mama lebih suka yang ini!" Tada! Mama menunjukkan sebuah gaun merah berbahan satin yang panjangnya mungkin tidak sampai selutut saya.
"Mam, kalo aku pake itu, Mama harus beliin aku satu baju lagi." Sayapun berjalan ke counter sebelah dan mengambil satu baju lagi.
"Kamu mau pake itu?!" Mata Mama membelalak dan tampak shock ketika melihat cardigan rajutan tebal panjang dan berwarna abu-abu yang saya pegang.
"Kamu pikir kita mau piknik di puncak apa? Di puncak aja ga sedingin itu. Becanda kamu!" Mama cepat-cepat mengambil cardigan itu dari tangan saya.
"Mbak tolong ini ditaruh lagi." Tanpa babibu Mama langsung menyerahkannya ke pramuniaga yang sedari tadi mengikuti kami.

Ada sebuah foto yang beredar di laman Facebook saya. Hahaha. Lagi-lagi saya membahas Facebook, maklum hidden proxy yang saya pakai sekarang sedang dalam kondisi prima, dalam artian semua foto bisa terlihat, saya bisa bebas berkomentar, dan yang terpenting akun Facebook saya bisa dibuka (termasuk situs blogspot ini). Tidak seperti biasanya, kadang bisa dibuka kadang tidak. Oiyah, kembali ke selembar foto yang beredar tadi, kali ini bukan foto-foto seronok seperti yang sebelum-sebelumnya. Bukan juga komentar-komentar iseng Om atau Tante kerabat. Hanya foto seorang teman dengan tata-rias lengkap dan gaun yang indah-menawan. Tampaknya hasil foto studio. Tidak dipungkiri di situ dia terlihat 'lebih' dari kesehariannya. Masalahnya bukan pada fotonya tapi pada komentar-komentarnya. Mungkin orang-orangnya, termasuk teman saya itu terlalu polos atau memang munafik yah? Hahaha. Dev, jadi orang kok sinis banget sih, ga bisa liat orang seneng apa?

Bayangkan Angelina Jolie atau Megan Fox (tadinya saya mau menuliskan Pamela Anderson, tapi kok 'kebesaran' yah) dengan gaun malam yang anggun, ujung gaunnya menjuntai sampai menyapu lantai. Berukuran pas badan, menonjolkan kemolekan tubuh mereka. Tidak ada yang seronok atau tidak sopan di sana, lengan merekapun terbalut bahan lembut gaun malam tadi. Namun, ada sesuatu yang mengintip di sana. Gaun tadi agak terbuka sedikit di bagian tengah-tengah dadanya. Sedikit.

"Kamu bukan anak Mama!" Itu kata-kata yang keluar dari mulut Mama ketika saya mencoba gaun merah yang disarankannya.
"Eh, kenapa Ma?" Agak risih sebenarnya, di dalam kamar pas berukuran kira-kira satu meter persegi itu, dengan cermin di ketiga sisinya, Mama mengamati saya dengan cermatnya.
"Kamu anak siapa sih? Anak pungut yah?!" Mama merajuk.
"Kok bisa beda yah?" Si Mama masih melanjutkan 'drama' nya, tiba-tiba tatapannya terfokus pada satu bagian, otomatis sayapun mengalihkan tatapan saya ke daerah sana, saya menunduk dan ooops. Tanpa disadari kedua tangan saya sudah menyilang di depan dada saya.
"Mama! Vulgar banget sih!" Hahaha. Mama tertawa terbahak-bahak.
"Sama-sama perempuan, ga masalah. Waktu kecil Mama juga yang mandiin kamu. Tidak ada rahasia di antara kita." Hahaha. Si Mama masih melanjutkan tawanya.
"Kalau punya Mama kaya punyamu, setiap hari Mama pakai baju yang kaya gituh terus deh. Sayang tau menyia-nyiakan karunia Tuhan." Uhuk, Tuhan itu adil yah Mam.

Bagaimana dengan nasib teman saya tadi? Kebetulan Mamanya tidak 'seterbuka' Mama saya, dan untungnya lagi Mamanya tidak punya akun Facebook. Kalau tidak, ini yang akan terjadi:

"Kenapa Mama suruh kamu hapus foto ini? Lihat tampang kamu di sana, tampang penuh birahi! Dan coba kamu lihat itu belahan dada. Apa kira-kira pendapat manusia-manusia pervert di luar sana?"

Manusia-manusia pervert? Termasuk saya dan Mama saya dong yah? Hahaha. Eh, engga juga, kami hanya sekedar berkomentar tentang apa yang kami lihat, hanya sebatas itu. Sepertinya Mama juga tidak akan menyuruh saya menghapus foto itu, seandainya saya berpose seperti teman saya. Dengan mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, dan dada yang juga setengah terlihat, terkesan sendu namun menggoda. Sensual euy. Uhuy! (stop Dev). Ehem, Beliau tahu saya sudah dewasa, semestinya saya menyadari konsekuensinya apabila saya menaruh foto-foto di Facebook tanpa setting private. Untungnya teman-teman dan ibu teman saya itu masih malu-malu berkomentar. Jadi yang ada cuma "Wow!" dan "Bagus!". Kalau saya (mungkin) tidak berani menaruh foto yang mengumbar 'keseksian' saya di sana. Takut Mama dan adik-adik berkomentar yang tidak-tidak. Hahaha.


Bangga dong jadi wanita! -> Kalimat pembelaan :p
Picture by Wikipedia

Minggu, 18 Juli 2010

Photo Comment

The Ladies Bathroom



Bulan-bulan belakangan ini si Mama ‘menagih’ minta dibuatkan account Facebook, biar ‘up to date’ katanya. Si Mama merasa terkucilkan keberadaannya, karena dia kadang tidak tahu (baca: ketinggalan) berita ‘hangat’ yang sedang dibahas oleh kami, anak-anaknya. Selain email dan messenger, Facebook adalah fasilitas lain buat kami, saya dan adik-adik untuk berkomunikasi. Maklum, karena kami tidak lagi tinggal serumah, bagaikan delegasi PBB (lebay mode: on), pilihan negara/ kota tempat saya dan adik-adik untuk kuliah tidaklah sama. Dan yang paling merasa kehilangan siapa lagi kalau bukan si Mama (saya juga sih). Mungkin masih ada sarana sms dan telpon. Namun, tampaknya kesibukan dan perbedaan waktu membuat kita susah berkomunikasi menggunakan sarana itu.


“Deph, ini mama.”
“Deph, Deph lagi apa?”
“Udah ah mama capek ngetiknya.”

Itu beberapa kalimat percakapan di Yahoo Messenger beberapa tahun yang lalu, antara saya dan si Mama. Sejak saat itu pun si Mama tidak pernah lagi memanfaatkan jasa messenger untuk berkomunikasi dengan saya.


“Wah, A di sini terlihat cantik yah.”
“Om baru tahu kalau A model. Hahaha. Becanda A.”
“A lagi sibuk apa sekarang?”
“Wah, A udah di Jakarta yah?”

Bayangkan kalau kutipan percakapan di atas adalah beberapa potong komentar (berantai) dari seorang Om di beberapa lembar foto ‘anak perempuan’ berusia 18-19 tahunan, yang notabene teman saya. Mungkin imajinasi saya terlalu ekstrim sehingga menimbulkan praduga yang tidak-tidak. Siapa tahu hubungan mereka, antara paman dan keponakan (kandung mungkin) memang dekat. Wajarkan kalau seorang paman berkomentar tentang keseharian keponakannya. Eits, jangan salahkan saya karena berasumsi yang tidak-tidak terhadap para ‘Om’ dan ‘Tante’ yang rajin berkomentar di foto ‘teman’ anak-anaknya itu. Sebut saja saya kolot dalam hal penampilan dan pergaulan, saya masih terheran-heran setelah melihat foto seorang ‘anak perempuan’ berusia 19 tahun dengan kostum selembar handuk hotel yang melilit di tubuhnya, dengan setting kamar mandi hotel. Saya bingung apa fungsi dari handuk tersebut. Karena bagian-bagian tubuh penting yang seharusnya ditutupi malah ‘mengintip’ (tanpa malu-malu). Miris hati saya melihatnya. Mengapa foto ‘anak perempuan’ itu bisa mampir di tempat saya? Rupanya ada seorang teman yang berkomentar di foto itu “Astaghfirullah!”.

Bukannya saya melarang (dan menyalahkan) om-om dan tante-tante sekalian untuk (aktif) ber ‘Facebook’ an, dan saya bukan anak yang anti menjadikan Om dan Tante saya sendiri sebagai teman. Justru keberadaan Facebook dan sarana jejaringan sosial lainnya membuat saya dan mereka jadi lebih mudah berkomunikasi. Kebanyakan dari Om dan Tante saya memanfaatkan Facebook via handphone atau Blackberry dan sejenisnya, bukan melalui PC atau laptop sehingga mereka bisa kapan saja menanyakan kabar saya, dan sayapun sering ‘mengabarkan’ keseharian saya melalui foto-foto (normal) hasil jepretan seadanya kepada mereka.


“Devina gemukan yah.” Itu komentar seorang Tante saya.
“Makanan di sana kayanya enak-enak.” Itu komentar Om saya.
“Jaga kesehatan dan tetap semangat yah Dev.” Itu juga komentar Om saya berkaitan hujan badai yang terjadi di daerah saya belakangan ini.

Tambahan:
Bagaimana kalau seandainya saya yang berkomentar di wall atau foto Papa teman saya seperti ini, “Om seksi deh, terlihat awet muda. Ga nyangka kalo anak Om temen saya. Kapan-kapan saya main ke tempat Om deh. Om lagi sibuk apa?”

Jumat, 02 Juli 2010

Balada si Putih

Melihat jemuran itu, hati saya bertanya-tanya, kira-kira benda itu untuk konsumsi 'umum' atau pribadi yah? Si 'dia' tampak menarik dengan renda-rendanya yang memenuhi seluruh bagian, di beberapa bagian tertentu tampak tembus pandang. Kalau diperhatikan secara keseluruhan, memang bahannya minim dan ringan! Bukan katun, sepertinya satin. Untung warnanya bukan merah menyala atau hitam mengkilat. Warnanya putih. Eh, dipikir-pikir idenya boleh juga, bertentangan dengan makna putih secara umum: suci, innocent, tidak berdosa. Walaupun warnanya putih, bentuk dan penampakannya tidak menunjukkan kesan yang innocent, malah menggoda dengan keseksian dan keminimannya. Hah!

"Mam, waktu Mama seumur aku dulu, gaya pacaran Mama kaya apa sih?" Hahaha. Saya berusaha mengorek sesuatu yang tidak biasa dari si Mama.
"Mama udah ga pacaran lagi waktu seumur kamu! Emang kamu ga berasa?" Suara Mama terdengar sinis dan ketus.
"Loh, emangnya aku ikutan Mama pacaran?"
"Iyalah, kamu udah ada di perut Mama waktu Mama seumur kamu! Masa kamu ga ngerasain apa-apa sih waktu itu?" Mama aneh deh, masa iya jabang bayi yang masih dalam kandungan bisa mengingat semuanya setelah dia dilahirkan dan sudah 'besar' pula.
"Hah? Emang Mama ngapain waktu itu?"
"Lah, si Papa kan selalu noel-noel perut Mama."
"Oh, aku pikir si Papa ngapain Mama."
"Hahaha!" Si Mama tertawa panjang dan lama di telpon.
"Udah dibilang juga, waktu seumur kamu, Mama udah punya kamu. Apa masih bisa dibilang pacaran? Wajarlah si Papa bisa ngapa-ngapain Mama. Kamu itu.." Ah, ternyata maksud si Mama itu toh.
"Jadi, hem, Mama kalo pacaran ngapain aja?"
"Kadang nonton, kadang makan bareng, lebih sering sih jalan bareng."
"Ah Mama, kalo itu aku juga tau. Selain itu?"
"De-vi-na!"
"Yes Mam!" Hahaha. Saya tahu apa maksud Mama kalau dia sudah mulai mengeja nama saya.
"Don't do that, OK?" Kira-kira apa maksud Mama yah? Mmm.
"Mama tau kamu mikir apa, jangan mikir yang engga-engga deh. Jadi anak jangan jorok. Kamu sendiri yang bakal ngerasain ga enaknya nanti." Jorok? Hahaha. Lucu juga istilah si Mama.

Di luar konteks saya itu jorok atau tidak, saya masih tetap penasaran dengan kisah 'si putih' tadi. Ehem. De-vi-na! Hahaha.


NB: Ilustrasi di atas itu bukan punya saya, kebetulan nemu di ebay :D

Label

cerminan (23) daily (11) filosofi (1) fotografi (3) fragrance (3) jalan (5) khayal (10) musik (2) pandangan (4) photography (2) real (15) renungan (7) rumah sakit (6) santai (3) tuan puteri (2) waktu (6) weekend (6)