Minggu, 08 November 2009

Menyerah 1

Mungkin hanya orang lain yang bisa melihatnya, kita sendiri yah menganggapnya biasa saja. Waktu. Dia pernah bilang “Kalau kamu sudah kerja nanti, coba, bisa ga gaji kamu ngalahin gajiku.” Waktu juga yang membuat saya lupa, berapa yah jumlah gajinya waktu itu, 5-10 juta kah atau malah 10-15 juta? Pastinya itu jumlah yang besar, bahkan untuk periode sekarang ini. Sayangnya, sampai sekarang saya belum juga bekerja, masih tergantung orang tua. Oh, saya bukan pengangguran, saya masih betah kuliah. Haha. “Kapan kamu nyari uangnya, kalau kerjaan kamu sekolah terus” si Mama pun sampai gemas. Maaf Mama.

Dulu ketika saya masih SMA, saya pernah 'punya' guru musik. Dia juga mengajar adik-adik saya, di rumah. Penampilannya tipikal seniman sejati, rambutnya gondrong sebahu, kukunya panjang (terawat) dan kurus. Usianya mungkin sekitar 25 an pada saat itu. Di suatu kesempatan, dia ingin meperlihatkan studio mininya kepada saya. Seingat saya, studio musiknya itu terletak di loteng paling atas rumahnya. Begitu saya sampai di rumahnya, saya disambut ibunya (dengan tatapan aneh, tanpa senyum, dan tanpa berkata apa-apa) yang membukakan pintu. “Sebentar yah Dev, ambil kuncinya dulu” si Bapak masuk ke dalam rumah. Ibunya tetap diam dan tidak mempersilahkan saya masuk. Saya berdiri dengan canggung di serambi depan rumahnya, Ibunya masuk dan kembali duduk di sofa (mungkin) ruang tamu, yang berhadapan langsung dengan saya. Saya berusaha senyum. Si Ibu malah sengaja menunduk, melanjutkan membaca tabloidnya. Untungnya si Bapak datang. “Yuk, naik ke atas.” Ternyata tangga naiknya berada di samping rumahnya, sehingga kita tidak perlu masuk ke dalam rumah.

Studionya bersih, terang, dan seingat saya bernuansa kuning-cokelat-kayu (apa waktu yang membuat saya mengingatnya seperti itu). Di dalamnya terdapat keyboard, drum, amplifier, beberapa gitar, dan kotak-kotak hitam. Lantainya beralaskan karpet 'musholla' berwarna cokelat. Ruangannya tidak terlalu besar, kira-kira 4x5 meter persegi. Selain alat-alat musik tadi masih ada dua buah bantal duduk, dan satu buah lemari kaca setinggi dengkul (saya) yang diletakan di sudut ruangan. Cerita selanjutnya adalah dia mulai mendemokan kemahirannya bermain musik. Sekitar satu jam berlalu dan si Bapak 'pamit' turun sebentar mengambilkan minum. Ah, ternyata masih ada jiwa kemanusiaannya, selain jiwa seninya. Haha. Selama si Bapak turun, saya melihat-lihat sekeliling ruangan kecil itu. Mata saya tertumbuk pada lemari kaca di sudut ruangan. Di dalamnya terdapat tumpukan kertas-kertas partitur, majalah, dan tampak tidak tertata. Lemari kecil itu sedikit terbuka. Penasaran saya melihat-lihat tumpukan partitur tadi, sebagian ada yang menutup sisi luar lemari kaca tadi, sehingga tampak penuh. Sedangkan sisi belakang dan satu sisi sampingnya tertutup tembok, sehingga tidak terlihat. Ketika saya buka. Kriet. Upss.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

cerminan (23) daily (11) filosofi (1) fotografi (3) fragrance (3) jalan (5) khayal (10) musik (2) pandangan (4) photography (2) real (15) renungan (7) rumah sakit (6) santai (3) tuan puteri (2) waktu (6) weekend (6)