Mengapa saya mengulang-ulang cerita lama, cerita-cerita yang sudah berlalu bukannya kisah di masa sekarang?
Saya takut suatu saat, saya akan lupa dengan semua itu. Saya suka detail, saya suka perincian, hal-hal kecil, emosi dan rasa. Saya takut semua itu akan hilang.
Bukannya tiba-tiba saya merasa takut, tanpa alasan. Bukan juga karena hebohnya pemberitaan tentang kiamat atau akhir jaman.
T1: “Dev, kita pernah ga sih ngasih video rekaman ke Aisa?”
De: “Video rekaman? Buat?”
T2: “Kado ulang tahunnya dia lah. Kalo ga salah tahun terakhir kita di Nanning deh.”
De: “Tahun terakhir?”
T2: “Iyah, yang pas elo lari-lari ngasih ke dia, sebelom dia naik taksi ke bandara, di deket gerbang a yi.”
De: “Gue? Ngasih ke dia?”
T1: “Iyah Dev! Kita kan barengan nganter Aisa, elo lari-lari ngasihin video tape nya ke Aisa. Blom sempet elo edit, soalnya elo ngerekam sampai saat itu, saat rame-rame kita nganter Aisa.”
De: “Loh, bukannya itu Tulus?”
T2: “Tulus mah awal-awal, dia emang pernah pinjem videonya buat ngerekam yang bagian kesan-pesannya.”
De: “Iyah kan, itu Tulus?”
T1: “Bukan non. Itu elo, videonya kan punya loe. Saat-saat terakhir yah dikembaliin ke elo lah.”
Benar-benar saya lupa semua itu. Bukankah semestinya kejadian cukup berarti buat saya? Setelah lima tahun bersama-sama, siang dan malam, saat-saat terakhir semestinya cukup melekat dalam ingatan saya? Saya sempat bertanya-tanya, apakah benar saya ada di sana, menyaksikan dan mengantarkan teman saya itu? Apakah iya kalau saya ikut duduk-duduk dan menunggu teman saya itu? Beberapa frame kejadian mulai saya ingat perlahan-lahan. Namun, tetap saja, semuanya masih blur, masih bayang-bayang. Aisa. Sahabat saya. Kamarnya. Saya sempat mengunjungi kamarnya, sebelum dia turun dan berangkat. Koper-kopernya. Apakah pada saat itu saya membawa video dan merekam kejadan-kejadian itu? Sepertinya saya ikut membantu mendorong kopernya, membawa beberapa barangnya, mengangkatnya ke dalam bagasi taksi dan... Sepertinya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar