Minggu, 29 November 2009

Back To The Past (Terlena)

Again, they asked me to forget about the past. I'm moving backward, not forward. There is nothing about future inside my brain. Of course, no one can see the future. They are abstracts or maybe absurd.

“Let see the cards. What they said about the past?” One of my favorite fortune teller tried to foresee my past. She always tells me about the good things and actually she is my aunt. How about the bad things? She always says: Don't worry, it's just a little bump, if you tried harder, it will pass. But be careful, pay more attention to people around you.
“Nak, why the past still hanging around in your mind? Aunty don't like it. It will block your future nak.” With her sad-looking-grumpy-face, she gazed at me. I pretended to observe the cards arrangement seriously, but still they're just poker cards.
“But Aunt, until now, I don't know about the past, that you just mentioned it. Is it a human, people, some kinds of act, or what?” She already told me about this-past-thing twice.

That was six months ago, until this day, 'the past' thing(s) remain unclear.

Somehow, I think it's a person. A man from the past. He who taught me about the good and the bad. He had been my courage, in the mean time he also became my source of fearness. He is a devil also an angel. Why God created evil in such a nice (good looking and charming)form? Why? Ergh. But I don't think he is. It has been five years, we never contacted each other. Suddenly, a week ago, I met him. Haha. I'm so curious about him. But then, I decided 'the past' is not him.

Ouh, maybe 'the past' was just my good old days back there. Of course, I will remember it. Is it bad?

Kamis, 26 November 2009

Capek. Capek. Capek peduli sama orang yang tidak peduli.
Cuek. Cuek. Cuek. Emang enak dicuekin.
Senang dan kesempatan untuk mereka.
Bantuan dan pertolongan baru ingatlah saya.

Sabtu, 21 November 2009

Berpikir (Keras)

Mengapa saya mengulang-ulang cerita lama, cerita-cerita yang sudah berlalu bukannya kisah di masa sekarang?

Saya takut suatu saat, saya akan lupa dengan semua itu. Saya suka detail, saya suka perincian, hal-hal kecil, emosi dan rasa. Saya takut semua itu akan hilang.

Bukannya tiba-tiba saya merasa takut, tanpa alasan. Bukan juga karena hebohnya pemberitaan tentang kiamat atau akhir jaman.

T1: “Dev, kita pernah ga sih ngasih video rekaman ke Aisa?”
De: “Video rekaman? Buat?”
T2: “Kado ulang tahunnya dia lah. Kalo ga salah tahun terakhir kita di Nanning deh.”
De: “Tahun terakhir?”
T2: “Iyah, yang pas elo lari-lari ngasih ke dia, sebelom dia naik taksi ke bandara, di deket gerbang a yi.”
De: “Gue? Ngasih ke dia?”
T1: “Iyah Dev! Kita kan barengan nganter Aisa, elo lari-lari ngasihin video tape nya ke Aisa. Blom sempet elo edit, soalnya elo ngerekam sampai saat itu, saat rame-rame kita nganter Aisa.”
De: “Loh, bukannya itu Tulus?”
T2: “Tulus mah awal-awal, dia emang pernah pinjem videonya buat ngerekam yang bagian kesan-pesannya.”
De: “Iyah kan, itu Tulus?”
T1: “Bukan non. Itu elo, videonya kan punya loe. Saat-saat terakhir yah dikembaliin ke elo lah.”

Benar-benar saya lupa semua itu. Bukankah semestinya kejadian cukup berarti buat saya? Setelah lima tahun bersama-sama, siang dan malam, saat-saat terakhir semestinya cukup melekat dalam ingatan saya? Saya sempat bertanya-tanya, apakah benar saya ada di sana, menyaksikan dan mengantarkan teman saya itu? Apakah iya kalau saya ikut duduk-duduk dan menunggu teman saya itu? Beberapa frame kejadian mulai saya ingat perlahan-lahan. Namun, tetap saja, semuanya masih blur, masih bayang-bayang. Aisa. Sahabat saya. Kamarnya. Saya sempat mengunjungi kamarnya, sebelum dia turun dan berangkat. Koper-kopernya. Apakah pada saat itu saya membawa video dan merekam kejadan-kejadian itu? Sepertinya saya ikut membantu mendorong kopernya, membawa beberapa barangnya, mengangkatnya ke dalam bagasi taksi dan... Sepertinya...

Senin, 16 November 2009

Yeap, tepat sebulan sebelum tanggal yang dinantikan. Semua 'sistem' harus diaktifkan secara maksimal.

Selasa, 10 November 2009

(Belum Mau) Menyerah

Untuk selanjutnya saya 'punya' guru musik baru. Kali ini benar-benar seorang bapak-bapak. Bapak Silaban namanya. Sesuai namanya, orangnya juga 'batak' sekali, tegas, straight to the point. Datang ke rumah, siapkan alat-alat, mainkan musiknya, selesai, pulang. Tanpa ada sesi bincang-bincang. Suaranya pun menggelegar dan aksen 'batak' nya sangatlah kental. Mungkin pilihan genre musiknya juga seputaran 'march'. Eits, jangan salah. Lagu favorite si Bapak adalah 'My Way', yang sering dimainkan setelah sesi mengajarnya selesai. Suara saxophone si Bapak mengalun lembut, bergema dalam keheningan malam, di seputaran halaman rumah saya. Biasanya tetangga di sekitar rumah ikut bermunculan di teras lantai dua mereka. Pastinya bukan karena berisik dan terganggu. Maklum, kalau si Bapak main pintu rumahnya dibiarkan terbuka. Kalau saya yang latihan, dengan tahu malu, saya akan menutup pintu dan jendela. Kasihan para tetangga yang mendengar. Tet. Tot. Tet. Tot. Sumbang.

Mungkin setelah 2-3 bulan saya les bersama Pak Silaban, si Bapak mulai senang bercerita. Ternyata dia bukan orang yang keras dan kaku. Si Bapak satu ini suka sekali musik 'indah' dan romantis, old songs dan tentu saja Jazz (tapi yang slow). Samalah sama saya. Satu sesi pertemuan, hitungannya per 1.5 jam. Tapi kalau lagi seru, si Bapak biasanya memberikan 'bonus' 1 jam. Seram kalau sudah seperti ini, bibir dan pipi saya pegal, kebal, kebas-mati rasa, dan yang paling mengerikan adalah keesokan harinya bibir saya perih dan bengkak. Haha. Biasanya juga, setelah selesai les, menunggu saya membersihkan dan menyimpan 'perkakas' si Bapak tetap duduk-manis sambil menikmati kopinya. Tidak seperti awal-awal, selesai, langsung pulang. Sekembalinya saya menyimpan alat, dia akan minta tambah kopi dan biasanya kita ngobrol sebentar.

Kalau tidak salah, 2.5 tahun berlalu, dan dia tetap menjadi guru musik saya, sampai pertengahan kelas 3 SMA, karena saya harus mempersiapkan diri untuk ujian SPMB dan lain sebagainya. Atau malah akhir kelas 3 yah, ketika saya harus berangkat ke China? Haha. Waktu memang luar biasa. Perpisahan dengan si Bapak cukup mengharukan. Mata si Bapak pun sampai berkaca-kaca, ketika kita menyudahi sesi terakhir. Si Bapak berpesan “Kamu pasti bisa. Apapun itu, kamu pasti bisa menghadapinya” diucapkan dengan aksen 'batak' nya. Saya jadi teringat ketika pertama kali saya belajar saxophone bersama dia. Dua sesi (2x1.5 jam) dihabiskan untuk sekedar mengeluarkan suara saxophone saya, bukan angin. Puff. Puff. Si Bapak selalu menyemangati “Pasti bisa! Coba lagi.” Pesan 'terakhir' si Bapak kepada saya juga mirip-mirip “Saya yakin kamu pasti berhasil dan jadi orang hebat. Apapun yang kamu kerjakan, kerjakan dengan keyakinan. Untuk kamu semua pasti lancar. Kalau sudah jadi orang hebat, jangan lupa sama bapak. Jangan lupa sama saxophone, sering-sering lah latihan, biar ga lupa.” Amien Pak! Saya pasti berjuang. Tapi yah itu Pak, untuk saxophonenya, saya (benar-benar) lupa Pak. Tapi kalau sekedar membunyikan saya masih bisa kok Pak :)

Senin, 09 November 2009

Semoga segala kesempatan-kesempatan ini tidak membuat kami menjadi berbesar kepala.
Semoga segala kemudahan-kemudahan ini tidak membuat kami meremehkan orang lain.
Semoga segala kebahagiaan dan keberuntungan yang kami miliki sekarang ini,
tidak menjadikan kami lupa untuk selalu bersyukur padaMu.

Minggu, 08 November 2009

Menyerah 2

Ada sisi kosong di tengahnya, tumpukan kertas menutupi sebuah benda di bagian tengahnya, dan ternyata tidak sepenuh yang saya kira. Iseng, saya ambil benda itu. Wow. Itu 'bong'! Dari mana saya bisa tahu kalau itu 'bong', yang jelas selama itu (masa dari saya lahir sampai detik itu) saya belum pernah melihat langsung dan menyentuh langsung benda tersebut. That was my first experience with bong. Haha. Saya tahunya yah dari tayangan televisi, film dan lain sebagainya. Segera saya letakan kembali ke dalam lemari, menutupinya kembali dengan kertas-kertas. Takut-takut saya menemukan benda aneh lainnya, suntikan kek, pil-pil anehlah. Keringat dingin mengucur. Serem, jangan-jangan nanti saya dipaksa ikutan 'party' nya si Bapak. Saya harus segera pulang ini. Kriet. Upss.

Bertepatan dengan tertutupnya lemari kaca itu, wajah si Bapak muncul dari arah tangga, dan sepertinya dia mendengar suara 'kriet' tadi. Deg-deg. Si Bapak berjalan dalam diam menghampiri saya, dan diletakannya nampan beserta dua gelas jus jeruk di lantai, di hadapan saya. Si Bapak pun ikutan duduk di lantai, di sebelah saya. “Minum Dev” disodorkannya sebuah gelas. Bimbang. Minum engga, minum engga. “Tenang, ga ada apa-apanya kok. Cuma aer jeruk. Kalo ga percaya tanya aja si mbak di bawah.” Ups, ternyata keraguan saya cukup nyata dan terbaca oleh si Bapak. Kepada DIA saya berserah. Gluk, gluk. Pusingkah saya? Melayangkah saya? Ternyata tidak. Fiuh.

“Dev, aku tau. Kamu tadi sempet liat kan?” Duh, si Bapak ini becanda yah, bukan cuma liat Pak, saya juga sempet pegang-pegang dan mengamati 'mainan' Bapak itu. Saya mengangguk pasrah. Berbohong tidak akan menyelesaikan masalah, dan pada saat itu saya tegang, dan tidak mungkin mengarang alasan. “Dulu aku kaya kamu, dari sd sampe sma selalu ranking dan juara. Anak baik-baiklah.” Ternyata si Bapak mulai berkisah. Duduk bersandar pada dinding dan tatapannya tampak kosong menatap langit-langit. Saya hanya diam mendengarkan, sambil tetap memegang gelas berisikan jus jeruk. “Pas kuliah, aku mulai bosan Dev. Tampaknya semua sia-sia. Buat apa sih ranking-rankingan, buat apa sih serius belajar. Ga ada ujungnya dan ga ada gunanya.” Si Bapak masih menatap kosong langit-langit, kedua kakinya diselonjorkan. Saya tetap diam. Tiba-tiba si Bapak menatap saya “Dev, kamu juga jangan kaya aku yah. Terperangkap.” Saya pikir dia akan 'mulai' membahas keterperangkapannya di dalam dunia NARKOBA. Ternyata saya salah. “Kamu juga jangan terus-terusan belajar. Percuma. Akhirnya akan sama.” Tangan si Bapak menepis udara kosong di hadapannya dan dia menggelengkan kepalanya. Hah?! Saya cuma bisa tersenyum kecut mendengarnya “Pak, masalahnya sekarang saya masih belum tau, akhirnya saya di mana. Saya masih mau kok belajar, dan itu juga bukan paksaan buat saya. Saya justru belum mau melepaskan apa yang sedang saya perjuangkan sekarang. Jadi sekarang saya mau pulang Pak.” Saya berdiri dan berjalan ke arah tangga. Pulang.

Menyerah 1

Mungkin hanya orang lain yang bisa melihatnya, kita sendiri yah menganggapnya biasa saja. Waktu. Dia pernah bilang “Kalau kamu sudah kerja nanti, coba, bisa ga gaji kamu ngalahin gajiku.” Waktu juga yang membuat saya lupa, berapa yah jumlah gajinya waktu itu, 5-10 juta kah atau malah 10-15 juta? Pastinya itu jumlah yang besar, bahkan untuk periode sekarang ini. Sayangnya, sampai sekarang saya belum juga bekerja, masih tergantung orang tua. Oh, saya bukan pengangguran, saya masih betah kuliah. Haha. “Kapan kamu nyari uangnya, kalau kerjaan kamu sekolah terus” si Mama pun sampai gemas. Maaf Mama.

Dulu ketika saya masih SMA, saya pernah 'punya' guru musik. Dia juga mengajar adik-adik saya, di rumah. Penampilannya tipikal seniman sejati, rambutnya gondrong sebahu, kukunya panjang (terawat) dan kurus. Usianya mungkin sekitar 25 an pada saat itu. Di suatu kesempatan, dia ingin meperlihatkan studio mininya kepada saya. Seingat saya, studio musiknya itu terletak di loteng paling atas rumahnya. Begitu saya sampai di rumahnya, saya disambut ibunya (dengan tatapan aneh, tanpa senyum, dan tanpa berkata apa-apa) yang membukakan pintu. “Sebentar yah Dev, ambil kuncinya dulu” si Bapak masuk ke dalam rumah. Ibunya tetap diam dan tidak mempersilahkan saya masuk. Saya berdiri dengan canggung di serambi depan rumahnya, Ibunya masuk dan kembali duduk di sofa (mungkin) ruang tamu, yang berhadapan langsung dengan saya. Saya berusaha senyum. Si Ibu malah sengaja menunduk, melanjutkan membaca tabloidnya. Untungnya si Bapak datang. “Yuk, naik ke atas.” Ternyata tangga naiknya berada di samping rumahnya, sehingga kita tidak perlu masuk ke dalam rumah.

Studionya bersih, terang, dan seingat saya bernuansa kuning-cokelat-kayu (apa waktu yang membuat saya mengingatnya seperti itu). Di dalamnya terdapat keyboard, drum, amplifier, beberapa gitar, dan kotak-kotak hitam. Lantainya beralaskan karpet 'musholla' berwarna cokelat. Ruangannya tidak terlalu besar, kira-kira 4x5 meter persegi. Selain alat-alat musik tadi masih ada dua buah bantal duduk, dan satu buah lemari kaca setinggi dengkul (saya) yang diletakan di sudut ruangan. Cerita selanjutnya adalah dia mulai mendemokan kemahirannya bermain musik. Sekitar satu jam berlalu dan si Bapak 'pamit' turun sebentar mengambilkan minum. Ah, ternyata masih ada jiwa kemanusiaannya, selain jiwa seninya. Haha. Selama si Bapak turun, saya melihat-lihat sekeliling ruangan kecil itu. Mata saya tertumbuk pada lemari kaca di sudut ruangan. Di dalamnya terdapat tumpukan kertas-kertas partitur, majalah, dan tampak tidak tertata. Lemari kecil itu sedikit terbuka. Penasaran saya melihat-lihat tumpukan partitur tadi, sebagian ada yang menutup sisi luar lemari kaca tadi, sehingga tampak penuh. Sedangkan sisi belakang dan satu sisi sampingnya tertutup tembok, sehingga tidak terlihat. Ketika saya buka. Kriet. Upss.

Selasa, 03 November 2009

Unconditional

A: "Kamu butuh apa?"
a: "Saya tidak butuh apa-apa."
A: "Coba dipikir-pikir lagi, kebetulan saya punya banyak barang yang akan dibuang."
a: "Yakin, saya tidak butuh apa-apa."
A: "Bukankah kamu butuh terang?"
a: "Iya, saya butuh terang tapi saya sudah punya."
A: "Tambahkan saja."
a: "Terserah kamulah."

Terang itu tidak saya dapatkan sampai saat ini. Entah apa yang ada di dalam benak A ketika dia menawarkannya kepada saya. Bukan hanya terang, juga arah, dasar, tujuan dan lain sebagainya. Dia hanya sekedar menawarkan, basa-basikah? Kalau memang ingin memberi, berikan saja langsung. Oh, saya lupa A pernah memberikan barang secara langsung kepada saya, tanpa ba-bi-bu, tanpa menunda-nunda dan akhirnya lupa.

A: "Nih, gw udah ga butuh." Disodorkannya sebuah sepeda tanpa roda depan kepada saya. Setahu saya, kota ini tidak memungkinkan kita untuk bersepeda dengan bebas, lalu-lintasnya terlalu ramai, penuh sesak dengan bus-bus besar, selain itu kontur tanahnya juga naik-turun. Apakah saya butuh sepeda?

Oiyah, saya lupa (lagi), A juga pernah memberikan 3 bungkus mie instant dengan cuma-cuma.

A: "Kebanyakan belinya, waktu itu diskon."
a: "Kok ga diabisin aja?"
A: "Engga ah, rasanya aneh. Cobain aja."

Saya pun dengan terpaksa menerima sumbangan mie instant tersebut, sebenarnya saya juga tidak suka dengan mie instant. Ketika 3 bungkus mie instant itu sampai ke tangan saya, sontak saya bersin. Debu-debu itu menari-nari di depan mata saya. Saya perhatikan baik-baik bagian belakang kemasan mie instant tersebut. Argh. Apalah artinya 6 bulan lewat dari masa kadaluarsa mie instant dengan rasa aneh ini, apakah bisa menambahkan keanehan rasanya?

Senin, 02 November 2009

My World

Ingat, di atas langit masih ada langit. Jangan gegabah dan sombong. Saya tahu kamu pintar tapi belum tentu kamu tahu segalanya. Ketika orang lain berusaha mengutarakan pendapatnya, kau katakan "Nanti dulu!" Dengan gayamu yang khas, tanganmu menepis, mengisyaratkan orang itu untuk diam. Sungguh aneh. Setau saya rasa kopi itu pahit. "Nanti dulu!" Saya tahu karena setiap hari saya minum kopi, bukan kecanduan, saya suka aromanya.

Tuan Puteri, ceritamu keterlaluan. Bukan apa-apa, sumber awal cerita itu yah saya yang menyebarkan. Bisa-bisanya Tuan Puteri mengaku-aku menjadi dia dan berkata-kata seperti dia.

"Berpakaianlah yang rapi dan sopan" begitu Tuan Puteri menitahkan kami (sahabat-sahabatnya yang entah bagaimana dianggapnya sebagai hamba-hambanya).
Seorang sahabat datang dengan gaun yang indah menurut saya (dan sopan). Memang sahabat saya yang satu ini selalu tampil menawan dalam setiap kesempatan. Penampilannya selalu sesuai dengan acara dan kesempatan. Pembawaannya pun anggun dan pandai bergaul, dengar-dengar sejak kecil dia memang sudah 'dilatih' dan dipersiapkan sebagai puteri bangsawan. Entah dia bangsawan atau bukan. Dia tidak menganggap kami, sahabat-sahabatnya sebagai hambanya. Bahkan, kadang dia sama seperti kami, menjadi 'hamba' untuk 'Tuan Puteri'.

"Baju loe ga sopan, harus pakai kemeja berkerah dan rok" Tuan Puteri menudingkan tangannya ke arah sahabat saya. Tadinya saya juga mau mengenakan gaun, sepertinya lebih cocok untuk acara di ballroom hotel mewah seperti sekarang, bukannya di ruangan rapat di kampus. Sahabat saya yang anggun dan bergaun itu pun tidak membantah Tuan Puteri, dia tersenyum dan melangkah masuk ke dalam ballroom. Kami pun menyusul masuk. Pintu terbuka di hadapan kami. Jreng. Kami tampak aneh di sana, kampungan, tidak pada tempatnya.

'Jangan mengaku-ngaku sebagai orang besar di antara orang-orang besar lain. Malu-maluin.'

Label

cerminan (23) daily (11) filosofi (1) fotografi (3) fragrance (3) jalan (5) khayal (10) musik (2) pandangan (4) photography (2) real (15) renungan (7) rumah sakit (6) santai (3) tuan puteri (2) waktu (6) weekend (6)