My Way (by Frank Sinatra)
Songwriters: Revaux, Jacques; Anka, Paul (Eng Lyr); Thibaut, Gilles; Francois, Claude;
"And now the end is near
And so I face the final curtain
My friend I'll say it clear
I'll state my case of which I'm certain"
Aku merasa kehilangan. Ada sesuatu yang hilang.
Entah apa yang aku nantikan.
Menjadi akhir, menantikan awal. Persimpangan.
Titik temu, ataukah titik nadir?
Perpisahan dan penantian panjang.
Let's count the days ahead, the steps we made.
Certainly, I'll do it my way.
(Hari ini bertepatan dengan wafatnya Gus Dur, mantan presiden RI, semoga amal ibadah beliau di terima di sisi Yang Maha Kuasa)
Bualan kosong yang tidak berarti. Pengandaian. Permaknaan. Perumpamaan. Ketidak-jelasan. Ketidak-pastian. Berakhir dengan pernyataan ataupun pertanyaan (di dalam hati).
Rabu, 30 Desember 2009
Selasa, 29 Desember 2009
Aku Ingin Begini, Aku Ingin Begitu
Ketika saya kembali ke lingkungan awal, lingkungan tempat saya dibesarkan, dalam artian keluarga bagi saya. Semuanya menjadi normal. Hal-hal jelek dalam diri menjadi hilang, detoksifikasi, netralisasi diri. Tidak seperti adik-adik saya, karakter mereka kuat, sehingga lingkungan hanya sedikit merubah mereka. Saya? Justru lingkungan atau keadaan sekitar yang membesarkan saya. Bahaya yah. Untungnya sampai saat ini keadaan sekitar saya, manusia maupun alamnya adalah baik. Bisa dibayangkan kalau faktor jahat, buruk atau negatifnya lebih banyak. Jadilah saya seorang berandal, pembangkang, atau apalah itu.
Ketika saya kembali ke rumah, rasanya nyaman. Tidak terpikir untuk memiliki kaos seharga ratusan ribu rupiah, boots kulit seharga jutaan, mantel tebal buatan luar negeri, atau tas-tas bermerk terkenal. Nyaman rasanya bisa menjadi 'saya' tanpa label dan 'tag'.
Saya selalu mengkritik teman-teman di sekitar, yang kebanyakan wanita:
"Celana loe pendek banget sih, paha loe tuh ke mana-mana", "idih, baju loe belahannya rendah banget, mo pamer yah", "ketat banget sih rok loe", "make-up loe apa-apaan tuh, menor banget" dan lain sebagainya.
Komentar yang superfisial banget yah. Ga penting. Iri yah sama penampilan (luar) mereka? Wajarlah kalau dia pake celana (super) pendek, wong pahanya putih mulus gitu. Masalah belahan (dada), suka-suka yang punya lah. Lagian loe hidup di jaman apa sih? Jaman R.A Kartini dipingit? Sekarang tuh, jaman serba terbuka, semuanya boleh dibuka selebar dan 'seterbuka-bukanya'. Tapi resiko ditanggung sendiri yah. Gw mengeluh dan mengkritik sebanyak gw bernafas. Apa sih yang sebenernya ada di dalam benak gw? Hem, gw pengen seperti mereka. Gw pengen tubuh gw langsing, meliuk indah seperti mereka. Gw pengen hidup dengan segala kemewahan seperti mereka, yang kerjaannya shopping setiap hari. Gw pengen bisa tanpa ragu-ragu berpenampilan. Kasian banget yah, sirik tanda tak mampu tuh :p
Mungkin saya memang bukan bagian dari mereka, 'out of my league', 'not my cup of tea'. Haha. Alasan. Atau mungkin saya sedang mengalami krisis kepercayaan diri? Jadinya saya ingin seperti orang-orang yang keren, seperti teman yang pintar dan bijak. Atau teman lain, yang kebetulan cantik dan seksi. Ah, apalagi ditambah koleksi sepatu, baju, tas, mobil (dibeliin papanya), perhiasan (punya mamanya) yang berlimpah itu. Memangnya ada manusia yang sempurna? Maunya sih begitu :D
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Terserah deh, loe mau komentar apa tentang gw, terhadap sifat dan pembawaan gw, tentang penampilan gw sekarang ini. Nyatanya loe selalu 'memandang' (baca: mengamati dan membandingkan) keadaan gw, baru setelah itu mencela. Tapi apa loe ga nyadar, potongan rambut loe skarang sama seperti potongan rambut gw lima tahun yang lalu. Jijik kata loe waktu itu ;)
Ketika saya kembali ke rumah, rasanya nyaman. Tidak terpikir untuk memiliki kaos seharga ratusan ribu rupiah, boots kulit seharga jutaan, mantel tebal buatan luar negeri, atau tas-tas bermerk terkenal. Nyaman rasanya bisa menjadi 'saya' tanpa label dan 'tag'.
Saya selalu mengkritik teman-teman di sekitar, yang kebanyakan wanita:
"Celana loe pendek banget sih, paha loe tuh ke mana-mana", "idih, baju loe belahannya rendah banget, mo pamer yah", "ketat banget sih rok loe", "make-up loe apa-apaan tuh, menor banget" dan lain sebagainya.
Komentar yang superfisial banget yah. Ga penting. Iri yah sama penampilan (luar) mereka? Wajarlah kalau dia pake celana (super) pendek, wong pahanya putih mulus gitu. Masalah belahan (dada), suka-suka yang punya lah. Lagian loe hidup di jaman apa sih? Jaman R.A Kartini dipingit? Sekarang tuh, jaman serba terbuka, semuanya boleh dibuka selebar dan 'seterbuka-bukanya'. Tapi resiko ditanggung sendiri yah. Gw mengeluh dan mengkritik sebanyak gw bernafas. Apa sih yang sebenernya ada di dalam benak gw? Hem, gw pengen seperti mereka. Gw pengen tubuh gw langsing, meliuk indah seperti mereka. Gw pengen hidup dengan segala kemewahan seperti mereka, yang kerjaannya shopping setiap hari. Gw pengen bisa tanpa ragu-ragu berpenampilan. Kasian banget yah, sirik tanda tak mampu tuh :p
Mungkin saya memang bukan bagian dari mereka, 'out of my league', 'not my cup of tea'. Haha. Alasan. Atau mungkin saya sedang mengalami krisis kepercayaan diri? Jadinya saya ingin seperti orang-orang yang keren, seperti teman yang pintar dan bijak. Atau teman lain, yang kebetulan cantik dan seksi. Ah, apalagi ditambah koleksi sepatu, baju, tas, mobil (dibeliin papanya), perhiasan (punya mamanya) yang berlimpah itu. Memangnya ada manusia yang sempurna? Maunya sih begitu :D
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Terserah deh, loe mau komentar apa tentang gw, terhadap sifat dan pembawaan gw, tentang penampilan gw sekarang ini. Nyatanya loe selalu 'memandang' (baca: mengamati dan membandingkan) keadaan gw, baru setelah itu mencela. Tapi apa loe ga nyadar, potongan rambut loe skarang sama seperti potongan rambut gw lima tahun yang lalu. Jijik kata loe waktu itu ;)
Sabtu, 26 Desember 2009
Let It Be
Gw pengen bisa berkhayal seperti seorang sahabat, gw pengen bisa berkeyakinan kuat dengan apa yang gw harapkan. Tapi bukankah waktu berlalu? Bukankah keinginan tidak hanya satu? Ada yang bilang, jangan terlalu berharap, karena kadang harapan membuat kita lupa dan kecewa. Nasib katanya. Kita bisa berandai-andai memiliki istana yang indah, suami yang serba sempurna, keluarga yang lengkap dan bahagia, uang yang berlimpah dan masih banyak lagi. Namun, apakah kita dijinkan untuk merasakan itu semua? Apa memang impian itu menjadi jatah kita? Eh, siapa tahu. Namanya juga berkhayal. Nyokap gw mengajarkan, kalau kamu mau berkhayal dan berandai-andai, jangan yang remeh-temeh (maksudnya yang biasa dan sederhana), sekalian yang besar dan yang kemungkinan untuk dicapainya sangat kecil. Percuma kalau kamu diberi kesempatan untuk berkhayal, kamu hanya menginginkan kedamaian di hati dan di bumi. Sepele. Tapi, kalau itu bukan khayalan, itu sudah menjadi kewajiban kita lah. Mungkin gw harus mulai berkhayal bisa berada di 7 negara dalam waktu satu hari. Haha. Itu sih ngaco. Eh, siapa tau hal itu bisa terjadi, terserah yang mengkhayal dong.
Tapi semuanya ga lepas dari waktu (kayanya gw demen banget ngomongin waktu), kita ga bisa memburu waktu, melambatkan, atau melewatinya. Gw ga suka ujian, gw pengen gw ga usah ikut ujian. So, gw skip sampe hasil ujian itu keluar, atau sekalian sampe gw lulus kuliah. Loh, apa asyiknya? Elo ga tau apa yang elo hadapi, tiba-tiba ada hasilnya. Terus elo mo ngapain? Ujian-ujian lainnya, yang tertulis maupun tidak, yang resmi dan yang tidak, sudah menanti loe di lain waktu dan kesempatan. Sama aja kan. Kalo semuanya di skip, dilewati, bertambah pendek lah usia loe, bertambah sedikit lah pengalaman loe di bumi ini. Haha. Extreme.
Aku mau hidup seribu tahun lagi (begitu Chairil Anwar bersajak).
Tapi semuanya ga lepas dari waktu (kayanya gw demen banget ngomongin waktu), kita ga bisa memburu waktu, melambatkan, atau melewatinya. Gw ga suka ujian, gw pengen gw ga usah ikut ujian. So, gw skip sampe hasil ujian itu keluar, atau sekalian sampe gw lulus kuliah. Loh, apa asyiknya? Elo ga tau apa yang elo hadapi, tiba-tiba ada hasilnya. Terus elo mo ngapain? Ujian-ujian lainnya, yang tertulis maupun tidak, yang resmi dan yang tidak, sudah menanti loe di lain waktu dan kesempatan. Sama aja kan. Kalo semuanya di skip, dilewati, bertambah pendek lah usia loe, bertambah sedikit lah pengalaman loe di bumi ini. Haha. Extreme.
Aku mau hidup seribu tahun lagi (begitu Chairil Anwar bersajak).
Jumat, 25 Desember 2009
Hari ini tanggal 25 Desember 2009, Natal. Setahun sudah terlewati lagi. Entah ke mana waktu itu menghilang. Menghilang? Sepertinya tidak benar-benar menghilang begitu saja, banyak bukti dan tanda yang menunjukkan kalau waktu tidak menghilang dan berlalu begitu saja. Canda, tawa, air mata, cerita dan kenangan selalu ada di dalam benak. Tertinggal dengan hitungan waktu yang tidak jelas berbekas. Saya ingat di awal tahun saya pernah bertemu dia, tapi kapan tepatnya, saya lupa. Namun, perasaan saya saat itu senang dan terharu, dan rasa itu terus saya rasakan sampai saat ini.
Selamat Natal :)
Selamat Natal :)
Rabu, 16 Desember 2009
Cuih!
Haha. Belum apa-apa sudah dibilang 'ga seru!' Sebagai manusia (teman) yang baik, saya pasrah saja deh.
Resolusi tahun ini: pasrah. Bukan berarti tidak mau berusaha, statis, dan diam.
Terserah mau dibilang, pastinya saya berusaha semampu saya, dan semoga saya tetap acuh dan tidak menjadi egois.
"Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi seuntai maaf tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh." Mahatma Gandhi.
Tenang, tenang saja yuk Dev :)
Resolusi tahun ini: pasrah. Bukan berarti tidak mau berusaha, statis, dan diam.
Terserah mau dibilang, pastinya saya berusaha semampu saya, dan semoga saya tetap acuh dan tidak menjadi egois.
"Mereka yang berjiwa lemah tak akan mampu memberi seuntai maaf tulus. Pemaaf sejati hanya melekat bagi mereka yang berjiwa tangguh." Mahatma Gandhi.
Tenang, tenang saja yuk Dev :)
Senin, 14 Desember 2009
Cake Eater
Semoga tidak menjadi suatu kesalahan (fatal) untuk jiwa saya yang labil. Dia maunya serba sempurna. Saya menjadi takut, takut salah, takut tidak memenuhi standarnya. Untungnya beberapa tahun bersama, pilihan saya selalu tepat. Untuk makanan selalu enak, untuk suasana tidak ada yang bisa mengalahkan (keromantisannya), dan untuk harga, yah itu sih menjadi beban saya sendiri.
Sopan santun atau menghargai. Saya sudah ditraktir makan, selain mengucapkan terima kasih, saya juga tidak lupa mengatakan "Kok ga enak yah? Nasinya keras, lauknya keasinan." Memang saya pernah mentraktir dia? Belum.
Hadiah. Sama, saya juga akan mengucapkan terima kasih, dan untuk tahun berikutnya pilih saja salah satu mug bekas koleksi di dapur saya sebagai balasannya, yang penting kan memberi dan ikhlas.
Saya takut dengan mereka, tuntutannya tinggi, maunya banyak.
Cakenya harus enak, lembut, cokelat dan krimnya tidak boleh membuat eneg, harus ada buah-buahan di antara layer cakenya. Kalau tidak sesuai? Siap-siaplah menerima cercaan. "Cakenya aneh rasanya. Aku ga mau krimnya yah, eneg." Nah loh. Saya ambil lagi cakenya, menyisihkan krim di atasnya dan siap-siap mendengarkan analisa rasa cake selanjutnya. Argh.
Semoga tahun ini tidak.
Sopan santun atau menghargai. Saya sudah ditraktir makan, selain mengucapkan terima kasih, saya juga tidak lupa mengatakan "Kok ga enak yah? Nasinya keras, lauknya keasinan." Memang saya pernah mentraktir dia? Belum.
Hadiah. Sama, saya juga akan mengucapkan terima kasih, dan untuk tahun berikutnya pilih saja salah satu mug bekas koleksi di dapur saya sebagai balasannya, yang penting kan memberi dan ikhlas.
Saya takut dengan mereka, tuntutannya tinggi, maunya banyak.
Cakenya harus enak, lembut, cokelat dan krimnya tidak boleh membuat eneg, harus ada buah-buahan di antara layer cakenya. Kalau tidak sesuai? Siap-siaplah menerima cercaan. "Cakenya aneh rasanya. Aku ga mau krimnya yah, eneg." Nah loh. Saya ambil lagi cakenya, menyisihkan krim di atasnya dan siap-siap mendengarkan analisa rasa cake selanjutnya. Argh.
Semoga tahun ini tidak.
Jumat, 11 Desember 2009
Simbiosis Mutualisme
Tergoda untuk menggoda. Jangan. Jangan. Nyonya besar mulai khawatir dan curiga. Jangan-jangan blog ini menjadi sumber masalahnya.
Don't worry hon, he won't able to leave you alone. Because you need him and he needs to be needed.
Me? I'm still able to run my 'little world' all alone. "Bah, sombong kau!" Begitu katanya.
Don't worry hon, he won't able to leave you alone. Because you need him and he needs to be needed.
Me? I'm still able to run my 'little world' all alone. "Bah, sombong kau!" Begitu katanya.
Kurcaci
Mama menyebutnya sebagai 'nenek kecil keriput' yang suka menyuruh. Saya lebih suka menyebutnya 'setan kecil' yang selalu menghasut saya untuk membenci apapun. Apapun sebutannya efeknya tidak baik untuk saya dan orang-orang di sekitar.
===
Saya resmi menjadi kurir door-to-door. Tapi saya tidak menjamin paket Anda sampai dalam waktu kurang dari setengah jam. Saya bukan tukang antar pizza. Sayapun tidak menjamin waktu yang leluasa untuk Anda. Itu juga tidak dijamin oleh tukang antar barang profesional, bahkan kantor pos pemerintah. Setahu saya, kalau saya mendapatkan kiriman barang, tukang pos atau jasa pengirimnya akan menelpon saya dan memberitahukan kalau ada paket. Jika ingin diantar sampai ke tempat saya, maka mereka akan memberi-tahu kapan tepatnya. Sayapun mau tidak mau pulang lebih cepat dan menunggu. Berbeda kalau saya ingin mengambilnya langsung di pusat pengiriman, seperti kantor pos pusat misalnya, waktu tidak menjadi masalah, asalkan masih hari dan jam kerja/ waktu operasional mereka.
Saya hanya kurir, perantara, tidak perlu tahu apa masalahnya, beritahu saya maka saya akan dengan senatiasa mengantarkannya untuk Anda. Oh, dan waktu pengiriman bisa disesuaikan dengan jadwal Anda. Bebas biaya (apapun) loh.
Ah, maafkan hati saya yang kerdil ini, kurang peduli terhadap sekitar, terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Mana tahu kalau ada saudara yang sakit dan yang membutuhkan bantuan. Saya hanya tukang antar, yang kerjaannya murni mengantarkan barang tanpa tahu problematika di dalamnya. Haha. Butuh imbalan yah? Maaf, maaf, maaf. Saya memang selalu meminta, tidak pernah memberi. Ingat? Saya selalu menjadi 'peserta' pertama yang datang ketika seorang teman membagi-bagi barang, dan jangan salah, saya selalu meminta yang lebih, lebih besar, lebih mahal dan lebih banyak. Maaf, maaf, maaf. Sayapun tidak akan membaginya dengan yang lain. Saya kenal 'Tuan Gubernur' yang terhormat dengan segala kekuasaannya, dan saya akan tetap diam seribu bahasa. Dia adalah 'kunci' saya.
===
Menjelang hari kelahiran, berkurangnya jatah usia saya, juga mendekati Natal dan pergantian tahun, hati saya kalut. Maaf, kalau saya menjadi sinis dan pesimis-> permohonan maaf untuk diri-sendiri :)
===
Saya resmi menjadi kurir door-to-door. Tapi saya tidak menjamin paket Anda sampai dalam waktu kurang dari setengah jam. Saya bukan tukang antar pizza. Sayapun tidak menjamin waktu yang leluasa untuk Anda. Itu juga tidak dijamin oleh tukang antar barang profesional, bahkan kantor pos pemerintah. Setahu saya, kalau saya mendapatkan kiriman barang, tukang pos atau jasa pengirimnya akan menelpon saya dan memberitahukan kalau ada paket. Jika ingin diantar sampai ke tempat saya, maka mereka akan memberi-tahu kapan tepatnya. Sayapun mau tidak mau pulang lebih cepat dan menunggu. Berbeda kalau saya ingin mengambilnya langsung di pusat pengiriman, seperti kantor pos pusat misalnya, waktu tidak menjadi masalah, asalkan masih hari dan jam kerja/ waktu operasional mereka.
Saya hanya kurir, perantara, tidak perlu tahu apa masalahnya, beritahu saya maka saya akan dengan senatiasa mengantarkannya untuk Anda. Oh, dan waktu pengiriman bisa disesuaikan dengan jadwal Anda. Bebas biaya (apapun) loh.
Ah, maafkan hati saya yang kerdil ini, kurang peduli terhadap sekitar, terlalu sibuk dengan urusannya sendiri. Mana tahu kalau ada saudara yang sakit dan yang membutuhkan bantuan. Saya hanya tukang antar, yang kerjaannya murni mengantarkan barang tanpa tahu problematika di dalamnya. Haha. Butuh imbalan yah? Maaf, maaf, maaf. Saya memang selalu meminta, tidak pernah memberi. Ingat? Saya selalu menjadi 'peserta' pertama yang datang ketika seorang teman membagi-bagi barang, dan jangan salah, saya selalu meminta yang lebih, lebih besar, lebih mahal dan lebih banyak. Maaf, maaf, maaf. Sayapun tidak akan membaginya dengan yang lain. Saya kenal 'Tuan Gubernur' yang terhormat dengan segala kekuasaannya, dan saya akan tetap diam seribu bahasa. Dia adalah 'kunci' saya.
===
Menjelang hari kelahiran, berkurangnya jatah usia saya, juga mendekati Natal dan pergantian tahun, hati saya kalut. Maaf, kalau saya menjadi sinis dan pesimis-> permohonan maaf untuk diri-sendiri :)
Minggu, 06 Desember 2009
Vampire
Sepertinya saya perlu meng'update' pemikiran saya, yang ada di dalam pikiran saya sekarang adalah, dia seharusnya sudah berumur. Semua orang berumurlah Dev. Terhitung sejak dia dilahirkan ke dunia. Maksudnya adalah dia seseorang yang dewasa. Kamu? Iya yah, saya juga sudah dewasa. Kadang saya perlu diingatkan bahwa saya bukan anak berumur dua belas tahun lagi. Dia? Tampaknya sebaya dengan saya, mungkin dua atau tiga tahun di bawah saya. Haruskah dia berpakaian minim? Spaghetti straps camisole dikombinasikan dengan micro mini skirt, ditambah untaian kalung besar-besar yang melingkari lehernya dan jatuh tepat di belahan payudaranya. Ada yang salah? Engga sih biasa aja. Walaupun setengah bagian payudaranya menyembul keluar? Itu juga biasa. Kamu lihat di mana sih Dev? Di bagian 'People You May Know' nya Facebook. Beberapa kali 'payudara menyembul' itu muncul di sana. Argh, beberapa kali pula saya mengurungkan niat untuk meng'add' nya menjadi teman saya. Tertarik? Ehem, dari segi seni dan kesehatan, saya tertarik. Penasaran juga sih. Haha. Jelas itu seni, seni menahan payudara agar hanya setengah bagian yang menyembul, alias ga bablas keluar semua. Kalau itu mah porno, saru. Kalau dari sisi kesehatan, jelas itu sehat, mulus, padat, dan terpelihara. Makanya saya jadi penasaran, apa sih tips dan triknya?
Baru beberapa hari ini saya menemukan salah satu 'saudara jauh' saya juga di situs itu. Saya baru tahu kalau ternyata dia aktif di Facebook sudah sejak lama. Ada yang menarik di sana. Selain menemukan sisi kepribadiannya yang lain, selama yang saya tahu dia itu pendiam dan cenderung kaku. Namun, siapa sangka Facebook bisa mengubah kepribadian seseorang. Rata-rata temannya adalah wanita. Wajar sih, anaknya lumayan 'ganteng', anak orang kaya pula. Tapi yang amat sangat menarik buat saya adalah: si DADA itu ada di sana! Maksudnya? Yah itu, perempuan dengan spaghetti straps camisole dan micro mini skirt dari 'People You May Know'. Dia ada di sana, menuliskan banyak komentar di wall saudara jauh saya dan men'tag' banyak foto. Hua.
Saudara jauh saya (SJS): Dingin nih...
Dada: Mau aku 'angetin' say?
SJS: Laper...
Dada: You can bite and eat me, coz you are my 'Edward Cullen' ;)
SJS: Udah ah, ngantuk nih. Nite-nite all.
Dada: Sini bobo sama aku.
HUA! Jadi deg-degan. Loh? Tenang saya normal kok. Saya jadi merasa tertinggal jauh, baru sebatas tulisan-tulisan di wall Facebook saja sudah membuat saya deg-degan. Deg-degan khawatir dan ngeri. Btw, foto-fotonya si Dada, memang benar-benar berisi dada, paha, bibir sensual, dan pose-pose menggoda. Mantab yah, betapa kuper dan naifnya saya.
Baru beberapa hari ini saya menemukan salah satu 'saudara jauh' saya juga di situs itu. Saya baru tahu kalau ternyata dia aktif di Facebook sudah sejak lama. Ada yang menarik di sana. Selain menemukan sisi kepribadiannya yang lain, selama yang saya tahu dia itu pendiam dan cenderung kaku. Namun, siapa sangka Facebook bisa mengubah kepribadian seseorang. Rata-rata temannya adalah wanita. Wajar sih, anaknya lumayan 'ganteng', anak orang kaya pula. Tapi yang amat sangat menarik buat saya adalah: si DADA itu ada di sana! Maksudnya? Yah itu, perempuan dengan spaghetti straps camisole dan micro mini skirt dari 'People You May Know'. Dia ada di sana, menuliskan banyak komentar di wall saudara jauh saya dan men'tag' banyak foto. Hua.
Saudara jauh saya (SJS): Dingin nih...
Dada: Mau aku 'angetin' say?
SJS: Laper...
Dada: You can bite and eat me, coz you are my 'Edward Cullen' ;)
SJS: Udah ah, ngantuk nih. Nite-nite all.
Dada: Sini bobo sama aku.
HUA! Jadi deg-degan. Loh? Tenang saya normal kok. Saya jadi merasa tertinggal jauh, baru sebatas tulisan-tulisan di wall Facebook saja sudah membuat saya deg-degan. Deg-degan khawatir dan ngeri. Btw, foto-fotonya si Dada, memang benar-benar berisi dada, paha, bibir sensual, dan pose-pose menggoda. Mantab yah, betapa kuper dan naifnya saya.
Sabtu, 05 Desember 2009
Saturday
Bukan, bukannya saya tidak menyukai hari Sabtu, sebagaimana (banyak) orang tidak suka dengan hari Senin. Saya malah lebih suka Senin, fresh, habis berlibur dan masih penuh semangat. Namun, Sabtu biasanya saya lebih memilih diam di kamar menjalani ritual tidur seharian, memuaskan diri menonton film, atau sekedar mendengarkan musik sambil membaca dan menulis. Kalaupun terpaksa keluar, biasanya hanya sekedar membeli makanan dan minum.
Hari Sabtu identik dengan 'the lowest energy (and mood) level' for me. Jadinya? Kemungkinan saya murka pada hari ini sangatlah mungkin. Biasanya setelah murka perasaan saya menjadi tidak enak, gundah gulana. Berakhirlah seharian saya dengan perasaan tidak nyaman, dan ini berakibat buruk untuk sistem koordinasi tubuh saya. Haha. Ada yah? Ada lah. Hari ini saya berkali-kali menjatuhkan/ menyenggol barang-barang di sekitar saya. Untungnya kejadiannya di kamar. Jadi tidak ada korban jiwa, kecuali saya sendiri. Celana yang terciprati makanan, sendal kamar yang terkena minyak, lantai kamar yang basah, dll.
Kapan yah saya bisa memasukkan foto ke dalam blog ini lagi?
Hari Sabtu identik dengan 'the lowest energy (and mood) level' for me. Jadinya? Kemungkinan saya murka pada hari ini sangatlah mungkin. Biasanya setelah murka perasaan saya menjadi tidak enak, gundah gulana. Berakhirlah seharian saya dengan perasaan tidak nyaman, dan ini berakibat buruk untuk sistem koordinasi tubuh saya. Haha. Ada yah? Ada lah. Hari ini saya berkali-kali menjatuhkan/ menyenggol barang-barang di sekitar saya. Untungnya kejadiannya di kamar. Jadi tidak ada korban jiwa, kecuali saya sendiri. Celana yang terciprati makanan, sendal kamar yang terkena minyak, lantai kamar yang basah, dll.
Kapan yah saya bisa memasukkan foto ke dalam blog ini lagi?
Selasa, 01 Desember 2009
Temptation
Mari kita (khususnya saya) awali bulan Desember ini dengan semangat. Suatu kejadian yang tiba-tiba menggugah rasa semangat saya, excited. Namun, sayangnya tidak boleh dipikirkan lebih lanjut. Godaan. Saya tidak siap dengan ganjarannya. Resiko. Tanggung jawab. Bahkan karma.
Sendiri membuat saya berpikir aneh-aneh. Jangan tergoda Dev. Kamu tega untuk menyakiti dua hati anak manusia, yang juga temanmu? Sebenarnya mudah saja, ketertarikannya sudah sangat terasa, cemburunya sudah menusuk. Bukankah tinggal 'menyebrang', menjamah dan memulainya? Maka dimulailah semua konflik baru yang penuh intrik dan sakit hati. Deuh, skenario favorit saya. Tapi jangan Dev. Jangan yah. Anggap saja dirimu yang terlalu berbesar kepala dengan segala kunjungan dan pujian, di depan dan di belakang sang kekasih. Mungkin memang dia bosan dan butuh selingan, tapi jangan jadikan saya selingan yah mas. Masih banyak kerjaan yang belum selesai nih. Haha.
Sendiri membuat saya berpikir aneh-aneh. Jangan tergoda Dev. Kamu tega untuk menyakiti dua hati anak manusia, yang juga temanmu? Sebenarnya mudah saja, ketertarikannya sudah sangat terasa, cemburunya sudah menusuk. Bukankah tinggal 'menyebrang', menjamah dan memulainya? Maka dimulailah semua konflik baru yang penuh intrik dan sakit hati. Deuh, skenario favorit saya. Tapi jangan Dev. Jangan yah. Anggap saja dirimu yang terlalu berbesar kepala dengan segala kunjungan dan pujian, di depan dan di belakang sang kekasih. Mungkin memang dia bosan dan butuh selingan, tapi jangan jadikan saya selingan yah mas. Masih banyak kerjaan yang belum selesai nih. Haha.
Minggu, 29 November 2009
Back To The Past (Terlena)
Again, they asked me to forget about the past. I'm moving backward, not forward. There is nothing about future inside my brain. Of course, no one can see the future. They are abstracts or maybe absurd.
“Let see the cards. What they said about the past?” One of my favorite fortune teller tried to foresee my past. She always tells me about the good things and actually she is my aunt. How about the bad things? She always says: Don't worry, it's just a little bump, if you tried harder, it will pass. But be careful, pay more attention to people around you.
“Nak, why the past still hanging around in your mind? Aunty don't like it. It will block your future nak.” With her sad-looking-grumpy-face, she gazed at me. I pretended to observe the cards arrangement seriously, but still they're just poker cards.
“But Aunt, until now, I don't know about the past, that you just mentioned it. Is it a human, people, some kinds of act, or what?” She already told me about this-past-thing twice.
That was six months ago, until this day, 'the past' thing(s) remain unclear.
Somehow, I think it's a person. A man from the past. He who taught me about the good and the bad. He had been my courage, in the mean time he also became my source of fearness. He is a devil also an angel. Why God created evil in such a nice (good looking and charming)form? Why? Ergh. But I don't think he is. It has been five years, we never contacted each other. Suddenly, a week ago, I met him. Haha. I'm so curious about him. But then, I decided 'the past' is not him.
Ouh, maybe 'the past' was just my good old days back there. Of course, I will remember it. Is it bad?
“Let see the cards. What they said about the past?” One of my favorite fortune teller tried to foresee my past. She always tells me about the good things and actually she is my aunt. How about the bad things? She always says: Don't worry, it's just a little bump, if you tried harder, it will pass. But be careful, pay more attention to people around you.
“Nak, why the past still hanging around in your mind? Aunty don't like it. It will block your future nak.” With her sad-looking-grumpy-face, she gazed at me. I pretended to observe the cards arrangement seriously, but still they're just poker cards.
“But Aunt, until now, I don't know about the past, that you just mentioned it. Is it a human, people, some kinds of act, or what?” She already told me about this-past-thing twice.
That was six months ago, until this day, 'the past' thing(s) remain unclear.
Somehow, I think it's a person. A man from the past. He who taught me about the good and the bad. He had been my courage, in the mean time he also became my source of fearness. He is a devil also an angel. Why God created evil in such a nice (good looking and charming)form? Why? Ergh. But I don't think he is. It has been five years, we never contacted each other. Suddenly, a week ago, I met him. Haha. I'm so curious about him. But then, I decided 'the past' is not him.
Ouh, maybe 'the past' was just my good old days back there. Of course, I will remember it. Is it bad?
Kamis, 26 November 2009
Sabtu, 21 November 2009
Berpikir (Keras)
Mengapa saya mengulang-ulang cerita lama, cerita-cerita yang sudah berlalu bukannya kisah di masa sekarang?
Saya takut suatu saat, saya akan lupa dengan semua itu. Saya suka detail, saya suka perincian, hal-hal kecil, emosi dan rasa. Saya takut semua itu akan hilang.
Bukannya tiba-tiba saya merasa takut, tanpa alasan. Bukan juga karena hebohnya pemberitaan tentang kiamat atau akhir jaman.
T1: “Dev, kita pernah ga sih ngasih video rekaman ke Aisa?”
De: “Video rekaman? Buat?”
T2: “Kado ulang tahunnya dia lah. Kalo ga salah tahun terakhir kita di Nanning deh.”
De: “Tahun terakhir?”
T2: “Iyah, yang pas elo lari-lari ngasih ke dia, sebelom dia naik taksi ke bandara, di deket gerbang a yi.”
De: “Gue? Ngasih ke dia?”
T1: “Iyah Dev! Kita kan barengan nganter Aisa, elo lari-lari ngasihin video tape nya ke Aisa. Blom sempet elo edit, soalnya elo ngerekam sampai saat itu, saat rame-rame kita nganter Aisa.”
De: “Loh, bukannya itu Tulus?”
T2: “Tulus mah awal-awal, dia emang pernah pinjem videonya buat ngerekam yang bagian kesan-pesannya.”
De: “Iyah kan, itu Tulus?”
T1: “Bukan non. Itu elo, videonya kan punya loe. Saat-saat terakhir yah dikembaliin ke elo lah.”
Benar-benar saya lupa semua itu. Bukankah semestinya kejadian cukup berarti buat saya? Setelah lima tahun bersama-sama, siang dan malam, saat-saat terakhir semestinya cukup melekat dalam ingatan saya? Saya sempat bertanya-tanya, apakah benar saya ada di sana, menyaksikan dan mengantarkan teman saya itu? Apakah iya kalau saya ikut duduk-duduk dan menunggu teman saya itu? Beberapa frame kejadian mulai saya ingat perlahan-lahan. Namun, tetap saja, semuanya masih blur, masih bayang-bayang. Aisa. Sahabat saya. Kamarnya. Saya sempat mengunjungi kamarnya, sebelum dia turun dan berangkat. Koper-kopernya. Apakah pada saat itu saya membawa video dan merekam kejadan-kejadian itu? Sepertinya saya ikut membantu mendorong kopernya, membawa beberapa barangnya, mengangkatnya ke dalam bagasi taksi dan... Sepertinya...
Saya takut suatu saat, saya akan lupa dengan semua itu. Saya suka detail, saya suka perincian, hal-hal kecil, emosi dan rasa. Saya takut semua itu akan hilang.
Bukannya tiba-tiba saya merasa takut, tanpa alasan. Bukan juga karena hebohnya pemberitaan tentang kiamat atau akhir jaman.
T1: “Dev, kita pernah ga sih ngasih video rekaman ke Aisa?”
De: “Video rekaman? Buat?”
T2: “Kado ulang tahunnya dia lah. Kalo ga salah tahun terakhir kita di Nanning deh.”
De: “Tahun terakhir?”
T2: “Iyah, yang pas elo lari-lari ngasih ke dia, sebelom dia naik taksi ke bandara, di deket gerbang a yi.”
De: “Gue? Ngasih ke dia?”
T1: “Iyah Dev! Kita kan barengan nganter Aisa, elo lari-lari ngasihin video tape nya ke Aisa. Blom sempet elo edit, soalnya elo ngerekam sampai saat itu, saat rame-rame kita nganter Aisa.”
De: “Loh, bukannya itu Tulus?”
T2: “Tulus mah awal-awal, dia emang pernah pinjem videonya buat ngerekam yang bagian kesan-pesannya.”
De: “Iyah kan, itu Tulus?”
T1: “Bukan non. Itu elo, videonya kan punya loe. Saat-saat terakhir yah dikembaliin ke elo lah.”
Benar-benar saya lupa semua itu. Bukankah semestinya kejadian cukup berarti buat saya? Setelah lima tahun bersama-sama, siang dan malam, saat-saat terakhir semestinya cukup melekat dalam ingatan saya? Saya sempat bertanya-tanya, apakah benar saya ada di sana, menyaksikan dan mengantarkan teman saya itu? Apakah iya kalau saya ikut duduk-duduk dan menunggu teman saya itu? Beberapa frame kejadian mulai saya ingat perlahan-lahan. Namun, tetap saja, semuanya masih blur, masih bayang-bayang. Aisa. Sahabat saya. Kamarnya. Saya sempat mengunjungi kamarnya, sebelum dia turun dan berangkat. Koper-kopernya. Apakah pada saat itu saya membawa video dan merekam kejadan-kejadian itu? Sepertinya saya ikut membantu mendorong kopernya, membawa beberapa barangnya, mengangkatnya ke dalam bagasi taksi dan... Sepertinya...
Senin, 16 November 2009
Selasa, 10 November 2009
(Belum Mau) Menyerah
Untuk selanjutnya saya 'punya' guru musik baru. Kali ini benar-benar seorang bapak-bapak. Bapak Silaban namanya. Sesuai namanya, orangnya juga 'batak' sekali, tegas, straight to the point. Datang ke rumah, siapkan alat-alat, mainkan musiknya, selesai, pulang. Tanpa ada sesi bincang-bincang. Suaranya pun menggelegar dan aksen 'batak' nya sangatlah kental. Mungkin pilihan genre musiknya juga seputaran 'march'. Eits, jangan salah. Lagu favorite si Bapak adalah 'My Way', yang sering dimainkan setelah sesi mengajarnya selesai. Suara saxophone si Bapak mengalun lembut, bergema dalam keheningan malam, di seputaran halaman rumah saya. Biasanya tetangga di sekitar rumah ikut bermunculan di teras lantai dua mereka. Pastinya bukan karena berisik dan terganggu. Maklum, kalau si Bapak main pintu rumahnya dibiarkan terbuka. Kalau saya yang latihan, dengan tahu malu, saya akan menutup pintu dan jendela. Kasihan para tetangga yang mendengar. Tet. Tot. Tet. Tot. Sumbang.
Mungkin setelah 2-3 bulan saya les bersama Pak Silaban, si Bapak mulai senang bercerita. Ternyata dia bukan orang yang keras dan kaku. Si Bapak satu ini suka sekali musik 'indah' dan romantis, old songs dan tentu saja Jazz (tapi yang slow). Samalah sama saya. Satu sesi pertemuan, hitungannya per 1.5 jam. Tapi kalau lagi seru, si Bapak biasanya memberikan 'bonus' 1 jam. Seram kalau sudah seperti ini, bibir dan pipi saya pegal, kebal, kebas-mati rasa, dan yang paling mengerikan adalah keesokan harinya bibir saya perih dan bengkak. Haha. Biasanya juga, setelah selesai les, menunggu saya membersihkan dan menyimpan 'perkakas' si Bapak tetap duduk-manis sambil menikmati kopinya. Tidak seperti awal-awal, selesai, langsung pulang. Sekembalinya saya menyimpan alat, dia akan minta tambah kopi dan biasanya kita ngobrol sebentar.
Kalau tidak salah, 2.5 tahun berlalu, dan dia tetap menjadi guru musik saya, sampai pertengahan kelas 3 SMA, karena saya harus mempersiapkan diri untuk ujian SPMB dan lain sebagainya. Atau malah akhir kelas 3 yah, ketika saya harus berangkat ke China? Haha. Waktu memang luar biasa. Perpisahan dengan si Bapak cukup mengharukan. Mata si Bapak pun sampai berkaca-kaca, ketika kita menyudahi sesi terakhir. Si Bapak berpesan “Kamu pasti bisa. Apapun itu, kamu pasti bisa menghadapinya” diucapkan dengan aksen 'batak' nya. Saya jadi teringat ketika pertama kali saya belajar saxophone bersama dia. Dua sesi (2x1.5 jam) dihabiskan untuk sekedar mengeluarkan suara saxophone saya, bukan angin. Puff. Puff. Si Bapak selalu menyemangati “Pasti bisa! Coba lagi.” Pesan 'terakhir' si Bapak kepada saya juga mirip-mirip “Saya yakin kamu pasti berhasil dan jadi orang hebat. Apapun yang kamu kerjakan, kerjakan dengan keyakinan. Untuk kamu semua pasti lancar. Kalau sudah jadi orang hebat, jangan lupa sama bapak. Jangan lupa sama saxophone, sering-sering lah latihan, biar ga lupa.” Amien Pak! Saya pasti berjuang. Tapi yah itu Pak, untuk saxophonenya, saya (benar-benar) lupa Pak. Tapi kalau sekedar membunyikan saya masih bisa kok Pak :)
Mungkin setelah 2-3 bulan saya les bersama Pak Silaban, si Bapak mulai senang bercerita. Ternyata dia bukan orang yang keras dan kaku. Si Bapak satu ini suka sekali musik 'indah' dan romantis, old songs dan tentu saja Jazz (tapi yang slow). Samalah sama saya. Satu sesi pertemuan, hitungannya per 1.5 jam. Tapi kalau lagi seru, si Bapak biasanya memberikan 'bonus' 1 jam. Seram kalau sudah seperti ini, bibir dan pipi saya pegal, kebal, kebas-mati rasa, dan yang paling mengerikan adalah keesokan harinya bibir saya perih dan bengkak. Haha. Biasanya juga, setelah selesai les, menunggu saya membersihkan dan menyimpan 'perkakas' si Bapak tetap duduk-manis sambil menikmati kopinya. Tidak seperti awal-awal, selesai, langsung pulang. Sekembalinya saya menyimpan alat, dia akan minta tambah kopi dan biasanya kita ngobrol sebentar.
Kalau tidak salah, 2.5 tahun berlalu, dan dia tetap menjadi guru musik saya, sampai pertengahan kelas 3 SMA, karena saya harus mempersiapkan diri untuk ujian SPMB dan lain sebagainya. Atau malah akhir kelas 3 yah, ketika saya harus berangkat ke China? Haha. Waktu memang luar biasa. Perpisahan dengan si Bapak cukup mengharukan. Mata si Bapak pun sampai berkaca-kaca, ketika kita menyudahi sesi terakhir. Si Bapak berpesan “Kamu pasti bisa. Apapun itu, kamu pasti bisa menghadapinya” diucapkan dengan aksen 'batak' nya. Saya jadi teringat ketika pertama kali saya belajar saxophone bersama dia. Dua sesi (2x1.5 jam) dihabiskan untuk sekedar mengeluarkan suara saxophone saya, bukan angin. Puff. Puff. Si Bapak selalu menyemangati “Pasti bisa! Coba lagi.” Pesan 'terakhir' si Bapak kepada saya juga mirip-mirip “Saya yakin kamu pasti berhasil dan jadi orang hebat. Apapun yang kamu kerjakan, kerjakan dengan keyakinan. Untuk kamu semua pasti lancar. Kalau sudah jadi orang hebat, jangan lupa sama bapak. Jangan lupa sama saxophone, sering-sering lah latihan, biar ga lupa.” Amien Pak! Saya pasti berjuang. Tapi yah itu Pak, untuk saxophonenya, saya (benar-benar) lupa Pak. Tapi kalau sekedar membunyikan saya masih bisa kok Pak :)
Senin, 09 November 2009
Minggu, 08 November 2009
Menyerah 2
Ada sisi kosong di tengahnya, tumpukan kertas menutupi sebuah benda di bagian tengahnya, dan ternyata tidak sepenuh yang saya kira. Iseng, saya ambil benda itu. Wow. Itu 'bong'! Dari mana saya bisa tahu kalau itu 'bong', yang jelas selama itu (masa dari saya lahir sampai detik itu) saya belum pernah melihat langsung dan menyentuh langsung benda tersebut. That was my first experience with bong. Haha. Saya tahunya yah dari tayangan televisi, film dan lain sebagainya. Segera saya letakan kembali ke dalam lemari, menutupinya kembali dengan kertas-kertas. Takut-takut saya menemukan benda aneh lainnya, suntikan kek, pil-pil anehlah. Keringat dingin mengucur. Serem, jangan-jangan nanti saya dipaksa ikutan 'party' nya si Bapak. Saya harus segera pulang ini. Kriet. Upss.
Bertepatan dengan tertutupnya lemari kaca itu, wajah si Bapak muncul dari arah tangga, dan sepertinya dia mendengar suara 'kriet' tadi. Deg-deg. Si Bapak berjalan dalam diam menghampiri saya, dan diletakannya nampan beserta dua gelas jus jeruk di lantai, di hadapan saya. Si Bapak pun ikutan duduk di lantai, di sebelah saya. “Minum Dev” disodorkannya sebuah gelas. Bimbang. Minum engga, minum engga. “Tenang, ga ada apa-apanya kok. Cuma aer jeruk. Kalo ga percaya tanya aja si mbak di bawah.” Ups, ternyata keraguan saya cukup nyata dan terbaca oleh si Bapak. Kepada DIA saya berserah. Gluk, gluk. Pusingkah saya? Melayangkah saya? Ternyata tidak. Fiuh.
“Dev, aku tau. Kamu tadi sempet liat kan?” Duh, si Bapak ini becanda yah, bukan cuma liat Pak, saya juga sempet pegang-pegang dan mengamati 'mainan' Bapak itu. Saya mengangguk pasrah. Berbohong tidak akan menyelesaikan masalah, dan pada saat itu saya tegang, dan tidak mungkin mengarang alasan. “Dulu aku kaya kamu, dari sd sampe sma selalu ranking dan juara. Anak baik-baiklah.” Ternyata si Bapak mulai berkisah. Duduk bersandar pada dinding dan tatapannya tampak kosong menatap langit-langit. Saya hanya diam mendengarkan, sambil tetap memegang gelas berisikan jus jeruk. “Pas kuliah, aku mulai bosan Dev. Tampaknya semua sia-sia. Buat apa sih ranking-rankingan, buat apa sih serius belajar. Ga ada ujungnya dan ga ada gunanya.” Si Bapak masih menatap kosong langit-langit, kedua kakinya diselonjorkan. Saya tetap diam. Tiba-tiba si Bapak menatap saya “Dev, kamu juga jangan kaya aku yah. Terperangkap.” Saya pikir dia akan 'mulai' membahas keterperangkapannya di dalam dunia NARKOBA. Ternyata saya salah. “Kamu juga jangan terus-terusan belajar. Percuma. Akhirnya akan sama.” Tangan si Bapak menepis udara kosong di hadapannya dan dia menggelengkan kepalanya. Hah?! Saya cuma bisa tersenyum kecut mendengarnya “Pak, masalahnya sekarang saya masih belum tau, akhirnya saya di mana. Saya masih mau kok belajar, dan itu juga bukan paksaan buat saya. Saya justru belum mau melepaskan apa yang sedang saya perjuangkan sekarang. Jadi sekarang saya mau pulang Pak.” Saya berdiri dan berjalan ke arah tangga. Pulang.
Bertepatan dengan tertutupnya lemari kaca itu, wajah si Bapak muncul dari arah tangga, dan sepertinya dia mendengar suara 'kriet' tadi. Deg-deg. Si Bapak berjalan dalam diam menghampiri saya, dan diletakannya nampan beserta dua gelas jus jeruk di lantai, di hadapan saya. Si Bapak pun ikutan duduk di lantai, di sebelah saya. “Minum Dev” disodorkannya sebuah gelas. Bimbang. Minum engga, minum engga. “Tenang, ga ada apa-apanya kok. Cuma aer jeruk. Kalo ga percaya tanya aja si mbak di bawah.” Ups, ternyata keraguan saya cukup nyata dan terbaca oleh si Bapak. Kepada DIA saya berserah. Gluk, gluk. Pusingkah saya? Melayangkah saya? Ternyata tidak. Fiuh.
“Dev, aku tau. Kamu tadi sempet liat kan?” Duh, si Bapak ini becanda yah, bukan cuma liat Pak, saya juga sempet pegang-pegang dan mengamati 'mainan' Bapak itu. Saya mengangguk pasrah. Berbohong tidak akan menyelesaikan masalah, dan pada saat itu saya tegang, dan tidak mungkin mengarang alasan. “Dulu aku kaya kamu, dari sd sampe sma selalu ranking dan juara. Anak baik-baiklah.” Ternyata si Bapak mulai berkisah. Duduk bersandar pada dinding dan tatapannya tampak kosong menatap langit-langit. Saya hanya diam mendengarkan, sambil tetap memegang gelas berisikan jus jeruk. “Pas kuliah, aku mulai bosan Dev. Tampaknya semua sia-sia. Buat apa sih ranking-rankingan, buat apa sih serius belajar. Ga ada ujungnya dan ga ada gunanya.” Si Bapak masih menatap kosong langit-langit, kedua kakinya diselonjorkan. Saya tetap diam. Tiba-tiba si Bapak menatap saya “Dev, kamu juga jangan kaya aku yah. Terperangkap.” Saya pikir dia akan 'mulai' membahas keterperangkapannya di dalam dunia NARKOBA. Ternyata saya salah. “Kamu juga jangan terus-terusan belajar. Percuma. Akhirnya akan sama.” Tangan si Bapak menepis udara kosong di hadapannya dan dia menggelengkan kepalanya. Hah?! Saya cuma bisa tersenyum kecut mendengarnya “Pak, masalahnya sekarang saya masih belum tau, akhirnya saya di mana. Saya masih mau kok belajar, dan itu juga bukan paksaan buat saya. Saya justru belum mau melepaskan apa yang sedang saya perjuangkan sekarang. Jadi sekarang saya mau pulang Pak.” Saya berdiri dan berjalan ke arah tangga. Pulang.
Menyerah 1
Mungkin hanya orang lain yang bisa melihatnya, kita sendiri yah menganggapnya biasa saja. Waktu. Dia pernah bilang “Kalau kamu sudah kerja nanti, coba, bisa ga gaji kamu ngalahin gajiku.” Waktu juga yang membuat saya lupa, berapa yah jumlah gajinya waktu itu, 5-10 juta kah atau malah 10-15 juta? Pastinya itu jumlah yang besar, bahkan untuk periode sekarang ini. Sayangnya, sampai sekarang saya belum juga bekerja, masih tergantung orang tua. Oh, saya bukan pengangguran, saya masih betah kuliah. Haha. “Kapan kamu nyari uangnya, kalau kerjaan kamu sekolah terus” si Mama pun sampai gemas. Maaf Mama.
Dulu ketika saya masih SMA, saya pernah 'punya' guru musik. Dia juga mengajar adik-adik saya, di rumah. Penampilannya tipikal seniman sejati, rambutnya gondrong sebahu, kukunya panjang (terawat) dan kurus. Usianya mungkin sekitar 25 an pada saat itu. Di suatu kesempatan, dia ingin meperlihatkan studio mininya kepada saya. Seingat saya, studio musiknya itu terletak di loteng paling atas rumahnya. Begitu saya sampai di rumahnya, saya disambut ibunya (dengan tatapan aneh, tanpa senyum, dan tanpa berkata apa-apa) yang membukakan pintu. “Sebentar yah Dev, ambil kuncinya dulu” si Bapak masuk ke dalam rumah. Ibunya tetap diam dan tidak mempersilahkan saya masuk. Saya berdiri dengan canggung di serambi depan rumahnya, Ibunya masuk dan kembali duduk di sofa (mungkin) ruang tamu, yang berhadapan langsung dengan saya. Saya berusaha senyum. Si Ibu malah sengaja menunduk, melanjutkan membaca tabloidnya. Untungnya si Bapak datang. “Yuk, naik ke atas.” Ternyata tangga naiknya berada di samping rumahnya, sehingga kita tidak perlu masuk ke dalam rumah.
Studionya bersih, terang, dan seingat saya bernuansa kuning-cokelat-kayu (apa waktu yang membuat saya mengingatnya seperti itu). Di dalamnya terdapat keyboard, drum, amplifier, beberapa gitar, dan kotak-kotak hitam. Lantainya beralaskan karpet 'musholla' berwarna cokelat. Ruangannya tidak terlalu besar, kira-kira 4x5 meter persegi. Selain alat-alat musik tadi masih ada dua buah bantal duduk, dan satu buah lemari kaca setinggi dengkul (saya) yang diletakan di sudut ruangan. Cerita selanjutnya adalah dia mulai mendemokan kemahirannya bermain musik. Sekitar satu jam berlalu dan si Bapak 'pamit' turun sebentar mengambilkan minum. Ah, ternyata masih ada jiwa kemanusiaannya, selain jiwa seninya. Haha. Selama si Bapak turun, saya melihat-lihat sekeliling ruangan kecil itu. Mata saya tertumbuk pada lemari kaca di sudut ruangan. Di dalamnya terdapat tumpukan kertas-kertas partitur, majalah, dan tampak tidak tertata. Lemari kecil itu sedikit terbuka. Penasaran saya melihat-lihat tumpukan partitur tadi, sebagian ada yang menutup sisi luar lemari kaca tadi, sehingga tampak penuh. Sedangkan sisi belakang dan satu sisi sampingnya tertutup tembok, sehingga tidak terlihat. Ketika saya buka. Kriet. Upss.
Dulu ketika saya masih SMA, saya pernah 'punya' guru musik. Dia juga mengajar adik-adik saya, di rumah. Penampilannya tipikal seniman sejati, rambutnya gondrong sebahu, kukunya panjang (terawat) dan kurus. Usianya mungkin sekitar 25 an pada saat itu. Di suatu kesempatan, dia ingin meperlihatkan studio mininya kepada saya. Seingat saya, studio musiknya itu terletak di loteng paling atas rumahnya. Begitu saya sampai di rumahnya, saya disambut ibunya (dengan tatapan aneh, tanpa senyum, dan tanpa berkata apa-apa) yang membukakan pintu. “Sebentar yah Dev, ambil kuncinya dulu” si Bapak masuk ke dalam rumah. Ibunya tetap diam dan tidak mempersilahkan saya masuk. Saya berdiri dengan canggung di serambi depan rumahnya, Ibunya masuk dan kembali duduk di sofa (mungkin) ruang tamu, yang berhadapan langsung dengan saya. Saya berusaha senyum. Si Ibu malah sengaja menunduk, melanjutkan membaca tabloidnya. Untungnya si Bapak datang. “Yuk, naik ke atas.” Ternyata tangga naiknya berada di samping rumahnya, sehingga kita tidak perlu masuk ke dalam rumah.
Studionya bersih, terang, dan seingat saya bernuansa kuning-cokelat-kayu (apa waktu yang membuat saya mengingatnya seperti itu). Di dalamnya terdapat keyboard, drum, amplifier, beberapa gitar, dan kotak-kotak hitam. Lantainya beralaskan karpet 'musholla' berwarna cokelat. Ruangannya tidak terlalu besar, kira-kira 4x5 meter persegi. Selain alat-alat musik tadi masih ada dua buah bantal duduk, dan satu buah lemari kaca setinggi dengkul (saya) yang diletakan di sudut ruangan. Cerita selanjutnya adalah dia mulai mendemokan kemahirannya bermain musik. Sekitar satu jam berlalu dan si Bapak 'pamit' turun sebentar mengambilkan minum. Ah, ternyata masih ada jiwa kemanusiaannya, selain jiwa seninya. Haha. Selama si Bapak turun, saya melihat-lihat sekeliling ruangan kecil itu. Mata saya tertumbuk pada lemari kaca di sudut ruangan. Di dalamnya terdapat tumpukan kertas-kertas partitur, majalah, dan tampak tidak tertata. Lemari kecil itu sedikit terbuka. Penasaran saya melihat-lihat tumpukan partitur tadi, sebagian ada yang menutup sisi luar lemari kaca tadi, sehingga tampak penuh. Sedangkan sisi belakang dan satu sisi sampingnya tertutup tembok, sehingga tidak terlihat. Ketika saya buka. Kriet. Upss.
Selasa, 03 November 2009
Unconditional
A: "Kamu butuh apa?"
a: "Saya tidak butuh apa-apa."
A: "Coba dipikir-pikir lagi, kebetulan saya punya banyak barang yang akan dibuang."
a: "Yakin, saya tidak butuh apa-apa."
A: "Bukankah kamu butuh terang?"
a: "Iya, saya butuh terang tapi saya sudah punya."
A: "Tambahkan saja."
a: "Terserah kamulah."
Terang itu tidak saya dapatkan sampai saat ini. Entah apa yang ada di dalam benak A ketika dia menawarkannya kepada saya. Bukan hanya terang, juga arah, dasar, tujuan dan lain sebagainya. Dia hanya sekedar menawarkan, basa-basikah? Kalau memang ingin memberi, berikan saja langsung. Oh, saya lupa A pernah memberikan barang secara langsung kepada saya, tanpa ba-bi-bu, tanpa menunda-nunda dan akhirnya lupa.
A: "Nih, gw udah ga butuh." Disodorkannya sebuah sepeda tanpa roda depan kepada saya. Setahu saya, kota ini tidak memungkinkan kita untuk bersepeda dengan bebas, lalu-lintasnya terlalu ramai, penuh sesak dengan bus-bus besar, selain itu kontur tanahnya juga naik-turun. Apakah saya butuh sepeda?
Oiyah, saya lupa (lagi), A juga pernah memberikan 3 bungkus mie instant dengan cuma-cuma.
A: "Kebanyakan belinya, waktu itu diskon."
a: "Kok ga diabisin aja?"
A: "Engga ah, rasanya aneh. Cobain aja."
Saya pun dengan terpaksa menerima sumbangan mie instant tersebut, sebenarnya saya juga tidak suka dengan mie instant. Ketika 3 bungkus mie instant itu sampai ke tangan saya, sontak saya bersin. Debu-debu itu menari-nari di depan mata saya. Saya perhatikan baik-baik bagian belakang kemasan mie instant tersebut. Argh. Apalah artinya 6 bulan lewat dari masa kadaluarsa mie instant dengan rasa aneh ini, apakah bisa menambahkan keanehan rasanya?
a: "Saya tidak butuh apa-apa."
A: "Coba dipikir-pikir lagi, kebetulan saya punya banyak barang yang akan dibuang."
a: "Yakin, saya tidak butuh apa-apa."
A: "Bukankah kamu butuh terang?"
a: "Iya, saya butuh terang tapi saya sudah punya."
A: "Tambahkan saja."
a: "Terserah kamulah."
Terang itu tidak saya dapatkan sampai saat ini. Entah apa yang ada di dalam benak A ketika dia menawarkannya kepada saya. Bukan hanya terang, juga arah, dasar, tujuan dan lain sebagainya. Dia hanya sekedar menawarkan, basa-basikah? Kalau memang ingin memberi, berikan saja langsung. Oh, saya lupa A pernah memberikan barang secara langsung kepada saya, tanpa ba-bi-bu, tanpa menunda-nunda dan akhirnya lupa.
A: "Nih, gw udah ga butuh." Disodorkannya sebuah sepeda tanpa roda depan kepada saya. Setahu saya, kota ini tidak memungkinkan kita untuk bersepeda dengan bebas, lalu-lintasnya terlalu ramai, penuh sesak dengan bus-bus besar, selain itu kontur tanahnya juga naik-turun. Apakah saya butuh sepeda?
Oiyah, saya lupa (lagi), A juga pernah memberikan 3 bungkus mie instant dengan cuma-cuma.
A: "Kebanyakan belinya, waktu itu diskon."
a: "Kok ga diabisin aja?"
A: "Engga ah, rasanya aneh. Cobain aja."
Saya pun dengan terpaksa menerima sumbangan mie instant tersebut, sebenarnya saya juga tidak suka dengan mie instant. Ketika 3 bungkus mie instant itu sampai ke tangan saya, sontak saya bersin. Debu-debu itu menari-nari di depan mata saya. Saya perhatikan baik-baik bagian belakang kemasan mie instant tersebut. Argh. Apalah artinya 6 bulan lewat dari masa kadaluarsa mie instant dengan rasa aneh ini, apakah bisa menambahkan keanehan rasanya?
Senin, 02 November 2009
My World
Ingat, di atas langit masih ada langit. Jangan gegabah dan sombong. Saya tahu kamu pintar tapi belum tentu kamu tahu segalanya. Ketika orang lain berusaha mengutarakan pendapatnya, kau katakan "Nanti dulu!" Dengan gayamu yang khas, tanganmu menepis, mengisyaratkan orang itu untuk diam. Sungguh aneh. Setau saya rasa kopi itu pahit. "Nanti dulu!" Saya tahu karena setiap hari saya minum kopi, bukan kecanduan, saya suka aromanya.
Tuan Puteri, ceritamu keterlaluan. Bukan apa-apa, sumber awal cerita itu yah saya yang menyebarkan. Bisa-bisanya Tuan Puteri mengaku-aku menjadi dia dan berkata-kata seperti dia.
"Berpakaianlah yang rapi dan sopan" begitu Tuan Puteri menitahkan kami (sahabat-sahabatnya yang entah bagaimana dianggapnya sebagai hamba-hambanya).
Seorang sahabat datang dengan gaun yang indah menurut saya (dan sopan). Memang sahabat saya yang satu ini selalu tampil menawan dalam setiap kesempatan. Penampilannya selalu sesuai dengan acara dan kesempatan. Pembawaannya pun anggun dan pandai bergaul, dengar-dengar sejak kecil dia memang sudah 'dilatih' dan dipersiapkan sebagai puteri bangsawan. Entah dia bangsawan atau bukan. Dia tidak menganggap kami, sahabat-sahabatnya sebagai hambanya. Bahkan, kadang dia sama seperti kami, menjadi 'hamba' untuk 'Tuan Puteri'.
"Baju loe ga sopan, harus pakai kemeja berkerah dan rok" Tuan Puteri menudingkan tangannya ke arah sahabat saya. Tadinya saya juga mau mengenakan gaun, sepertinya lebih cocok untuk acara di ballroom hotel mewah seperti sekarang, bukannya di ruangan rapat di kampus. Sahabat saya yang anggun dan bergaun itu pun tidak membantah Tuan Puteri, dia tersenyum dan melangkah masuk ke dalam ballroom. Kami pun menyusul masuk. Pintu terbuka di hadapan kami. Jreng. Kami tampak aneh di sana, kampungan, tidak pada tempatnya.
'Jangan mengaku-ngaku sebagai orang besar di antara orang-orang besar lain. Malu-maluin.'
Tuan Puteri, ceritamu keterlaluan. Bukan apa-apa, sumber awal cerita itu yah saya yang menyebarkan. Bisa-bisanya Tuan Puteri mengaku-aku menjadi dia dan berkata-kata seperti dia.
"Berpakaianlah yang rapi dan sopan" begitu Tuan Puteri menitahkan kami (sahabat-sahabatnya yang entah bagaimana dianggapnya sebagai hamba-hambanya).
Seorang sahabat datang dengan gaun yang indah menurut saya (dan sopan). Memang sahabat saya yang satu ini selalu tampil menawan dalam setiap kesempatan. Penampilannya selalu sesuai dengan acara dan kesempatan. Pembawaannya pun anggun dan pandai bergaul, dengar-dengar sejak kecil dia memang sudah 'dilatih' dan dipersiapkan sebagai puteri bangsawan. Entah dia bangsawan atau bukan. Dia tidak menganggap kami, sahabat-sahabatnya sebagai hambanya. Bahkan, kadang dia sama seperti kami, menjadi 'hamba' untuk 'Tuan Puteri'.
"Baju loe ga sopan, harus pakai kemeja berkerah dan rok" Tuan Puteri menudingkan tangannya ke arah sahabat saya. Tadinya saya juga mau mengenakan gaun, sepertinya lebih cocok untuk acara di ballroom hotel mewah seperti sekarang, bukannya di ruangan rapat di kampus. Sahabat saya yang anggun dan bergaun itu pun tidak membantah Tuan Puteri, dia tersenyum dan melangkah masuk ke dalam ballroom. Kami pun menyusul masuk. Pintu terbuka di hadapan kami. Jreng. Kami tampak aneh di sana, kampungan, tidak pada tempatnya.
'Jangan mengaku-ngaku sebagai orang besar di antara orang-orang besar lain. Malu-maluin.'
Minggu, 06 September 2009
The Moon
Bulan itu. Rembulan yang memberi kekuatan. Di kota besar yang kacau, panas, penuh dengan manusia dan anjing. Ternyata bulan nya masih indah. Bukan saja mataharinya yang besar (dan dekat). Namun, bulan nya bersinar indah dan terang. Tidak terganggu oleh gemerlap cahaya lampu kota di malam hari. Ah, satu kekuatan baru. Satu hal indah yang lumayan (banyak) mengangkat kepenatan.
Senin, 24 Agustus 2009
Senin, 17 Agustus 2009
Lalu
Katanya, lupakan masa lalu. Semuanya harus hilang. Jadikan kenangan. Masa lalu? Pertanyaan yang terus berlanjut. Apa?
Selasa, 21 Juli 2009
Solar Eclipse
There will be a solar eclipse here in Chongqing. Hem, I wish I got something from this unusual phenomenon, like the Heroes members :p
Senin, 20 Juli 2009
Scanner
Ada yang aneh dari mereka. Apa? Mereka menghindari (tatapan) saya. Tatap mata saya.
Dua kali kita berpapasan hari ini, mau tidak mau, karena jadwal kita nyaris sama di hari Minggu kemarin. Gereja dan jalan pulang yang sama.
Apa yang telah mereka perbuat? Haha. Mana saya tahu, mata saya bukan mesin pemindai yang bisa membaca langsung gerak-gerik mereka. Alah, kamu saja yang 'menyebalkan' sehingga patut dihindari.
Dua kali kita berpapasan hari ini, mau tidak mau, karena jadwal kita nyaris sama di hari Minggu kemarin. Gereja dan jalan pulang yang sama.
Apa yang telah mereka perbuat? Haha. Mana saya tahu, mata saya bukan mesin pemindai yang bisa membaca langsung gerak-gerik mereka. Alah, kamu saja yang 'menyebalkan' sehingga patut dihindari.
Rabu, 22 April 2009
Di Depan Mata
Hey, kenapa kamu diam saja?
Takut salah ngomong?
Takut ketauan?
Apa salahnya sekedar menyapa?
Hai!
Takut salah ngomong?
Takut ketauan?
Apa salahnya sekedar menyapa?
Hai!
Senin, 06 April 2009
Hilang
Keberadaan mu semakin menghilang.
Bagi manusia-manusia lain.
Namun, nyata bagi kami-kami.
Ketiadaan.
Di mana?
Siapa?
Apa?
Mengapa semua dipertanyakan?
Membutuhkan jawaban.
Tidak jelas.
Bagi manusia-manusia lain.
Namun, nyata bagi kami-kami.
Ketiadaan.
Di mana?
Siapa?
Apa?
Mengapa semua dipertanyakan?
Membutuhkan jawaban.
Tidak jelas.
Kamis, 19 Maret 2009
Penjaga 3
Yes, I came to The Keeper's place this noon. I was disappointed, I couldn't find The Keeper around. I was sitting in the same place like yesterday. So, I can see The Keeper clearly as soon as The Keeper entering the place. I was waiting, this time with The Sun cheering me up. Finally, I saw The Keeper was entering the place. The Keeper spotted me on my regular-base camp-observer bench among the crowds. The Keeper keeps looking around to make sure everything was OK. The Keeper sits on his usual spot, in the middle of the crowds. The Keeper talked to The Sun for a while, then He stood up and walked to other corner. The Keeper left me without any explanation. That time I didn't know where The Keeper was going. The Sun suggested me to go back. I took different direction than I used to. Surprised. I found The Keeper sitting among The Elders. Automatically, I draw my camera phone inside my bag and aimed it directly to The Keeper. Nice and rare candid photo (if I can get it). The Keeper immediately stood up "No! Go away!" The Keeper shouted to me. Wow. Actually, that time I was hiding behind The Big Tree and it was more than 20 meters. The Keeper knew it when I grabbed my camera phone.
Rabu, 18 Maret 2009
Penjaga 2
I couldn't take a picture of The Keeper. He was sleeping when I came. I didn't want to bother him. This afternoon, not so many people come to his place, The Wind was a bit too strong and The Sun was hiding behind The Big White Cloud. So, I put a 'sign' there. I'm hoping He'll knew that I came to visit him this noon :)
Selasa, 17 Maret 2009
Jumat, 13 Maret 2009
Ambil Saja
Rabu, 11 Maret 2009
Minggu, 08 Maret 2009
Yeah
Wew. Minggu yang 'menggairahkan'. Haha. Jadi punya semangat untuk menghadapi sepekan ke depan. Yeah.
Hari ini gw berniat belanja mingguan. Tapi yah akhirnya berakhir dengan tidak belanja mingguan, tapi belanja barang-barang ga penting. Sepatu. Majalah. Dan kopi! Untuk yang terakhir bukan Starbucks atau Kapal Api secara tidak sengaja gw menemukan tempat ngopi baru di pojokan mall. Kayanya baru soft opening deh, soalnya waktu gw ke sana cuma ada beberapa orang (tepatnya 4 orang) dan satu mas2 barista. Orang-orang itu juga sepertinya bukan tamu, mungkin pemilik, mungkin peliput berita (bawa2 kamera dan foto2).
Apa yang membuat gw tertarik, selain menu kopi dan tehnya yang beragam, adalah si mas2 baristanya. Haha. Biasalah, cewe mah ga boleh liat 'barang bagus' dikit. Lumayan buat 'hadiah' Women's Day :p
Minggu depan dapat dipastikan saya akan kembali lagi ke sana, penasaran sama minuman2 nya. Haha. Alasan banget :D
Hari ini gw berniat belanja mingguan. Tapi yah akhirnya berakhir dengan tidak belanja mingguan, tapi belanja barang-barang ga penting. Sepatu. Majalah. Dan kopi! Untuk yang terakhir bukan Starbucks atau Kapal Api secara tidak sengaja gw menemukan tempat ngopi baru di pojokan mall. Kayanya baru soft opening deh, soalnya waktu gw ke sana cuma ada beberapa orang (tepatnya 4 orang) dan satu mas2 barista. Orang-orang itu juga sepertinya bukan tamu, mungkin pemilik, mungkin peliput berita (bawa2 kamera dan foto2).
Apa yang membuat gw tertarik, selain menu kopi dan tehnya yang beragam, adalah si mas2 baristanya. Haha. Biasalah, cewe mah ga boleh liat 'barang bagus' dikit. Lumayan buat 'hadiah' Women's Day :p
Minggu depan dapat dipastikan saya akan kembali lagi ke sana, penasaran sama minuman2 nya. Haha. Alasan banget :D
Jumat, 06 Maret 2009
Dunia
Jumat, 27 Februari 2009
Rabu, 18 Februari 2009
Shaman
"Gimana kalo kita.."
"Ke sana?" Jana menunjuk ke arah toko kecil berisikan pernak-pernik lucu.
"Iyah. Kok elo tau sih Jan?"
"Ah, keliatan lagi dari tampang loe." Jana tersenyum sambil menarik tangan gw ke arah toko itu.
Biru. Hijau. Biru. Hijau.
"Yang ijo bagus Dev." Tiba-tiba Jana nongol di balik pundak gw.
"Iyah nih Jan, gw bingung, biru keliatan terang tapi yang ijo warnanya lebih bagus."
"Kalo menurut gw yang ijo emang warnanya lebih bagus Dev. Lagian bukannya elo takut cepet kotor juga kalo misalnya milih yang biru?" Jana menjelaskan.
"Iyah! Kok elo tau sih Jan?"
Haha. Jana tertawa. "Gw temenan sama loe udah berapa lama sih Dev?"
'Elo gpp kan Dev?' Sms sederhana yang dikirimkan Jana semalam, tepat sebelum gw tertidur karena kecapekan nangis.
Nah, untuk kasus yang terakhir, sms itu apa Jana akan beralasan kalau dia benar-benar tahu kebiasaan gw? Atau bisa juga karena kita sudah berteman lama dan terjadilah 'kontak batin' di antara kita yah? Hem, tapi serem juga punya temen kaya Jana. Dia (kadang) bisa menebak apa yang akan kita lakukan atau katakan. Sepertinya pikiran Jana dua-tiga (atau mungkin lebih) kali lipat lebih cepat dari pikiran gw. Kadang gw kepikiran sesuatu, ide atau ingatan itu udah ada di dalam otak gw tapi kok susah banget buat dikeluarin. Nah, si Jana ini tiba-tiba bisa mengutarakan sesuatu yang mirip-mirip, nyerempet-nyerempet atau berujung-ujung ke pemikiran gw tadi. Gw ga tau deh, dia itu emang pinter banget, bisa menebak situasi, atau memang dia bisa 'masuk' ke dalam pemikiran gw yah?
Senin, 16 Februari 2009
Berlebih
Gayanya menyebalkan, anak kecil dengan sejuta kebisaan. Sedikit-sedikit tapi dia tahu banyak. Kesannya polos, memelas dan patut dikasihani. Nyatanya anak itu, punya banyak rencana dan pemikiran. Usia tidak bisa berbohong. Usianya memang lebih muda, tetapi kesukaannya tertawa dan tersenyum membuatnya tampak lebih muda lagi. Menarik.
Semuanya diceritakan. Komentarnya. Kesehariannya. Pendapatnya. Tampaknya anak ini tidak pernah lelah bercerita. Entah mengapa semakin sering dia bercerita, semakin saya iri padanya. Dunianya terlalu mewah, lingkungannya terlalu glamour, ceritanya terlalu dibuat-buat, berlebihan!
Seharusnya aku bersembunyi di balik kain belacu putih yang kusam dan berdebu. Tidak menampakan keberadaanku. Aku tahu, ini semua hanya pemikiranku. Kalau-kalau dia merasa aku terlalu berlebih. Aku yah aku :)
Semuanya diceritakan. Komentarnya. Kesehariannya. Pendapatnya. Tampaknya anak ini tidak pernah lelah bercerita. Entah mengapa semakin sering dia bercerita, semakin saya iri padanya. Dunianya terlalu mewah, lingkungannya terlalu glamour, ceritanya terlalu dibuat-buat, berlebihan!
Seharusnya aku bersembunyi di balik kain belacu putih yang kusam dan berdebu. Tidak menampakan keberadaanku. Aku tahu, ini semua hanya pemikiranku. Kalau-kalau dia merasa aku terlalu berlebih. Aku yah aku :)
Minggu, 08 Februari 2009
4 S (Senyum-Senyum Sendiri Saja)
Masih sama temanya, senyum. Kemarin saya sempat 'jalan-jalan' sebentar, sehabis pulang kantor. Tujuannya yah seperti biasa, belanja (keperluan) mingguan. Saya sempat kembali ke apartmen sebentar untuk mengambil mantel-mantel musim dingin yang perlu di laundry. Lalu dari apartmen saya naik Metro sampai ke pusat perbelanjaan. Senyum-senyum itu pun bermula dari sini. Di dalam metro saya sekilas melihat seorang pria dengan sebuah bouquet bunga mawar pink di tangannya, dia senyum-senyum sendiri sambil terkadang menatap ke luar jendela. Hem, kalau ini sih mudah ditebak. Pasti dia janji ketemuan dengan kekasih atau calon kekasih atau calon isterinya. Wajar. Seturunnya saya dari Metro, saya berpapasan lagi dengan seorang perempuan, yang berjalan dengan riang-gembira dan untungnya dia tidak bersayap, dia pun senyum-senyum sendiri. Saya pun membalas senyumnya. Lah? Satu bentuk keisengan dan penasaran saya. Yah, boleh dong berharap kalau ternyata perempuan itu salah satu rekan kerja saya. Apa yang saya dapatkan sebagai balasan? Perempuan itu berhenti tersenyum dan menatap saya dengan aneh. Haha. Ternyata dia tidak kenal saya. Melanjutkan berjalan kaki dan saya berpapasan dengan tiga orang pria yang masih berpakaian kantor, berstelan jas, masing-masing dari mereka juga mengulum senyum kecil. Padahal mereka tidak sedang bercakap-cakap. Mungkin mereka kedinginan atau memang akhir minggu membuat kita senang dan berbunga-bunga yah?
Kamis, 05 Februari 2009
Karma
Akibat 'stress' dan terlalu lelah. Kecapekan. Saya menjadi lengah dan tidak sadar sekitar. Shutting down the system. Dan saya pun menyesal setengah hidup. Saya tidak memberikan tempat duduk untuk seorang ibu hamil! Kan saya tidak lihat dengan jelas, dia berpakaian tebal dan masih hamil muda. Alasan! Atau jangan-jangan hati nurani saya sudah tertutup?
Minggu, 01 Februari 2009
Brand New Day
Jumat, 30 Januari 2009
Maunya Apa Sih?!
"Eh, tiba-tiba kok gw pengen makan cake yah."
"Mau nyari toko roti Ya?"
"Hem, boleh. Ke Cake Story aja yuk."
"Ya, bukannya di sana mahal yah cake nya? Engga apa-apa tuh?"
"Yah, liat-liat aja dulu."
Setelah berjalan kaki lima belas menit, sampailah kita di Cake Story.
"Ini, kayanya enak deh." Aya menunjuk salah satu cake yang dipajang.
"Coba aja Ya." Aya bergerak ke arah lain.
"Wow, liat deh cokelatnya." Aya terkesima menatap double choco cake.
"Engga dicoba Ya?"
"Ugh, pengen sih, tapi harganya ga worth it deh." Aya memasang tampang serius sejenak dan berpindah tempat lagi.
"Cheese cake nya mantab!" Aya berseru setelah melihat cheese cake yang menggoda itu.
"Tapi kok lebih mahal dari Breads yah?" Aya pun berpindah lagi.
Setelah kita memutari seluruh stand Cake Story, perjalanan kita pun berakhir di ujung pintu keluar. Si Mba' yang dari tadi mengikuti kita pun bingung, tidak satu pun kue atau cake berhasil memikat hati Aya untuk dibeli. Bukan hanya itu, si Mba' mungkin ga tahan juga dengerin Aya komentar ini-itu, tapi kok yah ga beli.
"Aya jadinya beli apa nih?"
"Hem, males deh. Harganya mahal."
"Lah, kan elo udah tau dari awal Ya, terus elo tetep ngajak ke sini."
"Iya sih, tapi kayanya ga worth it deh."
Aduh, gw semakin ga enak aja sama si Mba' yang mengikuti kita dan Mba' yang ada di belakang cash register yang menatap kita dengan tatapan hina-dina-ga-banget.
"Worth it kok Ya, gw kan pernah beli. Enak banget Ya."
"Iya Mba' Cake Story kan license dari Amerika, bahan-bahannya juga diimpor langsung dari sana." Si Mba' ga tahan juga buat nimbrung dan meyakinkan Aya.
"Engga deh. Sayang."
Kamis, 29 Januari 2009
Akar
Satu-satu mereka hilang. Asalnya menjadi tidak jelas. Tempat tinggal pun menjadi tidak menentu. Awalnya saya masih sadar dan tahu di mana saya berada, keberadaan mereka pun masih terlacak dengan pasti. Kali ini saya bingung, di mana saya dan di mana mereka berada. Saya mencoba untuk memanggil satu per satu dari mereka. Namun, tampaknya mereka tidak menjawab panggilan saya. Berakhirlah saya, duduk termenung sendirian, menatap layar yang kosong. Kadang saya beruntung mendapatkan gambaran tentang hidup dari mereka yang saya kenal. Percakapan saya dengan Mama melalui telepon, percakapan singkat dengan teman-teman di sini, chatting dengan adik-adik saya. Hal-hal itu kadang mengingatkan saya tentang siapa saya dan mereka. Setelah itu semuanya hilang dan kembali menjadi blur. Bintik hitam-abu-abu-putih yang membaur dan mengaburkan semua. Waktu pun sepertinya sudah tidak terlacak lagi. Tahun-tahun berlalu begitu saja. Saya menjadi takut kehilangan semuanya. Saya menjadi takut ditinggalkan oleh mereka. Saya menjadi takut diri saya menghilang dan tidak menyisakan apapun. Bertahan.
Minggu, 25 Januari 2009
Senyum
Hari ini saya resmi libur. Saya menghabiskan sebagian waktu untuk bersantai. Tidak ada yang spesial, bangun siang, menonton film seri, mandi sore-sore dan window shopping yang berujung belanja juga. Cuci gudang menjelang tahun baru Imlek. Itu sih biasa. Saya menyempatkan diri mampir di Starbucks untuk 'mencicipi' produk khusus tahun baru Imlek mereka, honey orange latte. Nah, yang luar biasa adalah para barista di sana. Mereka ramah luar biasa (hanya terhadap saya?). Apa kelihatan yah, kalau saya orang asing? Setiap kali saya bersitatap dengan salah satu dari mereka (ada tiga barista perempuan di sana), pasti mereka langsung tersenyum. Haha. Kan tidak enak juga kalau senyum mereka berakhir sia-sia. Saya pun membalasnya. Yah, nyaris 45 menit saya di sana, saya sibuk berbalasan senyum dengan mereka. Keep smiling and the sun will shine :)
Rabu, 21 Januari 2009
Cenayang
Beruntungkah mereka yang bisa melihat atau mengintip ke masa depan? Saya bisa katakan itu mengerikan. Saya bukan paranormal, cenayang atau bahkan dukun. Saat ini saya diberi kesempatan untuk memperkirakan bagaimana kisah saya nantinya, melalui perjalanan seorang senior saya. Tidak aneh buat mereka yang memiliki banyak senior, dengan masalah yang mirip, mereka bisa mencontoh dari siapapun. Saya di sini, hanya punya 2 senior senegara, dan hanya satu yang benar-benar 'berlayar' dalam satu bahtera. Melalui dialah saya (mungkin) bisa memperkirakan bagaimana kiranya kisah saya nanti. Apakah saya bisa? Sehebat diakah? Tetapi apakah akan sama? Nasib dan pengalaman setiap orang kan berbeda-beda. Setidaknya saya bisa bersiap-siap dulu.
Selasa, 20 Januari 2009
Enjoy
Rencananya hari ini mau santai-santai, mungkin masuk setengah hari. Semestinya saya sudah libur sejak tanggal 17 kemarin, teman-teman sejawat saya juga sudah pulang kampung. Saya? Tertinggal di negeri orang. Mau pulang takut nanti engga balik lagi. Jadi bertahanlah saya di sini. Hari ini pun saya tidak jadi pulang cepat. Biarlah, pastinya saya menikmati hari ini :)
Senin, 19 Januari 2009
Saat Ini
Bukan lagi mengejar mimpi. Semuanya sudah merupakan kenyataan. Bukan lagi angan-angan. Kenapa kamu tidak memperjuangkan nya? Sedari dahulu kamu menginginkan nya, berusaha menggapai nya. Sekarang sudah diraih, sudah di genggaman, malah dianggap mimpi.
Berjuang. Ternyata susah juga hidup untuk saat ini. Malah mengingat-ingat masa lalu, mengharap-harap masa depan. Ayo, isi hari ini. Semangat.
Berjuang. Ternyata susah juga hidup untuk saat ini. Malah mengingat-ingat masa lalu, mengharap-harap masa depan. Ayo, isi hari ini. Semangat.
Minggu, 18 Januari 2009
Serupa
Seperti jatuh cinta. Lega rasanya memiliki sedikit waktu untuk beristirahat. Kemarin saya memutuskan untuk masuk setengah hari saja. Siangnya saya pergi 'jalan-jalan'. Pergi mengisi kartu bus, di tengah jalan tidak lupa saya beli gorengan untuk cemilan makan siang. Saya berjalan melenggang santai, sambil senyum-senyum bahagia. Fiuh. Leganya. Sehabis itu saya kembali ke apartment, mengambil mantel yang perlu di laundry, lalu pergi lagi. Saya memutuskan untuk makan siang di Ajisen, sempat bingung antara Tian Lu Sushi, resto Korea yang baru buka atau Ajisen. Akhirnya saya ke Ajisen dengan pertimbangan, malas. Ajisen terletak di satu komplek dengan Carrefour dan tempat laundry langganan saya. Selesai makan, saya menaruh mantel, dan berakhir belanja mingguan di Carrefour. Ramai. Saya 'tersedot' di dalam putaran keramaian manusia. Saya diam dan terhenti di tengah-tengah keramaian, di mana semua orang berteriak ramai, bersemangat menghadapi tahun baru, bergegas mendorong keranjang belanjaan mereka. Saya diam, mengamati, tanpa ada rasa apapun. Selesai berbelanja, saya menyempatkan diri membeli segelas 'bubble tea' dan menikmatinya sambil berjalan pulang ke arah stasiun Metro terdekat. Oiyah, sempat berhenti sejenak untuk mengistirahatkan tangan, pegal membawa belanjaan, di bangku taman. Ternyata banyak sekali kakek-kakek dan nenek-nenek yang duduk-duduk di sana. Padahal suhu udara di luar lumayan dingin, masih di bawah 10 derajat, dan sudah lumayan sore, jam 4 an.
Sesampainya saya di apartment, saya langsung mencuci baju, menyapu, dan membereskan barang belanjaan tadi. Lumayanlah, beristirahat sejenak dari segala rutinitas.
Satu minggu sudah berlalu lagi. Berjuang (kembali) untuk minggu berikutnya.
Sesampainya saya di apartment, saya langsung mencuci baju, menyapu, dan membereskan barang belanjaan tadi. Lumayanlah, beristirahat sejenak dari segala rutinitas.
Satu minggu sudah berlalu lagi. Berjuang (kembali) untuk minggu berikutnya.
Jumat, 16 Januari 2009
Bisa Saja
Rencana NYA selalu ada-ada saja. DIA tidak pernah berhasil membuat saya kecewa. DIA tidak pernah membuat saya bosan dengan kejutan-kejutan NYA. Ketika saya bingung, tidak tahu mau berbuat apa, DIA 'tarik' seorang anak untuk menemani saya. Kami pun bersahabat.
Rabu, 14 Januari 2009
Pilihan
Sehari lagi berlalu, masih belum sepenuhnya terbiasa, masih belum menemukan tujuan yang sebenarnya. Maunya apa sih?! Harus memulai langkah baru lagi? Atau meneruskan apa yang sudah saya pilih? Saya menjalankannya tidak dengan sepenuh hati. Jurusan pun, bukan pilihan utama. Namun, tetap saja merupakan pilihan saya juga. Katanya tunggu saya 'besar'. Eh, nyatanya waktu berjalan terlalu cepat. Sudah besarlah saya. Mana mungkin saya menunggu lagi, melihat kemungkinan lainnya, seharusnya saya bertanggung jawab penuh terhadap pilihan saya. Bukan, lagi-lagi mengadu pada ibu, kecewa katanya.
Selasa, 13 Januari 2009
Menunggu
Mungkin harus sabar untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Butuh perjuangan, butuh waktu, dan butuh pengorbanan. Rasanya ingin mempercepat semua ini, biar saya segera tahu apa yang sebenarnya saya hadapi nanti. Tidak perlu menunggu-nunggu, menebak-nebak. Aku mau semua berjalan dengan cepat. Baru mulai saja, lelahnya luar biasa. Sabar. Semuanya pasti berlalu.
Minggu, 11 Januari 2009
Periode
Sudahlah. Mungkin itu kata 'pegangan' saya belakangan ini, daripada saya harus stress berkepanjangan tanpa ujung pangkal. Sudahlah, toh semuanya akan berlalu. Sudahlah, toh kita ga akan stop dan stuck di satu saat waktu. Semuanya pasti berjalan, satu hari, satu minggu, tiba-tiba sebulan berlalu. Terlalu berat buat saya, kalau harus memikirkan komitmen jangka panjang. Saya membagi-baginya menjadi durasi pendek, untuk pencapaian. Tiga hari awal (saya sudah melewatinya), seminggu berikutnya (target saya selanjutnya, bertahan untuk seminggu penuh di dalam rutinitas), menantikan Tahun Baru Imlek, dan berarti selesailah bulan Januari ini. Yah, kiranya seperti itu dulu rencana saya.
Awalnya
Mungkin ketakutan berkembang yah, atau malah menyusut? Dulu saya hanya takut pada suatu kemungkinan, disuruh jalan sendirian ke kamar mayat. Sekarang ketakutan saya jadi lebih banyak lagi. Sama mayat sih sudah tidak takut, malah mayat tidak menakutkan, dia tidak bisa membentak-bentak dan mencari-cari kesalahan kita. Sekarang saya lebih takut akan pilihan-pilihan saya sendiri. Sebagai seorang mahasiswa kedokteran di negeri orang membuat saya harus berpikir berputar-putar. Ini kali keduanya saya internship di rumah sakit, tahun lalu saya melakukannya sebagai bagian dari program S1, sedangkan sekarang untuk program S2. Kesannya sama, ga enak. Tahun lalu saya masih bisa berbagi dengan 2 teman asing saya, yang satu asli Cina dan satu lagi Vietnam. Tahun ini saya menjalankannya sendirian. Baru 3 hari saya masuk, rasanya sudah bertahun-tahun. Padahal saya memang butuh-butuh bertahun-tahun untuk menyelesaikannya: 3 tahun!
Mungkin saya sudah lupa bagaimana menikmati proses dan cara sebelum akhirnya kita mendapatkan hasil yang biasanya, biasa saja kesannya.
Mungkin saya sudah lupa bagaimana menikmati proses dan cara sebelum akhirnya kita mendapatkan hasil yang biasanya, biasa saja kesannya.
Langganan:
Postingan (Atom)