Jumat, 11 Juni 2010

Little Black Dress

Image and video hosting by TinyPic



Seorang tetua berkata "Kamu adalah tumbal bagi keluarga" dengan nada seakan mengutuk saya.

"Yah, seharusnya kamu terlahir sebagai anak lelaki. Anak sulung keluarga ini haruslah seorang lelaki, bukan perempuan" nada suaranya sepertinya menyalahkan. Mengapa saya harus terlahir sebagai perempuan? Suatu kesalahan besar baginya dan mereka.

"Tanggung jawab. Tanggung jawab kamu sebagai anak sulung keluarga menjadi berpuluh-puluh kali lipat lebih berat karena kamu perempuan" kali ini dia tidak lagi menuduh atau menyalahkan, iba. Rasa kasihan, atau malah kekecewaan?

Tidak bolehkah seorang anak perempuan memimpin keluarganya? Tidak bolehkah seorang anak perempuan menjadi penerus sekaligus pengurus keluarga? Boleh, katanya. Boleh saja, asalkan anak perempuan itu punya mental sekuat baja, dan tekad yang bulat, tidak setengah-setengah.

Tok. Tok. Tok. "Non, ada Tante S di luar" Mbak M berbisik halus di depan pintu kamar. Mbak M tahu, saya tidak suka Tante S dan biasanya Mbak M membantu saya untuk mengusirnya secara halus, dengan beralasan kalau saya sedang pergi.

"Sssttt. Sama siapa dia Mbak?" Sayapun berbisik-bisik di celah pintu kamar yang dengan perlahan-lahan saya buka.

"Sendirian Non. Tadinya Mbak pengen bilang kalau Non lagi pergi, tapi di luar hujan Non. Mbak ga enak juga." Samar-samar memang terdengar suara hujan dari dalam kamar, dan tiba-tiba suara petir terdengar bergemuruh di luar.

"Emang dia butuh apa Mbak?" Tidak seperti tante-tante lain yang super sibuk, perhatian Tante S terhadap saya di atas rata-rata. Dia bisa berkunjung setiap hari, ketika saya sedang liburan di rumah. Yah, bahkan di saat hujan badai seperti saat ini.

"Itu Non..."

"Ah, Devina!" Argh. Belum sempat si Mbak menjelaskan, wujud Tante S sudah terlihat di balik pintu kamar. Tanpa malu-malu Tante S mendorong pintu kamar dan menyeruak masuk, tidak memperdulikan saya yang masih bengong memegangi daun pintu.

"Muah, muah. Halo Devina!" Seperti biasa, dengan senyumnya yang sumringah Tante S langsung mengecup kedua pipi saya dan terdiam sejenak untuk mengamati saya, dari ujung kepala sampai ujung jempol kaki saya.

Dan inilah kesimpulannya, "Ah, apa jadinya keluarga ini nantinya. Ck, ck, ck." Tante S menggoyangkan telunjuknya di depan wajah saya dan seketika memutar badan saya. "Ini sudah siang Devina, apa kata orang kalau melihat kamu masih pakai baju tidur dan tidur-tiduran di kamar." Semua orang (rumah) juga tahu, kalau saya sedang liburan, dan bukankah di luar hujan? Lagipula saya tidak ada janji apa-apa hari ini, jadi wajar kalau saya bersantai-santai di kamar bukan? Dan apakah dosa berpakaian tidur, dan tidur-tiduran di waktu siang?

"Sana, ganti baju!" Tante S mendorong saya ke arah lemari pakaian. Untungnya dia tidak langsung membuka lemari pakaian dan menggantikan langsung baju tidur saya.

"Emang kita mau ke mana Tante?" Sambil memilih-milih baju dari dalam lemari, saya bertanya pada Tante S yang kali ini sedang sibuk memanut-manut diri di kaca rias.

"Ah, rahasia. Nanti kamu juga tahu." Tante S mengedipkan mata kirinya sambil meletakan ujung telunjuknya di bibirnya yang merah menyala. Sssttt, isyaratnya dalam diam.

"Tapi Tante, aku harus pakai baju apa? Nanti salah lagi." Yup, Tante S memang amat-sangat memperhatikan 'kesesuaian', kerapian, kepantasan, dan apapun itu. Dia bisa mencak-mencak kalau saya berpakaian dan berpenampilan tidak layak atau tidak sesuai acara.

Tante S membalikkan badannya dan langsung menatap saya "Ah, betul, betul. Harus berpakaian menarik." Firasat saya benar, Tante S bergegas ke arah lemari dan memilih-milih baju yang tergantung di sana.

"Ini!" Tante S menyodorkan sehelai gaun hitam tipis dan mungil. Ergh, bukankah ini masih siang? Oiyah, sekedar mengingatkan kalau saat ini hujan deras di luar, dan saya tidak tahan dingin.

"Tante, aku ga mau ganti kalau Tante ga mau kasih tahu kita mau pergi ke mana!" Saya gantungkan kembali gaun itu di dalam lemari, segera saya naik ke atas tempat tidur, dan masuk ke dalam selimut.

"Argh! Kamu selalu saja menjadi masalah. Padahal Tante sudah janji." Tante S ikut-ikutan duduk di tepi ranjang dan berusaha menarik-narik selimut yang menutupi saya.

"Yah tapi Tante bilang dulu, kita mau ke mana!" Seru saya dari dalam selimut.

"Kamu tahu Impress Dev?" Tante S berhenti menarik-narik selimut saya.

"Impress. Hem, tempat pelangsingan tubuh itu? Iya, aku tahu. Kenapa Tante?" Eh, jangan-jangan liburan ini membuat berat badan saya naik drastis, dan jangan-jangan Tante S beranggapan sudah saatnya saya ikut serta program Impress itu untuk mengontrol berat badan. Sayapun melongok keluar dari selimut.

"Kemarin Tante ke sana, ke rumah Tante Y."

"Tante Y?" Saya menatap Tante S dengan curiga.

"Iya, Tante Y itu yang punya Impress, udah lama banget Tante Y minta ke Mama kamu." Tante S mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

"Minta? Ke Mama? Minta apa Tante?" Saya semakin penasaran, ada yang aneh dan terselebung di sini. Masa si Mama yang berniat ikutan program pelangsingan tubuh di sana?

"Tante Y pengen banget ketemu kamu Dev." Penjelasan Tante S malah membuat saya semakin penasaran dan agak ngeri. Uh, jangan-jangan Tante Y pernah bertemu saya di suatu acara dan mungkin Tante Y 'gemes' melihat saya, karena banyak hal yang harus diperbaiki di tempatnya, semisalnya bentuk wajah, tubuh, struktur kulit, atau mungkin dia tanpa sengaja melihat kerutan-kerutan di wajah saya? Hahaha. Tapi sepertinya saya belum setante-tante itu deh.

"Tante Y pengen kamu ketemu sama anaknya." Anaknya?

"Siapa namanya Tante?"

"Danny"

Danny? Mungkin itu nama panggilannya, bisa saja nama panjangnya Daniella. Danny, tidak harus lelaki kan? Ah! Bisa-bisanya saya 'lupa' siapa dan apa pekerjaan Tante S sebenarnya, dan apa julukan Tante S di lingkup keluarga ini.

Tante S kembali menatap saya, kali ini saya sudah benar-benar berada di luar selimut. Panas dan pengap di dalam. "Sudah saatnya untuk kamu Dev, tidak baik anak perempuan berlama-lama sendiri, apa kata orang nanti. Percuma sekolah tinggi-tinggi Dev, ujung-ujungnya kamu bakal melahirkan dan mengurus anak-anak juga."

"Mbak! Lihat tas cokelatku ga?" Saya bergegas berdiri dan keluar kamar, mencari-cari Mbak M.

"Dev!" Tante S juga beranjak berdiri dan berusaha menarik saya, sayangnya saya selangkah lebih cepat.

"Mbak cari dulu yah Non." Mbak M muncul dari arah ruang belakang.

"Ga usah Mbak, aku cari sendiri. Oiyah, aku mau ke tempat Mama, tolong bilangin Pak A yah Mbak, aku mau pake mobilnya."

Tante S tampak sudah keluar dari kamar saya, "Tante maaf, aku lupa, aku harus nganter surat-surat ke Mama. Tante mau ikut aku ke tempat Mama atau..." Sengaja saya tidak memberikan pilihan, saya tahu Tante S tidak pernah sepaham dengan Mama, jadi kemungkinan Tante S bertemu Mama adalah nol koma berapa persen.

"Tante pulang aja deh Dev. Kamu itu yah Dev, jadi anak susah banget dibilanginnya. Ini semua demi kebaikan kamu Dev..." Tante S masih melanjutkan ceramahnya.

"Tante, aku harus ganti baju sekarang, kalau engga Mama bisa ngamuk karena aku telat. Aku ganti dulu yah Tante. Tante ati-ati di jalan yah." Klik. Saya masuk kembali ke kamar dan mengunci pintu.

*Kesamaan atau kemiripan nama, harap dimaklumkan.
** Sumber foto Google (millionlooks) :p

2 komentar:

  1. Deph. Bukan di Jakarta kan? Hmm. Sedikit byk ada rasa senasib sepenanggungan dengan cerita lo yg ini. (Entah fiktif atau tidak). Terutama yg ttg anak sulung. Mmmm. Walau ga separah karakter di cerita loe seh. He3. Manuver ala lo banget ya btw. :D

    BalasHapus
  2. Wah. Aisa mengunjungi saya. Haha. Yups, lokasi bisa di mana saja, Jakarta bolehlah :))

    BalasHapus

Label

cerminan (23) daily (11) filosofi (1) fotografi (3) fragrance (3) jalan (5) khayal (10) musik (2) pandangan (4) photography (2) real (15) renungan (7) rumah sakit (6) santai (3) tuan puteri (2) waktu (6) weekend (6)