Selasa, 10 November 2009

(Belum Mau) Menyerah

Untuk selanjutnya saya 'punya' guru musik baru. Kali ini benar-benar seorang bapak-bapak. Bapak Silaban namanya. Sesuai namanya, orangnya juga 'batak' sekali, tegas, straight to the point. Datang ke rumah, siapkan alat-alat, mainkan musiknya, selesai, pulang. Tanpa ada sesi bincang-bincang. Suaranya pun menggelegar dan aksen 'batak' nya sangatlah kental. Mungkin pilihan genre musiknya juga seputaran 'march'. Eits, jangan salah. Lagu favorite si Bapak adalah 'My Way', yang sering dimainkan setelah sesi mengajarnya selesai. Suara saxophone si Bapak mengalun lembut, bergema dalam keheningan malam, di seputaran halaman rumah saya. Biasanya tetangga di sekitar rumah ikut bermunculan di teras lantai dua mereka. Pastinya bukan karena berisik dan terganggu. Maklum, kalau si Bapak main pintu rumahnya dibiarkan terbuka. Kalau saya yang latihan, dengan tahu malu, saya akan menutup pintu dan jendela. Kasihan para tetangga yang mendengar. Tet. Tot. Tet. Tot. Sumbang.

Mungkin setelah 2-3 bulan saya les bersama Pak Silaban, si Bapak mulai senang bercerita. Ternyata dia bukan orang yang keras dan kaku. Si Bapak satu ini suka sekali musik 'indah' dan romantis, old songs dan tentu saja Jazz (tapi yang slow). Samalah sama saya. Satu sesi pertemuan, hitungannya per 1.5 jam. Tapi kalau lagi seru, si Bapak biasanya memberikan 'bonus' 1 jam. Seram kalau sudah seperti ini, bibir dan pipi saya pegal, kebal, kebas-mati rasa, dan yang paling mengerikan adalah keesokan harinya bibir saya perih dan bengkak. Haha. Biasanya juga, setelah selesai les, menunggu saya membersihkan dan menyimpan 'perkakas' si Bapak tetap duduk-manis sambil menikmati kopinya. Tidak seperti awal-awal, selesai, langsung pulang. Sekembalinya saya menyimpan alat, dia akan minta tambah kopi dan biasanya kita ngobrol sebentar.

Kalau tidak salah, 2.5 tahun berlalu, dan dia tetap menjadi guru musik saya, sampai pertengahan kelas 3 SMA, karena saya harus mempersiapkan diri untuk ujian SPMB dan lain sebagainya. Atau malah akhir kelas 3 yah, ketika saya harus berangkat ke China? Haha. Waktu memang luar biasa. Perpisahan dengan si Bapak cukup mengharukan. Mata si Bapak pun sampai berkaca-kaca, ketika kita menyudahi sesi terakhir. Si Bapak berpesan “Kamu pasti bisa. Apapun itu, kamu pasti bisa menghadapinya” diucapkan dengan aksen 'batak' nya. Saya jadi teringat ketika pertama kali saya belajar saxophone bersama dia. Dua sesi (2x1.5 jam) dihabiskan untuk sekedar mengeluarkan suara saxophone saya, bukan angin. Puff. Puff. Si Bapak selalu menyemangati “Pasti bisa! Coba lagi.” Pesan 'terakhir' si Bapak kepada saya juga mirip-mirip “Saya yakin kamu pasti berhasil dan jadi orang hebat. Apapun yang kamu kerjakan, kerjakan dengan keyakinan. Untuk kamu semua pasti lancar. Kalau sudah jadi orang hebat, jangan lupa sama bapak. Jangan lupa sama saxophone, sering-sering lah latihan, biar ga lupa.” Amien Pak! Saya pasti berjuang. Tapi yah itu Pak, untuk saxophonenya, saya (benar-benar) lupa Pak. Tapi kalau sekedar membunyikan saya masih bisa kok Pak :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

cerminan (23) daily (11) filosofi (1) fotografi (3) fragrance (3) jalan (5) khayal (10) musik (2) pandangan (4) photography (2) real (15) renungan (7) rumah sakit (6) santai (3) tuan puteri (2) waktu (6) weekend (6)